news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

What's Up dengan WhatsApp?

Taufik RIGO
@rigotaufik
Konten dari Pengguna
28 Juli 2018 0:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufik RIGO tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terbunuh karena pesan WhatsApp? terdengar absurd dan tragis. Admin grup WA digelandang ke penjara? pengirim berita di grup WA masuk bui?
ADVERTISEMENT
Tapi ini benar terjadi, setidaknya di India. Aplikasi paling populer sejagad ini, semakin dipertanyakan manfaatnya di banyak negara demokratis. Telepon genggam pintar yang sediakan aplikasi pesan langsung digital seperti WA sebagai media sosial (medsos), kini malah dituding menjadi "the killing gadget", atau setidaknya membodohkan.
Kasus pembunuhan akibat pesan palsu berantai sudah sangat mengganggu di India, terutama yang berlatar SARA, atau pertikaian mayoritas Hindu atas minoritas Muslim. Kasus pembunuhan sebab amuk massa / mob lynching karena tuduhan yang viral di medsos, membuat Pemerintah India mengambil langkah dramatis dengan ancaman penjara bukan hanya atas pengirim pesan, bahkan juga Admin grup WA.
Seorang remaja Muslim, Zakir Ali Tyagi (18), awal tahun lalu, mempertanyakan di grup WA bagaimana mungkin sungai Gangga bisa dianggap “living entity” sambil mengkritik anggaran proyek BJP Ram Mandir untuk mengelola sungai yang didasarkan oleh sentimen anti-Islam.
ADVERTISEMENT
Zakir langsung digelandang polisi atas aduan anggota grup WA. Di kantor polisi dia dipukuli dan disiksa, bahkan harus bayar untuk boleh sekadar ke toilet penjara. Sekejap kemudian, pesan viral menyebut Zakir sebagai teroris, dan perang medsos pun dimulailah.
Seorang remaja gadis belia yang mengkritik pemakaman kenegaraan bagi Bal Thackeray, pendiri Shiv Sena– organisasi ekstrimis Hindu di Maharashtra-- ditangkap dengan tuduhan yang sama. Temannya yang klik “like” juga ditangkap. Seorang guru besar dari Kolkata yang beri komentar akademik atas kritikan itu, pada akhirnya tetap dibui.
Satish Bhaykre dibunuh massa (mob lynching) di negara bagian Madhya Pradesh, karena viralnya pesan palsu di grup WA warga. “Perawakan” Satish memang disinyalir mirip dengan orang yang dituduh warga sebagai penculik dan penjual organ tubuh anak. Bagian akhir pesan grup WA meminta dengan sangat agar “semua orang tua yang sayang anak” membuktikan kasih sayangnya dengan menyebarluaskan pesan tersebut, dan mengambil tindakan.
ADVERTISEMENT
Klik untuk contoh fake news yang berbahaya di India karena berdampak kepada amuk massa....
Data Kemendagri India sebutkan pada tahun 2017 terdapat 111 korban mati, 2384 luka serius, dan 822 insiden komunal. Tahun demi tahun, data cenderung meningkat. Dalam beberapa bulan di awal 2018, Polisi menerima laporan atas 17 “korban mati” akibat mob lynching, dimana “orang orang yang berwajah tidak disukai” di suatu lingkungan warga, dituduh sebagai penculik anak sehingga dikeroyok massa sampai mati, hanya melalui pesan viral grup WA.
Berita palsu lebih banyak berkembang dalam propaganda politik. Tapi memang bisa juga terkait pesan medis atau peluang kerja. Informasi tentang virus Nipah yang berbahaya bagi otak manusia disertai larangan makan buah Lychee, diviralkan pandemik ke Kota Shillong, utara India, pada akhirnya terbukti hanya berita palsu.
ADVERTISEMENT
Ada lagi cerita tentang Manish di Chhattisgarh yang bentuk grup WA, Ayush kawannya memposting video tentang Mahatma Gandhi. Salah seorang anggota grup WA, Pradip, menganggap video tersebut mencemarkan nama baik Gandhi, lalu melaporkan ke Polisi. Manish dan Ayush --admin dan pengirim video, digelandang ke kantor polisi.
Di India, pesan palsu yang viral juga bisa berbentuk meme foto atau video. Nasihat agama tentang suatu pandangan yang dianut sekte Ahmadiyyah dan Syi'ah dari minoritas Muslim di India, bisa dimodifikasi lantas diviralkan sebagai pandangan Sunni, demikian juga sebaliknya. Begitupun pandangan minoritas ekstrem kanan Hindu yang dibenturkan dengan mayoritas Hindu, juga sentimen antarkasta vs Dalit. Mengkhawatirkan memang.
Lika Liku Kriminalisasi Administrator Grup WA
Dengan populasi mencapai lebih dari 1,3 miliar, India saat ini punya lebih 1 miliar koneksi telefon genggam di mana ratusan juta di antaranya menggunakan telepon pintar. TNS Global meneliti rata rata terdapat 38 persen pengguna internet di India setiap harinya, lebih dari 200 juta berkomunikasi dalam platform pesan digital langsung melalui WhatsApp, selebihnya disusul oleh SnapChat. Disinyalir, dalam tiga tahun kedepan, 300 juta lagi pengguna internet akan bertumbuh di India.
ADVERTISEMENT
Mereka bukan hanya di perkotaan, namun juga di pelosok. Bukan hanya berpendidikan sangat baik di jenjang tertinggi dengan status dan kasta terhormat, tapi juga kelompok masyarakat yang rentan atas fake news dan hoax. Sementara, kita pasti masih akan berdebat tentang kausalitas dari jenjang pendidikan dengan kemampuan literasi memilah kualitas pesan digital.
Di luar perkotaan dalam masyarakat yang cenderung guyub, kualitas pesan diukur dari asal sumber berita dan bukan isi berita. Bila dikirimkan oleh sumber yang dihormati dan berpengaruh, maka apapun isi berita, tidak dapat dipilah sebagai fake news/hoax oleh warga. Dalam hitungan detik, pesan akan viral berantai.
Pemerintah India pada tahun 2016 menangkap teroris Jammu–Kashmir yang menyerang Nagrota Army camp, yang “mengaku” menerima perintah melalui pesan di grup WA.
ADVERTISEMENT
Pada April 2016, dua negara bagian, Jammu–Kashmir dan Jharkhand keluarkan Edaran agar admin grup WA mendaftarkan grup chat mereka di Pusat Medsos Wilayah. Segera, lalu lintas pesan di grup WA pun dipantau. Jharkhand keluarkan Peringatan agar admin grup WA mengeluarkan anggota yang kirimkan pernyataan tidak bertanggung jawab. Juga dinyatakan kemungkinan penghukuman bagi Admin yang tidak melaporkannya.
Dalam kasus Shreya Singha vs Pemerintah India, Mahkamah Agung India menyatakan tindakan negara “illegal”, karena dugaan pembatasan dari kebebasan berpendapat, tidak dapat dikategorikan seperti maksud dari bunyi Pasal 19(2) Konstitusi India, dan Pasal 79(3) huruf b dari UU Teknologi Informasi.
Pasal 66 A UU TI (2000) dianggap bertentangan dengan Konstitusi karena samar, dan pembatasannya tidak jelas sehingga bertentangan dengan kebebasan berpendapat yang telah dijamin oleh Konstitusi melalui Pasal 19(1) huruf a.
ADVERTISEMENT
WA dalam fungsinya sebagai intermediary tidak dapat menghapus suatu pesan terkecuali setelah mendapatkan perintah pengadilan atau notifikasi resmi pemerintah sebagai dasar hukum.
Pengadilan Tinggi Delhi dalam kasus Ashish Bhalla vs Suresh Chawdhury & Ors, menyebut pengadilan tidak melihat logika pencemaran nama baik dan yang sejenisnya, sebagai tanggung jawab Administrator.
Ini dianggap sama bila pengadilan diminta memutuskan tanggungjawab Pemimpin Redaksi suatu media cetak/elektronik atas pernyataan sumber yang dikutipnya. Namun, pengadilan juga meminta agar admin grup WA memintakan dengan sangat agar anggota grup tidak mengirimkan isi pesan yang menyinggung pihak lain.
MA secara terbuka berkeberatan dengan rencana pengawasan lebih ketat oleh pemerintah atas komunikasi WA warga, dan menganggap langkah tersebut merubah India dari negara demokrasi terbesar di dunia menjadi pariah paling rendah dalam kebebasan berpendapat, bahkan berubah menjadi “surveillance state”. Pandangan ini diadvokasi oleh Bench Chief Justice Dipak Misra, Justice AM Khanwilkar dan Justice DY Chandrachud.
ADVERTISEMENT
Pertarungan hukum dimulai saat masuknya pengaduan anggota Parlemen Mahua Moitra dari TMC (Trinamool Congress) ke MA, yang kemudian menyurati Jaksa Agung KK Venugopal untuk dukungan hukum penuh. Pengacara senior AM Singhvi yang bertindak atas nama Moitra akan menantang proposal Pemerintah dalam debat terbuka yang akan dimulai tanggal 20 Agustus.
Langkah WhatsApp
Berbeda dari conference call Skype atau share docs Google yang beri keistimewaan memilih untuk hak mengedit, admin grup WA itu hanya dapat mengundang atau mengeluarkan anggota. Ini sudah dianggap bentuk tidak langsung dari kendali editorial. Penyimpanan pesan dapat dilakukan oleh semua anggota, dan penghapusan pesan di grup hanya bisa dilakukan oleh pengirim. Praktis, baik admin maupun anggota grup, hanya bisa menghapus pada tampilan sendiri.
ADVERTISEMENT
pihak WA menyatakan bahwa aplikasi mereka menggunakan sistem enkripsi ujung ke ujung dan hanya menyimpan metadata. Artinya, pesan yang dikirimkan dalam bentuk apapun, tidak disimpan oleh WA, dan hanya diketahui oleh pengirim dan penerima. WA hanya menyimpan data siapa pengirim dan siapa penerima pesan, yang saat ini sudah mulai dibuka informasinya secara terbatas kepada penegak hukum di AS.
Ini tentunya kebalikan dari aplikasi Telegram dan Signal mengikuti WeChat dari Cina yang tidak dienkripsi ujung ke ujung, sehingga memungkinkan negara memantau dan mengontrol lalu lintas pesan digital langsung.
WA kini terus menyempurnakan aplikasi mereka dengan fitur baru yang membatasi jumlah pengiriman pesan berantai dalam sekali klik, juga menyebutkan dengan jelas status forward dari pesan guna pelacakan sumber pesan (membedakan antara genuine messages dari mass spam).
ADVERTISEMENT
WA juga akan pastikan privasi lebih tinggi, yakni dengan memastikan hanya pengirim dan penerima yang dituju yang bisa baca, anggota grup tidak akan lagi leluasa untuk copy–paste atau forward pesan di grup. Atau, saat akan forward maka identitas lengkap fihak yang meneruskan dianggap sumber pesan, guna pelacakan dan pertanggunjawaban. Vector panah di samping kanan pesan teks atau video / gambar untuk quick forward button juga akan dihapus oleh WA.
Do not shoot the messenger” / jangan salahkan pembuat berita, tapi silakan lacak yang menyebarluaskan berita palsu, begitu kira kira konsepnya oleh WA. Logikanya mirip dengan nuclear deterrence, dimana pemilik senjata nuklir sadar betul dampak bencana dari penggunaan bom nuklir oleh karena itu mengambil sikap “menahan diri”, yang berfungsi juga “menahan” fihak lain dari kemungkinan menyerang. Ini sangat penting untuk siasati dampak politik dari penyebarluasan pesan digital langsung secara berantai.
ADVERTISEMENT
Bagaimana WA buat Kita
Fear of the unknown, menemukan titik nadir terendah saat kelompok masyarakat yang berpakaian berbeda, bicara, berperilaku, bahkan berwajah terstigma, mudah jatuh sebagai korban dari amok yang tidak berdasar akibat persebaran informasi melalui grup WA. Pemerintah India hari ini sangat khawatir dengan penyebaran “irresponsible and explosive messages”.
Fake news atau hoax, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan sejenisnya mengemuka di India oleh mesin propaganda politik.
Publik pun merana, polarisasi membelah warga, kelompok masyarakat saling curiga, penggiat hak hak sipil meradang, semua argumen pro kontra tidak lagi mencerahkan, bahkan cenderung tendensius, partisan, dan gunakan bahasa kasaran. Pemerintah mendua secara hukum karena berhadapan dengan Parlemen dan Mahkamah Agung serta masyarakat madani.
ADVERTISEMENT
N Ramanchandran, Presiden IPF (Indian Police Foundation) dan mantan Dirjen Kepolisian India, mengkritik kerja polisi yang terlalu mudah menangkap seseorang atas tuduhan via pesan WA, “… the real problem is the misuse of these legal provisions by police officials going overboard…, rather than rushing to arrest, the police should weigh the culpability and potential impact impartially, with utmost caution”.
Represi terhadap penggunaan Medsos oleh Pemerintah, segera dipolitisasi oleh oposisi dengan gerakan medsos tagar zero seat dalam pemilihan umum India tahun depan. Pemerintah gamang hadapi kontroversi penyensoran yang semena–mena dan kontra kebebasan berpendapat akibat interpretasi kekuasaan atas pernyataan yang diduga “tidak bertanggungjawab”, dan “tidak benar/ menyesatkan”. Lebih celaka lagi, badan PBB dan gerakan sipil dunia ikut menentang langkah Pemerintah India.
ADVERTISEMENT
Government restrictions on dissemination of false news are too often an attempt to shroud government intentions of restricting freedom of expression and criticism –David Kaye, UN Special Rapporteur on the Right to Freedom of Opinion and Expression.
Implikasi lainnya saat ini, makin banyak pihak yang yakin kalau penampakan metropolitan karena pegang telepon genggam pintar, nyatanya malah bikin bodoh, setidaknya begitulah pandangan beberapa pihak di India.
Naah, kegelisahan dampak dari media sosial seperti yang ditawarkan dari aplikasi WA, tak pelak juga menjangkit tanah air tercinta menyambut tahun politik.
Sekelebat, publik akan melihat pengelompokan "cebong" dan "kampret" dalam peta kerumunan politik. Semuanya bermain di medsos, terutama grup WA. Celakanya, kedua pihak yakin dengan perang dunia maya sehingga berperilaku layaknya keypad jihadis vs cyber crusaders. Bagi sebagian besar dari kita yang tidak mengelompok di antara keduanya (#sayabukanCePret), melihat jelas penyebaran fake news dan hoax, sungguh tidak mendidik. Pantasnyalah kita hindari perilaku tidak pintar saat menggenggam telepon pintar. Cukup adalah cukup.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menurut pembaca?
https://www.bbc.com/news/world-asia-india-44678674