Konten dari Pengguna

Batin Jadi Medan Perang

Taufiq A Gani
Alumni PPRA 65 Lemhannas, Alumni PKN II LAN RI, Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas
10 April 2025 9:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Batin—ruang kesadaran dan nalar manusia—jadi medan perang paling sunyi dan paling menentukan di abad ini. Jika dahulu perang terdengar sebagai deru senapan dan dentuman meriam, kini hadir dalam bentuk baru—melalui notifikasi di layar ponsel, pesan berantai di grup WhatsApp, dan konten yang tersebar luas di media sosial. Ia menyusup tanpa suara, namun meninggalkan jejak dalam cara kita berpikir dan bersikap.
ADVERTISEMENT
Jika dahulu perebutan kekuasaan berfokus pada ruang fisik, kini pertarungan terjadi di ruang kesadaran. Ruang ini tak terlihat di peta, namun menentukan arah berpikir sebuah bangsa. Inilah perubahan paling mendasar dari medan tempur abad ke-21.
Ruang batin—kesadaran dan nalar publik—kini menjadi medan tempur paling strategis dalam lanskap global. Inilah tantangan baru dalam era perang kognitif, sekaligus ujian bagi ketahanan ideologis bangsa.
Ruang batin—kesadaran dan nalar publik. Gambar dibuat dengan AI
Dari Geopolitik ke Geokognitif
Istilah "geo" selama ini merujuk pada wilayah—dari geopolitik, geoekonomi hingga kini geokognitif. “Geo” berasal dari bahasa Yunani geō, yang berarti bumi atau ruang kehidupan. Pada awalnya, geopolitik muncul sebagai cara pandang bahwa kekuasaan ditentukan oleh penguasaan wilayah strategis. Halford Mackinder lewat Heartland Theory-nya menyatakan bahwa siapa menguasai Eurasia, akan menguasai dunia. Nicholas Spykman kemudian menantangnya dengan Rimland Theory, yang menggarisbawahi pentingnya garis pantai dan jalur laut.
ADVERTISEMENT
Namun, seiring perkembangan peradaban dan teknologi, kekuasaan tak lagi sekadar persoalan militer dan geografi. Dunia bergerak ke era geoekonomi, di mana dominasi ditentukan oleh penguasaan pasar, teknologi, dan sistem keuangan global. Edward Luttwak pernah menulis bahwa logika peperangan kini dijalankan dengan instrumen ekonomi: tarif, investasi, dan teknologi menjadi alat baru perebutan pengaruh.
Kini, kita melangkah lebih jauh. Kita hidup di era geokognitif, di mana perebutan kekuasaan terjadi dalam ruang kesadaran manusia. Medan perangnya adalah dunia digital. Senjatanya: algoritma, narasi, hoaks, disinformasi, dan konten yang memanipulasi. Tujuannya bukan sekadar memengaruhi, tetapi mengubah cara berpikir, memecah nalar publik, bahkan mengguncang kesatuan bangsa. NATO, bahkan menyatakan, "the human mind is the battlefield of the 21st century."
ADVERTISEMENT
Jika geopolitik merebut ruang geografis, dan geoekonomi menguasai arsitektur produksi, maka geokognitif merebut mindspace—ruang batin dan kesadaran kolektif.
Indonesia dalam Pusaran Geokognitif
Indonesia, dengan populasi digital yang besar dan tingkat literasi yang belum merata, menjadi ladang subur bagi perang kognitif global. Polarisasi politik, radikalisasi digital, dan tribalisme algoritmik—yakni kecenderungan pengguna internet untuk hanya berinteraksi dalam kelompok yang berpikiran seragam karena pengaruh algoritma—semua ini bukan gejala biasa. Kecenderungan ini adalah pertanda bahwa kesadaran kolektif bangsa sedang digempur dari berbagai arah.
Sayangnya, respons kita masih terlalu teknokratik. Kita sibuk menangkal hoaks, menyensor konten, dan mengampanyekan literasi digital sebatas keterampilan teknis. Semua itu penting, tetapi belum menyentuh inti persoalan. Yang kita butuhkan adalah ketahanan kognitif nasional—kemampuan bangsa untuk menjaga pikirannya sendiri dari pengaruh manipulatif.
ADVERTISEMENT
Kita harus sadar bahwa ruang digital bukanlah ruang netral. Ia adalah medan ideologis, tempat berbagai nilai, keyakinan, dan kepentingan bertarung. Di ruang ini, Pancasila harus hadir—bukan sekadar sebagai slogan, tetapi sebagai daya rekat yang hidup dan dinamis.
Membangun Ketahanan Batin Bangsa
Negara-negara kuat dunia sudah membangun sistem pertahanan siber dan kognitif yang canggih. Sementara kita, masih terpaku pada pendekatan yang terkotak: ketahanan pangan dibahas terpisah dari ketahanan energi, dan ketahanan informasi terpisah dari ketahanan ideologi. Konsep Astagatra—yakni delapan aspek utama ketahanan nasional yang mencakup gatra alamiah (geografi, demografi, dan sumber daya) serta gatra sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan)—perlahan mulai dilupakan. Ia hanya terdengar dalam silabus pendidikan Lemhannas, tanpa aktualisasi dalam kebijakan strategis negara.
ADVERTISEMENT
Dalam perang konvensional, tujuan utama adalah menang atau bertahan dari serangan. Namun, dalam perang kognitif, sekadar bertahan tidak cukup. Bangsa harus mampu menghidupkan narasi sendiri, menjaga nalar publik tetap waras, dan memastikan bahwa arah berpikir kolektif tidak dibajak oleh kekuatan eksternal.
Kita membutuhkan pendekatan baru yang mengakui bahwa dalam dunia hari ini, menjaga ketahanan batin nasional sama pentingnya dengan menjaga perbatasan fisik. Ketahanan batin mencakup kemampuan bangsa untuk mempertahankan jati diri, keyakinan, dan nilai-nilai yang menjadi fondasi kesadaran kolektif.
Karena dalam perang kognitif, bangsa yang gagal menjaga pikirannya sendiri bukan hanya kehilangan arah—tapi juga kehilangan kendali atas masa depannya.
Saatnya Indonesia membangun benteng kesadaran nasional—dimulai dari literasi, berpijak pada nilai, dan dipandu oleh nalar kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Tentang Penulis:
Taufiq A. Gani adalah Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI) dan ASN di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Ia juga pemerhati isu strategis nasional dan alumni Lemhannas RI. Aktif menulis tentang kedaulatan digital, pertahanan siber, dan literasi kebangsaan.