Konten dari Pengguna

Kampus Berdampak Lewat Tulisan yang Mencerahkan

Taufiq A Gani
Alumni PPRA 65 Lemhannas dan PKN II LAN RI, S1-ITS, S2-Univ Malaya, S3-USM Penang, Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas, Penulis Buku Kedaulatan Digital... ex. Ka. Perpustakaan dan Unsyiah Press
7 Mei 2025 13:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampus berdampak adalah sebuah program dari Kemendiktisaintek yang baru diluncurkan (2 Mei 2025). Program ini bukan sekadar jargon administratif; ia hanya bermakna jika ilmu pengetahuan yang dihasilkan mampu menjangkau dan mencerahkan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Setelah peluncuran, saya terdorong untuk merefleksikannya terhadap pengalaman pribadi selama satu setengah tahun (Agustus 2019–Mei 2021) menjabat sebagai Kepala Syiah Kuala University Press, sebuah unit pelaksana teknis untuk percetakan dan penerbitan di Universitas Syiah Kuala.
Selama kurun waktu di atas, saya melihat bagaimana pengetahuan yang lahir di ruang-ruang akademik tidak selalu menemukan jalannya ke tengah masyarakat. Di lingkungan kampus, kita terbiasa menilai keberhasilan akademisi dari jumlah publikasi di jurnal ilmiah bereputasi, terutama yang terindeks internasional. Sistem insentif dan akreditasi pun mendorong kecenderungan yang sama. Namun, di balik banyaknya artikel yang terbit di jurnal bergengsi, saya kerap bertanya dalam hati: siapa yang sebenarnya membaca dan memahami semua tulisan itu, selain sesama akademisi?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu membawa saya pada renungan yang lebih luas: apakah tulisan-tulisan akademik kita benar-benar berdampak, sesuai dengan makna dari kampus berdampak?
Kampus Berdampak lahir saat akademisi menulis tak hanya untuk jurnal, tapi juga untuk publik. Dari ruang dosen ke ruang warga—ilmu dijelmakan dalam tulisan yang mencerahkan kehidupan, Gambar oleh AI
Antara Sitasi dan Dampak Sosial
Didorong oleh regulasi dan sistem akreditasi, orientasi penulisan dosen kerap berakhir pada jurnal bereputasi—lebih karena keharusan administratif ketimbang dorongan untuk berkomunikasi.
Meski secara teknis berkualitas tinggi, banyak tulisan akademik justru tak bersentuhan dengan realitas sosial—terjebak dalam ruang sempit kutipan dan peringkat.
Masyarakat luas tidak memiliki akses, bahkan tidak tahu bahwa pengetahuan semacam itu pernah diproduksi. Terlalu sering, ilmu dikurung dalam bahasa yang tak bisa dibuka oleh publik. Sayangnya, semakin tinggi reputasi jurnal, semakin kecil kemungkinan tulisannya dibaca oleh mereka yang paling membutuhkan pencerahan.
Di sinilah tulisan populer memainkan peran strategis.
ADVERTISEMENT
Menulis Populer Tanpa Kehilangan Martabat Ilmiah
Saya percaya, akademisi tak seharusnya terjebak dalam dikotomi sempit antara jurnal ilmiah dan tulisan populer. Di tengah derasnya arus informasi publik, justru dibutuhkan tulisan-tulisan ilmiah yang bisa menjembatani antara hasil riset dan pemahaman masyarakat. Feature, opini, dan esai reflektif adalah bentuk-bentuk tulisan yang bisa menjelaskan kompleksitas dengan cara yang manusiawi. Tidak semua kebenaran harus disampaikan dengan terminologi yang asing bagi awam. Bahkan, kemampuan menyederhanakan ide tanpa menghilangkan kedalaman adalah bentuk paling luhur dari penguasaan ilmu.
Pengalaman di lapangan itu menunjukkan bahwa semangat itu nyata.
Revitalisasi Peran Penerbitan Kampus
Sebenarnya, para dosen sangat ingin memiliki keterampilan menulis populer di samping kemampuan menulis artikel jurnal. Pada enam bulan pertama masa tugas saya, sebagai bagian dari para dosen, saya menginisiasi pelatihan penulisan ilmiah populer di Universitas Syiah Kuala. Responsnya luar biasa—peserta membludak. Saat itu, Prof. Rochmadi dari Universitas Sebelas Maret menjadi pemateri yang memancing keberanian peserta menulis pendek dengan tema apa saja. Energi yang muncul begitu nyata. Tak lama kemudian, saya juga menyelenggarakan lomba menulis testimoni dosen selama masa pandemi. Antusiasme tetap tinggi. Itu membuat saya yakin, hal serupa juga banyak terjadi di kampus-kampus lain.
ADVERTISEMENT
Saat saya mulai menjabat, kondisi keuangan unit ini cukup berat. Namun, melalui pembenahan tata kelola dan diversifikasi penerbitan, dalam waktu kurang dari setahun, unit ini berubah menjadi entitas yang mampu menghasilkan pendapatan miliaran rupiah—kontribusi nyata bagi keberlanjutan institusi.
Tiga nilai sekaligus tercipta: nilai akademik, nilai sosial, dan nilai ekonomi. Inilah kontribusi nyata yang bisa diberikan penerbitan kampus—mengintermediasi antara riset dan pencerahan, antara gagasan dan keberlanjutan.
Karena itu, saya percaya bahwa unit penerbitan perguruan tinggi—yang selama ini lebih terfokus pada buku ajar—sebenarnya bisa mengambil peran lebih luas dalam mendukung implementasi gagasan kampus berdampak.
Menulis untuk Mencerahkan, Bukan Sekadar Menyitir
Kampus berdampak bukan hanya tentang akreditasi atau peringkat dunia, tetapi tentang seberapa jauh ilmu pengetahuan yang kita kembangkan mampu menjawab keresahan masyarakat. Dosen tidak harus meninggalkan jurnal ilmiah, tetapi seyogianya juga mampu menulis untuk publik, menjelaskan riset dan realitas dalam bahasa yang membumi. Saya percaya, tulisan yang menjangkau nurani publik sering kali lebih abadi ketimbang tulisan yang sekadar memenuhi syarat sitasi. Di era keterbukaan informasi hari ini, kehadiran tulisan populer dari kalangan akademisi menjadi jembatan penting antara laboratorium dan ruang keluarga, antara ruang dosen dan ruang warga. Misi perguruan tinggi semestinya tidak berhenti di menara gading, tapi harus menjejak di tanah: menjelaskan dunia kepada bangsanya sendiri.
ADVERTISEMENT
Inilah peran sejati penerbitan kampus: simpul strategis yang menyatukan ilmu, dampak, dan keberlanjutan.