Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Literasi Kebangsaan di Ruang Siber
13 April 2025 10:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Signifikansi Ruang Siber
Saya menemukan dua lembaga, yaitu "We Are Social and Meltwater" secara bersama melaporkan bahwa dari 24 jam per hari, masyarakat Indonesia menghabiskan waktunya 7 jam 22 menit atau hampir sepertiga di internet, yaitu teknologi pesat yang membentuk ruang kehidupan baru. Angka itu menunjukkan bahwa kehadiran bangsa Indonesia di ruang siber makin dominan. Kenapa demikian, proporsi waktu kita habiskan di ruang siber, tidur dan melek di ruang kehidupan klasik, yaitu darat, laut atau udara adalah hampir seimbang, yaitu masing masing sepertiga.
Dengan demikian, terbukti bahwa ruang siber sudah menjadi Lebensraum. Keadaan ini berbeda dengan saat pertama kali saya mengenal internet. Waktu itu antara pertengahan hingga akhir tahun 1990-an, internet hanya sebagai protokol yang menghubungkan satu atau beberapa komputer. Memasuki tahun 2000-an aplikasi internet berkembang pesat membentuk sebuah ruang kehidupan dengan penetrasi tinggi.
ADVERTISEMENT
Penetrasi internet dijelaskan juga oleh "We Are Social and Meltwater". Mereka mencatat pada tahun 2025 penetrasinya di Indonesia adalah 74,6% dari total populasi. Saya yakin penetrasi ini akan makin bertambah karena pesatnya pertumbuhan jumlah koneksi telepon seluler di Indonesia. Perbandingan jumlah koneksi telepon seluler dan jumlah penduduk di Indonesia adalah 125 berbanding 100, bermakna rata-rata satu dari empat orang Indonesia memiliki lebih dari satu telepon seluler.
Menariknya juga dua lembaga tersebut menyebutkan jumlah pertumbuhan koneksi telepon seluler, yaitu 1,6% lebih tinggi dari pertumbuhan populasi penduduk Indonesia, yang hanya 0,8%. Berarti dua kalinya, bermakna kelahiran pengguna telepon seluler baru lebih banyak daripada kelahiran bayi di Indonesia
Angka-angka di atas menunjukkan bahwa ruang siber telah menjelma sebagai ruang kehidupan yang signifikan bagi bangsa Indonesia.
Aktivitas di Ruang Siber
ADVERTISEMENT
Saya pertama kali menggunakan ruang siber sebagai tempat bertukar informasi. Sangat asyik karena saya bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang sudah lama tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Saya terhubung kembali dengan teman SD yang sudah 40 tahun tidak pernah berjumpa lagi. Ruang siber saya penuh dengan cengkerama, senda gurau dan keceriaan.
Namun, dalam perjalanan waktu dan kecanggihan teknologi, saya melihat ternyata di ruang siber telah terjadi tarik-menarik tentang banyak hal: kepentingan politik, hingga konflik ideologi yang kadang tak kita sadari. Akhirnya kini ruang siber menjadi ruang yang sangat menakutkan. Kita sering kali mendengar di ruang siber telah terjadi ancam-mengancam, perbuatan kriminal sampai asusila dan juga pelumpuhan fasilitas vital bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Kecerdasan Buatan, Internet of Things dan Identitas Nasional
Perkembangan kecerdasan buatan yang sangat marak juga memengaruhi dinamika kehidupan di ruang siber. Kecerdasan buatan berkemampuan mempelajari aktivitas keseharian kita, masyarakat Indonesia. Kecerdasan pola buatan dapat menarik pola kehidupan kita dan memberikan informasi berdasarkan pola tersebut. Sehingga menariknya ruang siber kita yang maha besar dapat menjadi arena kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Jika dahulu hal ini sulit terbentuk karena kita dibatasi oleh wilayah teritorial spasial. Apakah itu kampung, kabupaten kota, provinsi atau negara. Ruang wilayah itu akan menghasilkan satu rasa, satu kebersamaan yang wujudnya adalah sebuah identitas, baik berupa identitas kedaerahan atau kebangsaan. Dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kita bangsa Indonesia membentuk ikatan kebangsaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat ini situasi menjadi berbeda. Dengan adanya ruang siber sebagai ruang kehidupan ditambah lagi dengan meluasnya Internet of Things, kita makin terhubung dalam sebuah wilayah maya. Akibatnya interaksi dan pertukaran informasi, yaitu berupa apa yang kita baca, lihat, dan bagikan setiap hari secara bersama dan intens akan membentuk sebuah kesadaran kolektif. Hal Inilah yang akan memengaruhi nilai kebangsaan di atas. Nilainya bisa saja makin kuat, tetapi juga bisa menjadi lebih kabur. Semuanya bergantung bagaimana kita hadir, menjaga dan mengendalikan ruang itu.
Bagi kita bangsa Indonesia, ruang siber ini menyimpan banyak makna. Ruang ini bisa mempererat hubungan sesama anak bangsa (kohesi sosial). Tetapi kita jangan lupa dan harus waspada, ruang ini juga mempermudah terjadinya disrupsi dan polarisasi di antara kita, seperti cerita saya di atas. Kita menjadi terkotak pada keyakinan yang kukuh sebagai hasil dari tribalisme berbasis algoritma yang mempersempit ruang dialog. Semua ini terjadi bukan di tempat yang jauh, susah diakses, tetapi sangat dekat dalam aktivitas harian kita di ruang siber. Saya dahulu berpikir hanya masa pemilihan presiden saja polemik dan pertikaian terjadi sementara. Ternyata tidak, kejadian itu terjadi hampir saban hari di tengah dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Informasi, data dan fakta yang dibungkus dengan pesan-pesan khusus selanjutnya akan memantik perdebatan panjang yang kadang menghasilkan renggangnya hubungan. Dari pengalaman di atas, saya makin sadar: ruang siber bukan lagi sekadar tempat bertukar kabar, tetapi sudah menjadi ruang tempat nilai, identitas dan kepercayaan diuji secara diam-diam.
ADVERTISEMENT
Lalu pertanyaannya: apakah Indonesia siap menghadapi tantangan dan ancaman sosial dan ideologis sebelum terlambat? Atau sikap kita adalah reaktif, baru bereaksi setelah muncul gejolak dan meledak di kalangan masyarakat.
Literasi Kebangsaan
Dalam tataran strategis bangsa, Juru Bicara Kemenhan, Brigadir Jenderal TNI Frega Wenas Inkiriwang berkata, “peran TNI di ruang siber bukan untuk memata-matai rakyat” (Kompas, 27 Maret 2025) mengingatkan kita bahwa ruang siber sekarang sama strategisnya dengan wilayah darat, laut, dan udara. Namun, penjagaan ketahanan nasional di semua matra tersebut tidak bisa hanya dibebankan pada militer. Lintas sektoral dan disiplin perlu bergerak bersama.
Kemenkominfo sejak tahun 2021 sudah meluncurkan Program Literasi Digital Nasional. Program ini telah berhasil melibatkan jutaan peserta di seluruh pelosok Indonesia. Sayangnya materinya hanya masalah teknis, seperti keamanan siber, etika media sosial, dan ekonomi digital. Sementara dimensi ideologis kebangsaan belum tersentuh.
ADVERTISEMENT
Literasi kebangsaan digital bukan sekadar ajakan mencintai tanah air. Ia harus membentuk daya tahan identitas. Renee Hobbs menyebut literasi media sebagai keterampilan hidup abad ke-21. Bagi bangsa seperti kita, literasi ini juga harus menjadi tameng dari narasi destruktif yang menyerang dari segala penjuru.
Literasi digital saja tidak cukup. Kita juga butuh sistem deteksi dini yang mampu membaca tanda-tanda retaknya jejaring sosial dari masyarakat itu sendiri.
Membangun Kohesi Sosial dan Ideologis
Shaw dan McKay (1942) dalam buku klasiknya berjudul "Juvenile Delinquency and Urban Areas" menyebutkan bahwa disorganisasi sosial muncul ketika nilai bersama dalam komunitas sosial mulai melemah. Fenomena itu akan terjadi di era algoritma dan ruang siber jika komunitas tidak membangun nilai yang dapat menangkal akibat negatif dari sebuah perubahan. Untuk mencegah disorganisasi sosial di atas, saya rasa kita sebagai entitas di ruang siber yang sadar akan perlunya nilai untuk persatuan harus terdepan menjaga keretakan sosial yang lebih besar. Sebagai bangsa Indonesia, Pancasila perlu kembali hadir. Tentu saja bukan cuma slogan kosong. Bagaimana Pancasila dapat menjadi nilai yang terus hidup—membumi dalam keseharian kita dari percakapan, sikap, dan keputusan yang kita buat.
ADVERTISEMENT
Kita bukan memaksa adanya keseragaman. Kohesi ideologis dalam masyarakat Indonesia jauh lebih penting dan harus mengakar. Di tengah Indonesia yang makin terfragmentasi dan terpolarisasi, kohesi itu lahir dari norma yang dirawat bersama. Itulah panggilan baru Pancasila: bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi sebagai denyut nilai yang mempersatukan kita dalam ruang fisik dan ruang digital.
Pilar-pilar ini sebenarnya sudah punya fondasi kelembagaan. Kominfo punya Siberkreasi; Perpusnas mengembangkan literasi lewat program Inklusi Sosial; BPIP dengan Pembumian Pancasila; dan Lemhannas lewat PPRA serta TAPLAI. Namun, semua program ini masih berjalan sendiri-sendiri tanpa simpul koordinasi yang menyatukannya dalam satu strategi nasional.
Yang kita butuhkan bukan program baru, tetapi orkestrasi nasional yang kuat. Kemenko PMK bisa menjadi simpul koordinasi literasi kebangsaan digital lintas kementerian. BPIP menyusun narasi ideologis; Perpusnas, Kemendiktisaintek dan Kemendikdasmen mengembangkan bahan ajar; Kemenkomdigi menyebarkannya lewat platform digital.
ADVERTISEMENT
Tanggung Jawab Kita
Generasi muda menjadi paling rentan sekaligus paling menentukan arah ke depan. Mereka adalah warga digital sejati (native). Dari lahir sudah mengenal internet dan bereaksi dalam ruang siber. Mereka tumbuh di tengah arus informasi yang sangat kuat terus-menerus tanpa henti. Kita tidak meragukan lagi tingkat literasi teknologi informasi mereka, tetapi nilai ideologis dan kebangsaan harus ditanamkan pada mereka. Ini penting untuk ketahanan identitas kebangsaan mereka.
Barry Buzan dalam bukunya berjudul "People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era" menyebutkan bahwa yang penting dalam keamanan di era modern ini adalah mempertahankan siapa kita. Ini bermakna bahwa literasi kebangsaan di ruang siber juga bentuk nyata dari pertahanan non-militer. Pertahanan yang dilaksanakan bukan lewat sensor, tetapi lewat kolaborasi, empati, dan nilai yang kita rawat bersama.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, menurut saya literasi kebangsaan digital bukan hanya tugas negara saja, melainkan tanggung jawab kita semua, apalagi sesama warga siber. Ruang siber harus kita jaga supaya tetap menjadi tempat tumbuhnya persatuan, bukan tempat terbelah.