Konten dari Pengguna

Manusia sebagai Koleksi Perpustakaan

Taufiq A Gani
Peminat bidang teknologi informasi, literasi dan perpustakaan, reformasi birokrasi, dan ketahanan nasional.
25 Februari 2024 9:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi tentang perpustakaan, kita jarang mendengar ungkapan bahwa manusia sebagai koleksi perpustakaan. Kesan pertama, ungkapan tersebut mungkin terdengar agak aneh. Kita lebih sering mengasosiasikan manusia dengan peran sebagai pengelola atau pengguna perpustakaan. Namun, mari kita tinjau lebih lanjut tentang bagaimana manusia sebenarnya dapat dijadikan sebagai bagian dari koleksi perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi telah membawa perubahan besar dalam dunia perpustakaan, menggeser dari koleksi media cetak tradisional menuju koleksi digital yang semakin beragam. Perkembangan ini terus berlanjut, memacu perpustakaan untuk terus berinovasi demi menjawab tuntutan masyarakat yang berkembang
Di era yang terus berkembang, perpustakaan harus senantiasa mencari cara untuk tetap relevan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang berubah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperkuat peran perpustakaan sebagai pusat pengetahuan, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No 43 tahun 2017. Namun, untuk mencapai tujuan ini dengan efektif, pemahaman terhadap dasar-dasar taksonomi pengetahuan menjadi hal yang sangat penting.
Menurut Bollinger dan Smith dalam Journal of Knowledge Management 5(1), pengetahuan dapat dikelompokkan menjadi dua jenis: tacit dan eksplisit. Tacit adalah pengetahuan yang masih terpendam dalam pikiran manusia, seperti pengalaman atau praktik yang sulit diungkapkan secara verbal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, eksplisit adalah pengetahuan yang sudah terkodifikasi dalam bentuk tulisan atau database. Dalam konteks layanan perpustakaan, pengetahuan eksplisit merujuk pada karya tulis, cetak, dan rekam yang menjadi koleksi perpustakaan.
Dengan memahami perbedaan antara tacit dan eksplisit, perpustakaan dapat meningkatkan layanan dan koleksinya, serta tetap menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi masyarakat.

Human as Library Collection

Idealnya, perpustakaan harus mengelola kedua jenis pengetahuan ini secara seimbang. Namun, dalam praktiknya, banyak perpustakaan cenderung lebih fokus pada pengelolaan pengetahuan eksplisit melalui koleksi fisik dan digital mereka. Namun, bagaimana jika kita memperlakukan manusia sebagai bagian dari koleksi perpustakaan?. Perlakuan itu diceritakan oleh Zoya Hussain dalam India Time (15/02/2022) sebagai konep yang dinamakan human library. Beliau menjelaskan bahwa seorang pemustaka dapat "meminjam" orang lain yang memiliki pengalaman yang beragam.
ADVERTISEMENT
Orang lain yang dimaksudkan berperan sebagai buku sebagaimana lazim dijumpai di perpustakaan konvensional. Human library saat ini sudah banyak dipraktekkan di banyak negara di dunia. Bahkan, sebuah organisasi internasional sudah didirikan di Denmark pada tahun 2000 untuk mengadvokasi implementasi human library di seantero dunia.
Di Indonesia, Soraya Hariyani Putri dari Perpustakaan Nasional RI menceritakan pengalaman Perpustakan Jakarta dalam menerapkan human library sebagaimana dilaporkan di halaman berita website IFLA (23/10/2023). Menariknya Perpustakaan Jakarta menyediakan koleksi berupa orang yang mengalami diskriminasi atau stigma di masyarakat.
Oleh karenanya, pihak pengelola akan memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum “peminjaman koleksi” dilakukan. Penjelasan ini berupa apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama proses “membaca” dilakukan. Proses membaca di sini tidak lain adalah tanya jawab.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki program serupa yang disebut Program Living Collection. Menurut Dra. Labibah, MLIS, Kepala Perpustakaan, program ini menyediakan koleksi live berupa orang yang dapat memberikan informasi komprehensif tentang subjek atau isu tertentu. Dalam uji cobanya (18/04/2023), yang bertindak sebagai living collection adalah Bapak Rektor UIN Sunan Kalijaga sendiri.
Dari beberapa pendekatan yang dilakukan, penulis melihat inti dari inovasi ini adalah menjadikan human as library collection (manusia sebagai koleksi perpustakaan). Landasan utama dalam konsep ini adalah manusia tidak hanya menjadi pengguna perpustakaan, tetapi juga menjadi penyedia pengetahuan yang berharga bagi pemustaka (masyarakat pengguna perpustakaan).
Peran perpustakaan di sini adalah sebagai fasilitator pertukaran pengetahuan yang lebih luas, yaitu mencakup pandangan, intuisi, atau pengalaman individu yang menjadi sumber daya pengetahuan berharga bagi orang lain atau komunitas. Dengan demikian, konsep ini mencerminkan visi perpustakaan sebagai pusat pengetahuan untuk meningkatkan daya inklusi dan kearifan lokal masyarakat.
ADVERTISEMENT

Perpustakaan sebagai Pusat Pengetahuan yang Inklusif

Daya inklusi dan kearifan lokal yang diharapkan tersebut menjadikan perpustakaan lebih dari sekadar tempat penyimpanan koleksi fisik, tetapi juga pusat pertukaran pengetahuan yang dinamis dan inklusif bagi masyarakat.
Perpustakaan dapat memanfaatkan pengetahuan tacit untuk memperkaya koleksi dan layanan yang disediakan. Langkah-langkah konkret dapat diambil untuk mendorong partisipasi manusia dalam membagikan pengetahuan mereka kepada masyarakat melalui perpustakaan.
Peran perpustakaan sebagai sumber pengetahuan perlu dioptimalkan dengan cara:
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, konsep "Manusia sebagai Koleksi Perpustakaan" yang menawarkan pendekatan inovatif untuk memperkaya layanan perpustakaan telah dibahas. Peran manusia sebagai penyedia pengetahuan, menjadikan perpustakaan sebagai pusat pengetahuan yang dinamis dan inklusif.
Beberapa pendekatan, seperti Human Library dan Program Living Collection, telah diterapkan di perpustakaan di dalam dan luar negeri. Untuk mengoptimalkan konsep ini, diperlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan, serta penyesuaian kebijakan pemerintah agar perpustakaan tetap relevan dan efektif dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan masyarakat.
Rekomendasi yang diberikan adalah pemerintah perlu mempertimbangkan penyesuaian kebijakan untuk inklusivitas masyarakat dan perkembangan penyediaan koleksi perpustakaan. Meskipun Undang-Undang No 43/2017 tentang Perpustakaan masih berfokus pada pengetahuan eksplisit, penting untuk memperhitungkan pengetahuan tacit dan yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan jika ada revisi. Harapannya perpustakaan dapat terus relevan dan inklusif dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan masyarakat.
ADVERTISEMENT