Konten dari Pengguna

Politik Kekuasaan di Balik Rak Buku

Taufiq A Gani
Alumni PPRA 65 Lemhannas, Alumni PKN II LAN RI, Peneliti di Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas
20 April 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Politik Kekuasaan di Balik Rak Buku” adalah ungkapan reflektif saya tentang perpustakaan, kekuasaan, politik, dan martabat bangsa. Rak buku di sini adalah metafora dari perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Saya bekerja di Perpustakaan Nasional (Perpusnas). Meski bukan tugas pokok, saya menyaksikan bagaimana program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) berhasil menjadikan perpustakaan desa lebih bermanfaat bagi masyarakat. Kini perpustakaan bukan hanya tempat membaca, tetapi ruang hidup.
Banyak cerita bermunculan: warga memanfaatkan perpustakaan untuk meningkatkan kecakapan hidup. Ibu-ibu belajar mengelola keuangan, anak-anak menyusun cita-cita, terinspirasi dari buku-buku yang tersedia. Saya melihat adanya harapan perubahan kehidupan yang lebih baik kini hadir di perpustakaan desa.
Perpustakaan Berinklusi Sosial, Gambar dengan CHATGPT
Perubahan terjadi karena dukungan banyak pihak. Bappenas menetapkan TPBIS sebagai program prioritas. Anggarannya dialokasikan oleh Kementerian Keuangan. Komisi X DPR RI berkontribusi lewat fungsi anggaran dan pengawasannya. Peran dan dinamika lembaga negara inilah yang disebut sebagai politik kekuasaan di perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Namun, keberhasilan ini menyisakan pertanyaan penting: apakah perpustakaan memang selalu menjadi ruang yang berpihak pada rakyat, atau justru pernah menjadi alat kekuasaan yang membentuk arah pikiran masyarakat?
Untuk menjawabnya, kita perlu menengok ke belakang—menelusuri bagaimana perpustakaan dijalankan di berbagai peradaban besar dunia, dan bagaimana kekuasaan kerap menyusup ke dalam perpustakaan.
Politik Kekuasaan dan Perpustakaan. Gambar dibuat dengan CHATGPT
Perpustakaan dalam Bayang Kekuasaan
Di masa lampau, perpustakaan lahir dan tumbuh dalam lingkungan supremasi politik kekuasaan, bukan dalam semangat demokrasi.
Untuk memahami ini, kita perlu menoleh ke belakang, menelusuri bagaimana perpustakaan dikelola di berbagai peradaban dan bagaimana kekuasaan menyatu dengan perpustakan. Sejarah memperlihatkan bahwa perpustakaan kerap menjadi instrumen kekuasaan di berbagai peradaban.
Di Roma Kuno, perpustakaan publik didirikan dan dikelola penguasa sebagai simbol prestise politik (T. Keith Dix, 1994). Lokasinya berada di kompleks kekaisaran, dengan koleksi yang disaring sesuai kepentingan negara.
ADVERTISEMENT
Pola ini tidak hanya terjadi di Roma. Di era Yunani, Perpustakaan Alexandria sangat dipengaruhi oleh kekuasaan. Koleksi dari kapal asing diakuisisi atas perintah penguasa. Naskah yang disimpan adalah yang sejalan dengan politik dan ideologi mereka (Hendrickson, 2022).
Di Tiongkok, kontrol ketat menyebabkan perpustakaan menjadi tertutup. Akses ke perpustakaan diarahkan untuk menjaga ideologi negara hingga abad ke-20 (Zhixian Yi, 2013).
Hal serupa juga dicatat oleh Malesevic (2024), menambah bukti bahwa perpustakaan berada di bawah kekuasaan penuh, yaitu otoritas biara dan gereja.
Tidak kalah kuat, kekuasaan di dunia Islam juga memanfaatkan perpustakaan sebagai alat politik. Pada abad ke-9, Bayt al-Hikmah di Baghdad menjadi simbol supremasi Abbasiyah dan saluran penyebaran ideologi (Agus Rifai, 2010).
ADVERTISEMENT
Pengalaman lintas peradaban ini menunjukkan bahwa kekuasaan tak selalu hadir secara terbuka, melainkan meresap lewat pengaturan pengetahuan. Seluruh pola historis di atas menguatkan satu hal: pengetahuan dan kuasa saling berkelindan, bukan hanya secara historis, tetapi juga secara teoretis.
Dari Baghdad hingga Beijing, perpustakaan tak sekadar wadah ilmu, tetapi juga medan ideologi. Di sinilah teori menjadi terang.
Semua pengalaman ini dapat ditafsirkan lebih dalam melalui teori filsuf Prancis, Michel Foucault. Pemikirannya menyatakan bahwa pengetahuan bukan hanya alat kekuasaan, tetapi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks perpustakaan, kekuasaan mengatur pengelolaan pengetahuan lewat akuisisi, kurasi, klasifikasi. penyediaan , klasifikasi, dan akses koleksi.
Dari Instrumen Kekuasaan Menuju Pilar Demokrasi
Perpustakaan, saat ini tak lagi menjadi alat supremasi, melainkan berfungsi sebagai jembatan bagi ruang publik terbuka. Masyarakat mulai datang ke perpustakaan, menjadikannya ruang hidup yang terbuka dan relevan, bahkan bukan lagi hanya tempat membaca, tetapi tempat menyusun gagasan dan berdiskusi untuk kehidupan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perpustakaan ikut serta memperkuat kapasitas masyarakat sipil. Beda jauh dengan dahulu, perpustakaan berfungsi untuk mempertahankan hegemoni, kini menjadi penyeimbangnya. Perpustakaan menjadi ruang yang membebaskan masyarakat dari hegemoni. Ruang itu mempertemukan kekuasaan pemerintah dan komunitas masyarakat.
Perpustakaan, Demokrasi dan Martabat Bangsa, Gambar dibuat dengan ChatGPT
Bergerak ke Arah Martabat
Dalam demokrasi yang sejati, ruang partisipasi warga tak hanya soal hak bicara, tetapi juga soal arah nilai bersama. Di sinilah martabat bangsa menemukan ruangnya.
Pada awal 2025, Perpusnas mencanangkan visi baru, yaitu “Perpustakaan Hadir Demi Martabat Bangsa.”
Bagi saya, ungkapan itu bukan sekadar jargon kelembagaan, melainkan penegasan atas tekad untuk membalikkan sejarah. Dari alat kekuasaan menjadi ruang partisipasi. Dari simbol dominasi menjadi tempat membangun harkat martabat bangsa.
Saya berharap TPBIS tidak sekadar terbatas pada realisasi anggaran, tetapi harus berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan martabat.
ADVERTISEMENT
Karena itulah, makna martabat tidak bisa dilepaskan dari bagaimana perpustakaan dikelola—apakah sebagai ruang publik yang partisipatif, atau justru sebagai saluran kekuasaan yang tak terlihat.
Namun, membangun martabat tak cukup dengan visi; ia harus hidup dalam praktik, terutama dalam tata kelola perpustakaan sehari-hari.
Membangkitkan Kesadaran
Kita harus sadar bahwa politik bisa hadir secara diam-diam lewat kebijakan pengelolaan perpustakaan, mengatur penyediaan dan akses ke pengetahuan. Perpustakaan menjadi lebih melayani otoritas politik daripada publik. Alhamdulillah, perubahan telah hadir. Perpustakaan berubah menjadi ruang yang menguatkan martabat, bukan memusatkan kuasa. Namun, agar tetap di jalur itu, sejarah harus diingat—agar pola lama tak terulang.
Memang kini tak ada lagi supremasi kekuasaan yang secara langsung memanfaatkan perpustakaan. Tetapi bentuk kekuasaan itu berubah—lebih senyap, lebih struktural. Perubahannya adalah bagaimana kekuasaan bekerja dalam pengelolaan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan dan Pengelolaan Berintegritas
Tantangan kontemporer bukan lagi berasal dari kekuasaan luar yang otoriter, melainkan muncul dari dalam sistem itu sendiri—yakni pengelolaan yang meskipun lebih otonom dan demokratis, sering kali kehilangan arah dan tanggung jawab. Dahulu, kekuasaan hadir lewat ideologi yang memaksa. Kini, ia menjelma dalam bentuk kelalaian manajerial, proyek yang tak transparan, dan penyalahgunaan anggaran. Tak sedikit perpustakaan yang akhirnya terseret masalah hukum karena dugaan korupsi.
Sebagai contoh, pengelolaan bantuan pusat untuk perpustakaan desa seharusnya bersifat stimulan, namun sering kali berhenti tanpa upaya lanjutan yang menggerakkan inisiatif masyarakat. Di lembaga pemerintahan pun serupa: perpustakaan dikelola sebagai wahana birokrasi dan administrasi semata, bukan sebagai pusat pengetahuan dan aktivitas masyarakat.
Kita memang tak lagi hidup di masa ketika perpustakaan dijadikan alat kekuasaan. Tetapi bahayanya kini berbeda: bukan karena terlalu dekat dengan kekuasaan, tetapi karena justru menjauh dari masyarakat. Perpustakaan yang demokratis bukan sekadar akses, tetapi harus dikelola dengan semangat partisipatif. Itu tak mungkin jika pengelola menutup diri dari masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Inilah wajah baru tantangan kekuasaan: bukan yang menindas dari atas, tetapi yang abai dari dalam. Saat kepercayaan tumbuh, pengelola harus menjaga akuntabilitas.
Sebagai penutup, perpustakaan menyimpan lebih dari sekadar buku—di sanalah arah pikir dan martabat bangsa ditata. Kelalaian dalam pengelolaan berarti mempertaruhkan martabat bangsa