Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Revisi UU TNI, Membangun Kepemimpinan Nasional
24 Maret 2025 16:47 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Taufiq A Gani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Revisi UU TNI yang disahkan (20/03/2025) menjadi topik perbincangan yang semakin hangat, terutama di kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Dalam diskusi yang saya ikuti bersama para akademisi dan pegiat LSM, terdapat beragam pandangan mengenai dampak regulasi ini terhadap tata kelola kepemimpinan nasional. Kekhawatiran utama berkisar pada potensi meningkatnya peran militer dalam birokrasi sipil, sementara di sisi lain, ada pula urgensi untuk mereformasi kepemimpinan nasional agar lebih integratif.
ADVERTISEMENT
Teori klasik Huntington dan Janowitz menekankan pemisahan sipil-militer untuk menjaga supremasi sipil. Namun, Rebecca L. Schiff dalam Concordance Theory menunjukkan bahwa hubungan sipil-militer yang stabil bukan sekadar soal pemisahan, tetapi kesepahaman dan kerja sama antara militer, elite politik, dan masyarakat.
Kolaborasi antara sipil dan militer menjadi kebutuhan dalam menghadapi tantangan strategis modern, seperti keamanan siber dan krisis geopolitik. Banyak negara telah mengadopsi model yang memungkinkan integrasi pejabat sipil dan militer dalam perumusan kebijakan strategis, tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Salah satu contohnya adalah National Security Council (NSC) di berbagai negara, yang memungkinkan sinergi lintas sektor dalam menjaga stabilitas nasional dan merespons ancaman multidimensi secara lebih efektif.
Hal tersebutlah yang memotivasi saya berpendapat bahwa bukan hanya batasan peran militer yang perlu diperjelas, tetapi juga bagaimana membangun kepemimpinan nasional yang inklusif, menghapus dikotomi sipil-militer, dan memperkuat kompetensi nasional melalui integrasi pendidikan serta pelatihan kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Seleksi Terbuka dan Berbasis Kompetensi: Kunci Rekrutmen yang Adil
Revisi UU TNI yang baru memungkinkan anggota TNI aktif menjabat di 14 kementerian/lembaga, namun kebijakan ini tidak boleh hanya menjadi solusi bagi perwira tanpa jabatan aktif (bangku panjang). Setiap penempatan harus berbasis seleksi terbuka dan kompetensi, tidak boleh penunjukan langsung.
Untuk itu, instansi yang menerima personel militer perlu melakukan analisis jabatan yang akurat, guna memastikan individu yang ditempatkan benar-benar memiliki keahlian sesuai kebutuhan organisasi. Penunjukan yang tidak melalui seleksi transparan berpotensi mengabaikan prinsip meritokrasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap profesionalisme birokrasi.
Sebagai contoh, dalam bidang keamanan dan pertahanan siber, seorang prajurit TNI dengan keahlian Command and Control (C2) dapat memberikan kontribusi strategis dalam perumusan kebijakan nasional. Namun, untuk jabatan administratif atau teknis yang tidak berkaitan dengan pertahanan, relevansi penempatan personel militer harus dipertimbangkan lebih cermat.
ADVERTISEMENT
Prinsip utama yang harus ditegakkan adalah seleksi berbasis kompetensi. Apa pun jabatannya, penempatan harus terbuka bagi semua kalangan yang memenuhi syarat administratif dan profesional, bukan hanya bagi perwira aktif semata.
Pentingnya C2 dalam Jabatan Strategis
C2 adalah elemen kunci dalam kepemimpinan strategis, terutama di lingkungan yang membutuhkan respons cepat, koordinasi efektif, dan pengambilan keputusan berbasis data. Konsep ini tidak hanya relevan dalam konteks militer, tetapi juga dapat diterapkan secara luas dalam manajemen krisis, keamanan nasional, serta pengelolaan birokrasi modern.
Dalam pertahanan siber, C2 memungkinkan pengelolaan ancaman digital secara real-time dengan koordinasi lintas sektor yang efektif untuk merespons insiden nasional. Dalam manajemen krisis, seperti penanggulangan bencana alam atau pandemi, prinsip ini mempercepat alokasi sumber daya dan meningkatkan koordinasi antar lembaga. Sementara itu, dalam pengelolaan pemerintahan, C2 dapat meningkatkan efisiensi dalam pengambilan keputusan, terutama dalam kebijakan yang membutuhkan integrasi lintas sektor dan analisis situasional yang kompleks.
ADVERTISEMENT
Dengan penguasaan prinsip C2, pemimpin nasional dapat membangun sistem pemerintahan yang lebih adaptif dan tangguh dalam menghadapi tantangan global yang semakin dinamis.
Seiring dengan perkembangan teknologi dalam dunia militer, konsep C2 terus berkembang menjadi C5ISR (Command, Control, Communications, Computers, Cyber, Intelligence, Surveillance, and Reconnaissance). C5ISR menggabungkan elemen komunikasi, komputasi, dan siber untuk mendukung pengambilan keputusan yang lebih cepat dan berbasis data dalam berbagai sektor strategis. Implikasi dan penerapan C5ISR akan saya bahas lebih lanjut dalam kesempatan terpisah.
Model Pendidikan Lintas Sektor untuk Kepemimpinan Nasional
Pengalaman dari National War College (NWC) Amerika Serikat dan Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS) Singapura menunjukkan bahwa kepemimpinan nasional yang kuat harus didukung oleh pendidikan lintas sektor. NWC mengembangkan strategi keamanan nasional dengan integrasi 59% perwira militer dan 41% pejabat sipil, memungkinkan sinergi dalam pengambilan keputusan strategis. Sementara itu, IDSS di Nanyang Technological University (NTU) Singapura menekankan pentingnya kolaborasi antara militer, birokrasi sipil, dan diplomasi internasional dalam membangun kepemimpinan yang solid.
ADVERTISEMENT
Model ini dapat diadaptasi di Indonesia dengan mengoptimalkan akses pelatihan bagi pejabat sipil di institusi militer dan sebaliknya, sehingga terbentuk kepemimpinan lintas sektor yang lebih inklusif. Sebagai langkah konkret, pendidikan kepemimpinan nasional dapat diintegrasikan melalui:
Dengan reformasi regulasi yang tepat, integrasi kepemimpinan sipil-militer dapat menjadi solusi dalam membangun tata kelola nasional yang lebih adaptif, responsif, dan kolaboratif, tanpa mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Pendekatan ini akan mendorong kepemimpinan nasional yang lebih inklusif, lintas sektoral, dan berbasis kompetensi, memungkinkan sinergi antara sipil dan militer dalam perumusan kebijakan strategis yang lebih holistik dan adaptif.
ADVERTISEMENT
Peran Institusi dalam Merumuskan Model Kepemimpinan Nasional
Agar sistem kepemimpinan nasional yang terintegrasi ini dapat diwujudkan, berbagai institusi harus berperan aktif dalam perumusannya. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) bertanggung jawab dalam merancang kebijakan sinergi antara ASN, POLRI dan TNI dalam pendidikan kepemimpinan berbasis kompetensi. Badan Kepegawaian Negara (BKN) perlu menyusun analisis jabatan dan sistem rekrutmen berbasis kompetensi agar penempatan pejabat sipil dan militer dilakukan sesuai kebutuhan nyata. Lemhannas sebagai institusi strategis harus mengembangkan kurikulum kepemimpinan lintas sektor yang mencakup aspek pertahanan, geopolitik, tata kelola pemerintahan, dan manajemen krisis. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) memiliki peran dalam merancang kebijakan pendidikan bagi prajurit yang ditempatkan di instansi sipil, sehingga mereka memiliki pemahaman yang memadai mengenai tata kelola pemerintahan. Sementara itu, TNI/POLRI harus memastikan bahwa personilnya yang dikirim ke lingkungan sipil telah melalui pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan sektor pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Tantangan Implementasi dan Rekomendasi Kebijakan
Implementasi model kepemimpinan nasional lintas sektor menghadapi tantangan besar, termasuk resistensi birokrasi sipil, perbedaan doktrin kepemimpinan antara ASN, POLRI, dan TNI, serta keterbatasan regulasi yang masih membatasi fleksibilitas mobilitas personel antar sektor. UU TNI, UU Kepolisian, dan UU ASN saat ini mengatur secara ketat pergerakan sumber daya manusia lintas institusi, sehingga diperlukan harmonisasi kebijakan agar integrasi kepemimpinan dapat berjalan efektif tanpa mengabaikan profesionalisme di masing-masing sektor.
Sebagai langkah konkret, perlu dilakukan revisi regulasi untuk memberikan dasar hukum yang jelas bagi kepemimpinan lintas sektor. Kemenpan-RB dan BKN harus merancang skema rekrutmen berbasis kompetensi agar ASN, anggota POLRI, dan TNI dapat ditempatkan sesuai keahliannya di berbagai sektor pemerintahan. Sementara itu, Lemhannas, LAN, POLRI, dan Kemenhan perlu memperkuat sinergi dalam kurikulum pendidikan kepemimpinan, dengan mengakomodasi wawasan strategis terkait tata kelola pemerintahan, pertahanan negara, dan pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Dengan pendekatan ini, sistem kepemimpinan nasional yang lebih adaptif dan kolaboratif dapat diwujudkan, memastikan sinergi lintas sektor yang berkelanjutan dan efektif.
Penutup: Membangun Kepemimpinan Nasional yang Adaptif
Model kepemimpinan lintas sektor memberikan kesempatan bagi pejabat pemerintahan untuk memahami perspektif sipil-militer secara seimbang, tanpa terjebak dalam bias institusional yang dapat menghambat pengambilan kebijakan. Jika diterapkan dengan baik, pendekatan ini akan menghasilkan pemimpin nasional yang tegas, disiplin, serta cakap dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis dan transparan.
Namun, keberhasilan model ini harus diiringi dengan pengawasan ketat untuk mencegah overmiliterisasi birokrasi sipil atau sebaliknya, pelemahan peran sipil dalam sistem pertahanan nasional. Harmonisasi regulasi dalam UU TNI, UU POLRI, dan UU ASN menjadi langkah strategis agar pertukaran kepemimpinan lintas sektor memiliki dasar hukum yang jelas dan berjalan sesuai prinsip profesionalisme.
ADVERTISEMENT
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks, sinergi antara sipil dan militer adalah kunci dalam melahirkan kebijakan yang lebih solid, inovatif, dan adaptif. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat membangun kepemimpinan nasional yang kuat dalam pertahanan sekaligus unggul dalam tata kelola pemerintahan modern.
Ke depan, sinergi ini harus diwujudkan melalui kebijakan rekrutmen berbasis kompetensi serta integrasi pendidikan dan pelatihan lintas sektor, guna menciptakan sistem kepemimpinan nasional yang lebih profesional, inklusif, dan berkelanjutan.
*Penulis adalah Alumni PPRA 65 Lemhannas, PKN II LAN RI, Anggota Tim Kajian Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI), saat ini ASN di Perpusnas*