Konten dari Pengguna

Ketika Islam Berpadu dengan Kearifan Lokal di Bumi Tidore: Harmoni yang Memukau

Taufiq Muhammad Ade
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,Fakultas Agama Islam,Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
31 Oktober 2024 10:11 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiq Muhammad Ade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret pulau Tidore. sumber : Doc pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Potret pulau Tidore. sumber : Doc pribadi
ADVERTISEMENT
Tidore, sebuah pulau yang terletak di Utara provinsi Maluku merupakan pulau rempah yang kaya akan sejarah dan budaya. Tidore menyimpan kisah unik dan menarik tentang perpaduan yang indah antara ajaran islam dan budaya lokal. Proses akulturasi islam dan budaya lokal yang terjadi di bumi tidore telah melahirkan sebuah harmoni yang begitu memikat dan masih terasa hingga kini. Pulau ini berada di sebelah barat Pulau Halmahera. Pulau tidore merupakan tetangga pulau Ternate dan dapat ditempuh menggunakan speed boat dengan estimasi perjalanan 20 menit. Dahulu, di pulau ini juga pernah berdiri Kesultanan Tidore. Pulau tidore pernah menjadi pusat kesultanan kuno dan kuat, serta merupakan salah satu kerajaan islam terbesar di Indonesia. Pulau ini juga dijuluki sebagai “Pulau Seribu Masjid” karena merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pertemuan Dua Dunia yang Indah
Islam masuk ke kerajaan Tidore pada akhir abad ke 14. Ketika Sultan Djamaluddin, Raja Tidore ke 11 memeluk islam setelah didakwahi oleh Syaikh Mansur dari Arab. Kedatangan islam di Tidore membawa pengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Masuknya ajaran islam ke bumi tidore memiliki kaitan dengan aktivitas perdagangan rempah rempah pada masa itu. Pada pertengahan abad ke 15, perdagangan rempah rempah di maluku semakin ramai, dengan banyak nya pedagang dari berbagai negara yang datang ke tidore untuk membeli rempah rempah. Kerajaan tidore tidak hanya berperan sebagai pusat perdagangan rempah rempah, akan tetapi juga sebagai penyebar agama islam di wilayah Papua dan Nusantara Timur.
ADVERTISEMENT
Penyebaran islam di Nusantara Timur oleh Kerajaan Tidore dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: perluasan wilayah kekuasaan, hubungan diplomatic dan perdagangan, serta dakwah dan pendidikan. Kerajaan Tidore mengirimkan ulama ulama untuk berdakwah di daerah daerah yang belum memeluk islam. Kerajaan Tidore juga mendirikan pusat pusat belajar islam dan masjid masjid untuk mengajarkan ajaran islam kepada masyarakat. Kerajaan Tidore mengalami kejayaan nya pada abad ke 15 dan 16. Kedatangan Islam di Tidore bukanlah sesuatu yang menghilangkan tradisi dan kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Justru, terjadilah sebuah dialog yang indah antara keduanya. Seiring berjalan nya waktu, ajaran islam perlahan meresap ke dalam kehidupan masyarakat, namun tetap menghormati nilai nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur.
ADVERTISEMENT
Contoh Nyata Akulturasi Islam dan Budaya Lokal di Bumi Tidore
Salah satu contoh nyata akulturasi ini adalah ritual Salai Jin. Ritual ini awalnya memiliki nuansa animisme dan kemudian dipadukan dengan unsur unsur islam seperti pembacaan tahlil serta doa doa. Perpaduan ini menunjukkan bagaimana masyarakat Tidore mampu menemukan titik temu antara kepercayaan tradisional dengan ajaran islam. Salai di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak didefenisikan dan diartikan dengan makna yang sesungguhnya, karena arti dari dari salai itu sendiri adalah ikan dan pisang yang diasapi. Namun, asap atau diasapi masih memiliki unsur yang sama dengan ritual salai jin karena di dalam ritual tersebut ada “dupa” yang berisi bara api dan dibumbui dengan kemenyanan, maka asap nya menjulang tinggi atau disebut ritual malahi (permohonan).
ADVERTISEMENT
Salai merupakan suatu bentuk tarian, sedangkan jin adalah suatu tarian pemanggilan kepada jin sebagai makhluk halus. Oleh karena itu. Salai Jin merupakan suatu tarian pemanggilan kepada Jin sebagai makhluk halus yang dipelihara oleh seseorang atau komunitas. Tradisi Salai Jin apabila dilacak maka hampir sebagian besar kumpulan atau komunitas masyarakat Tidore yang tersebar di Daratan Halmahera memiliki jojoho yang sama. Kata Jojoho berarti pegangan. Jadi kebanyakan komunitas di tidore memiliki pegangan atas ritual Salai Jin yanhg sudah ada sejak zaman nenek moyang terdahulu. Masyarakat Tidore menganggap ritual Salai Jin sebagai bentuk penghormatan atas leluhur dan roh roh nenek moyang mereka yang diyakini dapat mendatangkan berkah dan keselamatan.
Ketika Salai Jin Dilaksanakan, maka disitu terdapat suatu kelompok sosial melaksanakan interaksi, baik interaksi antarindividu yang satu dengan individu lainnya. Dalam rangka berpartisipasi untuk melaksanakan hajat (pekerjaan) orang lain yang dilakukan secara bersama. Hal ini ini diistilahkan dengan kesadaran kolektif yang bersandar pada kesadaran individu masyarakat karena ada hubungan sosial. Hubungan sosial tersebut menjadi sistem nilai yang disebut dengan solidaritas sosial. Dalam perspektif sosial, masyarakat Tidore berpegang teguh dengan nilai nilai keluhuran yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Tradisi leluhur yang berdasarkan agama dan itu berdasarkan dari syari’at Allah. Hal ini didukung dengan anggapan bahwa manusia mempunyai kehidupan yang beraneka ragam, karena hakekatnya manusia sebagai makhluk berbudaya memberikan implikasi penting yang bermanfaat bagi kehidupan.
ADVERTISEMENT
Di dalam konteks dakwah islam di Tidore (ritual Salai Jin), klasifikasi mad’u dapat diketahui melalui proses pengislaman yang diungkapkan Putuhena, yaitu pengislaman melalui jalur atas penguasa kesultanan dan pengislaman melalui jalur bawah (rakyat biasa). Berangkat dari hal tersebut, mad’u pada dakwah islam di bumi Tidore (ritual Salai Jin) dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penguasa dan kelompok rakyat. Penguasa kesultanan merupakan mad’u yang dijadikan target utama da’i di dalam berdakwah pada suatu tempat. Hal ini karena penguasa kesultanan merupakan pemegang otoritas tertinggi di daerah tersebut. Sehingga keberhasilan seorang da’i dalam berdakwah pada kelompok pengiuasa, akan ikut berpengaruh pada kelompok dibawahnya seperti penguasa negeri dan rakyat biasa. Di sisi lain, kelompok rakyat juga tidak kalah berperan dan berpengaruh, sehingga dakwah yang dilakukan tidak semata mata mengandalkan penguasa kesultanan. Kemudian materi dalam dakwah islam di Tidore (ritual Salai Jin) adalah materi hablum minallah (hubungan antara manusia dan Allah), ini berkaitan dengan Aqidah dan keimanan. Dalam konteks ini, keimanan yang dimaksud adalah keimanan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal ini terlihat jelas di salah satu tahapan di dalam ritual Salai jin, yaitu tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir dzikir kepada Allah. Selain itu, materi keimanan yang berkaitan dengan hablum minallah juga ditemukan dalam satu tahapan ritual Salai Jin, yaitu pada tahapan paka kie (naik ke puncak gunung) yang di dalamnya juga terdapat bacaan bacaan ayat Alqur’an.
ADVERTISEMENT
Berhubungan dengan Salai Jin, dakwah islam di Tidore dilakukan dengan media akhlak (perbuatan). Hal ini dapat dilihat dengan penyesuaian ajaran ajaran islam dalam tahapan tahapan ritual Salai Jin. Penyesuaian itu terlihat pada tahapan tahlilan yang di dalamnya tidak hanya dzikir saja, tetapi hal hal yang berhubungan dengan aspek aspek sosial juga terdapat di dalamnya. Hal ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan nilai budaya lokal yang ada di dalam ritual Salai Jin, salah satunya yaitu nilai sosial. Nilai sosial terdapat pada tahapan persiapan ritual Salai Jin yang terdiri dari diyahi fola (pemasangan dekorasi di tempat pelaksanaan ritual) dan tutu galapung (menghaluskan beras menjadi tepung).
Dalam konteks dakwah islam di Tidore (ritual Salai Jin), metode dakwah yang digunakan adalah metode dakwah bil hikmah . Bukti dari penggunaan metode dakwah ini dapat dilihat pada penyesuaian penyesuaian yang dilakukan dengan tidak serta merta merubah secara total budaya setempat yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama. Seperti pada tahapan tahlilan termasuk pada tahapan yang ada setelah kedatangan islam. Tahapan ini diterima dan dimasukkan sebagai tahapan dalam ritual Salai Jin karena sejalan dengan beberapa tahapan yang telah ada sebelumnya dan memiliki kesamaan pada aspek sosial. Metode bil hikmah yang digunakan tidak sekedar berdampak pada penerimaan aspek islam sebagai tahapan yang berdiri sendiri di dalam ritual Salai Jin, akan tetapi penerimaan islam bahkan sampai pada penyatuan islam dalam satu tahapan yang telah ada sebelumnya. Seperti pada tahapan pada kie (naik ke puncak gunung) yang di dalamnya terdapat akulturasi islam dan budaya lokal. Nilai nilai budaya lokal yang terkandung di dalam ritual Salai Jin memiliki keterkaitan dengan ajaran ajaran islam yang termasuk ajaran ajaran utama. Ajaran ajaran tersebut ialah aqidah hablum minannas (hubungan antara manusia dengan manusia) serta thaharah (bersuci). Keterkaitan ajaran islam dan budaya lokal di dalam ritual Salai Jin dijadikan sebagai pintu masuk dan juga jalan untuk menyebarkan dakwah islam.
ADVERTISEMENT
Selain Salai Jin, tradisi ratib juga menjadi bukti kuat akan akulturasi yang terjadi. Ratib merupakan amalan dzikir dan juga sholawat telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Tidore. Bahkan ratib seringkali diadakan di berbagai acara, baik itu acara keagamaan maupun acara adat. Tradisi Ratib di kota Tidore masih dipertahankan hingga kini. Masyarakat Tidore melihat bahwa Ratib adalah sebuah perbuatan yang mendatangkan manfaat, dalam artian lewat amalan ratib, seseorang bisa mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik, mendekatkan diri kepada Allah lewat lantunan dzikir sekaligus menjadi media komunikasi seorang hamba dengan Allah baik dalam bentuk rasa syukur atas keberhasilan dirinya, keluarganya, dan masyarakat, atau memohon pertolongan agar dijauhkan dari segala musibah. Ratib tidak bisa hilang dari masyarakat Tidore dikarenakan Ratib tidak berkaitan dengan sosial. Sosial yang dimaksud disini adalah implementasi agama islam seperti kebutuhan masyarakat baik secara teoritis maupun praktis. Yaitu tentang sholat, thaharah, memandikan mayat, dan hal lain yang berkaitan dengan keislaman. Dengan begitu, amalan ratib adalah satu amalan yang dapat mengantarkan manusia kepada kedamaian dan ketentraman hidup. Ratib merupakan jalan keluarga dunia akhirat, keluarga yang memiliki nilai nilai spiritualitas akan selalu bertaqwa dan selalu memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
ADVERTISEMENT
Nilai Nilai Luhur dan Budaya yang Terjaga
Akulturasi islam dan budaya lokal di Bumi Tidore tidak hanya menghasilkan perpaduan yang unik, tetapi juga menjaga nilai nilai luhur yang dimiki oleh kedua belah pihak. Di antaranya adalah nilai gotong royong, toleransi, dan juga penghormatan terhadap leluhur. Nilai nilai ini dapat menjadi pondasi yang kuat bagi masyarakat Tidore dalam menjalani kehidupan. Kisah akulturasi islam dan budaya lokal di Tidore memberikan pelajaran berharga bagi kita semua. Agama dan budaya tidak selalu bersebrangan dan bertentangan, tetapi justru dapat saling melengkapi. Dengan menjaga keseimbangan keduanya serta melestarikan budaya budaya lokal, kita dapat membangun masyarakat yang harmonis dan beradab.