GBHN dan Keinginan Amandemen UUD

Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
2 April 2021 12:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiqurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Bendera Merah Putih dengan Garuda Pancasila.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bendera Merah Putih dengan Garuda Pancasila.
ADVERTISEMENT
Beredarnya isu mengenai tiga periode Presiden Joko Widodo mensinyalir keinginan untuk amandemen UUD NRI 1945 di MPR semakin menguat. Hal ini pun sudah terlihat dengan adanya tujuh poin rekomendasi untuk perubahan UUD 1945 yang dibuat oleh MPR pada periode 2014-2019 yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh MPR periode selanjutnya. Menariknya, dari ketujuh poin tersebut, adanya wacana untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
ADVERTISEMENT
Wacana menghidupkan GBHN tidak terlepas dari adanya pandangan bahwa pembangunan nasional saat ini tidak berjalan dengan maksimal. Jimly Asshiddiqie misalnya, GBHN penting untuk dihidupkan kembali. Sehingga GBHN dapat menjadi rujukan pembangunan Indonesia yang menyeluruh dan terarah.
Membaca Peluang Amandemen
Perubahan UUD 1945 secara metode terdapat dua macam. Pertama, secara formal yakni mekanisme yang telah diatur sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 37 yang pada intinya, perubahan diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dan untuk mengubah Pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Kemudian, keputusan untuk mengubah dilakukan minimal lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.
Kedua perubahan informal, yakni mekanisme perubahan UUD di luar cara-cara dan mekanisme yang telah diatur dalam UUD 1945. Misalnya, melalui kebijakan pemerintah, praktik legislasi dan ajudikasi lembaga peradilan. Jika membaca peta politik di parlemen tampaknya perubahan secara formal menjadi hal sangat memungkinkan. Terbangunnya koalisi gemuk di parlemen yang mencapai 80% pendukung pemerintahan bukan suatu hal yang sulit untuk dilakukannya amandemen UUD 1945.
ADVERTISEMENT
GBHN Pasca Amandemen
Pasca amandemen UUD 1945, telah mereduksi kedudukan dan kewenangan MPR, yang awalnya merupakan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara. Konsekuensinya, jika sebelumnya presiden dipilih oleh MPR menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Korelasinya dengan GBHN yakni ketika presiden yang dipilih MPR maka arah kebijakan pembangunan haruslah sejalan dengan GBHN yang telah ditetapkan dan kemudian dipertanggung jawabkan ke MPR.
Tetapi saat ini berbeda di mana presiden dipilih dan bertanggung jawab langsung ke rakyat. Dengan demikian, maka konsep GBHN yang akan datang tentunya haruslah berbeda dengan di era orde baru. Sebab bagaimanapun, konsekuensinya dari sistem presidensial maka presiden langsung bertanggung jawab ke rakyat tidak ke parlemen layaknya sistem parlementer.
ADVERTISEMENT
Saya berpandangan bahwa ke depan konsep GBHN harus memperhatikan, Pertama, GBHN tidak hanya berfokus pada penyelenggaraan pembangunan yang dilakukan oleh eksekutif tetapi juga bagi seluruh lembaga negara.
Misalnya, dari aspek eksekutif, sebenarnya panduan rencana pembangunan mengacu pada Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Dalam hal ini dibedakan menjadi dua, yakni jangka menengah dan panjang. Namun, sejak 2005 hingga sekarang SPPN ini masih meninggalkan berbagai persoalan. Contohnya, tidak ada kewajiban bagi presiden terpilih untuk melanjutkan program presiden sebelumnya. Di samping itu, sejauh ini pemerintah pusat memiliki program pembangunan sendiri, begitu pula pemerintah daerah. Hal ini menyebabkan pembangunan menjadi tidak berkesinambungan.
Kemudian, dari sisi legislatif, saat ini masih ditemukan konflik antara DPR dan DPD dalam hal legislasi. Misalnya, dalam pembahasan UU Cipta Kerja. DPD menolak pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan di tengah pandemi, yang mana seharusnya seluruh elemen bangsa fokus untuk mengatasi wabah. Namun, sebaliknya, DPR dan Pemerintah bersikeras untuk menyetujui UU Cipta Kerja yang kemudian disahkan oleh presiden.
ADVERTISEMENT
Dan terakhir dari sisi yudikatif, meskipun MK dan MA keduanya merupakan lembaga yang mandiri dan kuat, namun, masih sering terjadi tumpang tindih dan ketidaktepatan penempatan kewenangan antara lembaga tersebut. Contohnya, putusan MK tentang larangan keikutsertaan anggota partai politik dalam pencalonan pemilihan DPD. Namun, MA membuat putusan yang berbeda.
Kedua, pertanggung jawaban GBHN langsung ke rakyat. Artinya, GBHN tidak lagi dipertanggung jawabkan di hadapan MPR melainkan langsung ke rakyat. Sehingga rakyat dapat menilai masing-masing kinerja lembaga negara. Sebab sejatinya kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dan juga model pertanggungjawaban akan ada laporan setiap tahunnya terkait dengan kinerja masing-masing lembaga negara. Laporan ini dapat dilakukan dalam sidang tahunan MPR RI yang diselenggarakan satu hari sebelum upacara kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, GBHN akan menjadi pedoman bagi seluruh lembaga negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Sehingga setiap lembaga negara memiliki satu kesatuan yang lebih terarah dan tidak jalan sendiri.
Penulis : Taufiqurrahman
Mahasiswa dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock