Menyoal Dinasti Politik Dalam Pilkada Serentak

Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
2 September 2020 19:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiqurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nasional.Sindo
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang ditujukan untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota akan dilaksanakan pada desember mendatang. Meskipun ditengah wabah covid-19 yang semakin hari tidak menunjukan penurunan kasus, Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk tetap menghelat pesta demokrasi.
ADVERTISEMENT
Perhelatan Pilkada diselenggarakan pada 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 kota. kini berbagai partai politik telah mendeklarasikan dukung terhadap calon kepala daerah yang akan diusung. Dalam momen tersebut tidak sedikit partai politik yang memberi dukungan terhadap calon yang masih memiliki hubungan kerabat dengan pejabat.
Beberapa figur yakni Gibran Rakabuming (calon wali kota solo), Putra dari Presiden Joko Widodo, M. Bobby Afifi (calon wali kota medan), Menantu dari Presiden Joko Widodo, Rahayu Saraswati (calon Wakil Walikota Tangerang Selatan), Keponakan dari Prabowo Subianto, Siti Nur Azizah (calon wali kota Tangerang Seletan), Putri dari Ma’ruf Amin, Pilar Saga Ichsan (calon Wakil Wali kota Tangerang Selatan), Putra dari bupati serang, Hanindhito Himawan (calon Bupati Kediri), Putra dari Seketaris kabinet negara, Titik Masudah (calon wakil bupati Mojokerto), adik dari menteri ketenagakerjaan, Irman Yasin Limpo (calo Walikota Makasar), adik dari Menteri Pertanian. Hal ini menunjukan masih terjadinya praktik dinasti politik pada perhelatan pilkada 2020 mendatang.
ADVERTISEMENT
Dinasti politik
Dinasti politik secara teoritis dapat dipahami bahwa upaya politik untuk menjaga kekuasaaan dengan mewariskan kekuasaan yang digenggam kepada orang lain yang masih memiliki hubungan kerabat. Atau secara sederhana sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah satu anggota keluarga mereka. (Yasushi Asako, 2012). Maraknya praktik dinasti politik tidak terlepas dari pola rekrutmen calon yang tidak transparan. Misalnya, studi yang dilakukan Fitriyah (2020) menunjukan bahwa seseorang yang dicalonkan oleh partai politik akan lebih cepat jika mempunyai hubungan kekerabatan dengan pertahanan. Artinya, terjadi permasalahan dalam sistem rekrutmen politik calon kepala daerah yang melahirkan praktik dinasti politik.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementrian dalam Negeri, Prof Djohermansyah Djohan, menyebutkan, dalam kurun waktu 2010-2014 terdapat 61 daerah yang menerapkan praktik dinasti politik. Kemudian hasil penelitian terbaru menyebutkan ada 117 daerah yang terjadi praktik politik dinasti. Angka ini menunjukkan bahwa praktik dinasti politik selalu mengalami kenaikan.
ADVERTISEMENT
Selain mengenai pola rekrutmen yang tidak transparan, maraknya praktik dinasti politik tidak terlepas dari kekosongan aturan hukum. Sebagaimana yang diketahui bahwa dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, ketika belum diperbarui dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur pembatasan terhadap pasangan calon yang mempunyai hubungan kekerabatan atau garis keturunan dengan pertahana.
Tetapi pasal ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015. Dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa larangan terhadap dinasti politik merupakan tindakan diskriminatif sehingga bertentangan dengan konstitusi. Sebab kebebasan untuk dipilih dan memilih adalah merupakan hak setiap individu yang dilindungi secara konstitusional.
Dampak dari dinasti politik yakni akan membentuk jaringan kekuasaan yang kuat sehingga akan melahirkan pemerintahan yang absolut. Tentunya pemerintahan yang absolut akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar. Marcus Mietzner (2009) misalnya, menilai bahwa kecenderungan dinasti politik tidak sehat dalam sistem demokrasi yang mengakibatkan cheks and balances menjadi lemah.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, tidak terjalinnya pengawasan antara eksekutif dan legislatif sehingga melanggengkan praktik korupsi. Kasus ini terjadi pada Bupati dan ketua DPRD kabupaten Kutai Timur yang bersatus suami istri. Dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, menemukan barang bukti uang Rp 170 juta, buku tabungan dengan saldo 14,8 Miliar dan sertifikat deposito senilai 1,2 Miliar. Kasus lain misalnya, di kabupaten Klaten terjadi politik dinasti selama 20 tahun, uniknya dalam menjalankan kekuasaan melibatkan dua keluarga suami istri yang bergantian untuk memimpin Kabupaten Klaten. Dalam kasus ini KPK membuktikan uang suap dan gratifikasi berjumlah 12,887 Miliar.
Sementara itu, kasus yang paling fenomenal mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang berhasil membangun dinasti politik di pemerintahan banten. Mulai dari ibur tiri, adik ipar, hingga anak-anaknya maju dalam Pilkada dan Pemilihan DPRD. Tetapi pada 2017 Ratu Atut terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 79 Miliar.
ADVERTISEMENT
Melihat realitas yang ada bahwa dinasti politik justru melahirkan bibit-bibit koruptor maka sejatinya pembatasan seseorang terhadap hak dipilih dapat saja dibenarkan hal ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia yang lebih besar. Di samping itu, hasil survei litbang kompas misalnya, menyatakan bahwa 60,8 persen publik menolak praktik dinasti politik.
Penutup
Berdasarkan hal di atas maka penulis ingin memberikan beberapa alternatif untuk mencegah terbangunnya dinasti politik. Pertama, membangun pola rekrutmen yang transparan dalam memilih calon yang akan diusung. Sejauh ini pola rekrutmen diserahkan sepenuhnya oleh partai politik yang diatur dalam masing-masing AD dan ART. Dampaknya, publik tidak dapat mengetahui kualitas dan kapabilitas calon yang diusung. Publik hanya langsung disuguhi calon yang akan diusung secara instan. Oleh karena itu, kedepan perlu ada perbaikan pola rekrutmen calon kepala daerah dengan mengedepankan transpasaransi dan akuntabiltas melalui reformasi partai politik.
ADVERTISEMENT
Kedua, mengatur kembali regulasi larangan bagi calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan pertahanan. Hal ini dimaksudkan untuk menghadirkan kompetisi yang berkualitas dalam Pilkada. sebab tidak dapat menafikan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan pejabat berpotensi akan lebih leluasan untuk melakukan kecurangan dalam pemilihan. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan mampu mencegah lahirnya dinasti politik. Aturan tersebut bukan seolah-olah sebagai bentuk diskriminasi melainkan untuk memberikan kemaslahatan bagi masyarakat luas.
Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia