Konten dari Pengguna

Pemidanaan Vaksinasi, Tepatkah?

Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
17 Januari 2021 22:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiqurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Vaksin tvnz.co.nz
zoom-in-whitePerbesar
Vaksin tvnz.co.nz
Pemerintah terus berupaya untuk mengatasi wabah covid-19. Data per 17 Januari 2020, menunjukan bahwa korban yang terinfeksi covid-19 mencapai 907.929 orang dan 25.987 orang diantaranya meninggal dunia. Tentunya berbagai upaya terus dilakukan oleh Pemerintah bahkan pada Rabu, 13 Januari 2020, Presiden Joko Widodo menjadi orang yang pertama untuk disuntik vaksin. Vaksinasi diharapkan mampu untuk menyudahi wabah covid-19. Kendati demikian, vaksinasi masih menimbulkan berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit mereka yang mengkhawatirkan akan efek samping dari vaksinasi.
ADVERTISEMENT
Data dari Pupolis Center merilis bahwa 40% masyarakat Indonesia tidak bersedia untuk divaksin bahkan kampanye anti vaksin pun mulai di terdengar di masyarakat. Hal ini kemudian menjadi permasalahan serius, lantaran Pemerintah akan mengambil tindakan sanksi yang dapat berupa denda bahkan pemidanaan bagi masyarakat yang menolak untuk divaksin. Padahal, dalam dikursus hak atas Kesehatan, masyarakat memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri.
Hak Atas Kesehatan
Hak atas Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia yang mendasar, di mana harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Kesehatan merupakan unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan agar sesuai dengan cita-cita bangsa dan pembukaan UUD 1945. Secara yuridis pengaturan terhadap hak atas kesehatan diatur dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 5 ayat (3) misalnya, menyatakan bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu masyarakat juga berhak mendapatkan informasi dan edukasi tentang Kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab, kemudian dalam Pasal 8 menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga Kesehatan. Hal ini yang kemudian menjadi basis bahwa masyarakat memiliki kedaulatan sendiri atas hak Kesehatan.
Sehingga mewajibkan negara untuk terlibat aktif dalam membangun Kesehatan yang diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan non driskriminatif dan norma-norma agama (Suparman, 2017: 275)
Meskipun masyarakat memiliki hak untuk menentukan atas kesehatan dirinya, termasuk menentukan apa yang diperbolehkan atau tidak yang masuk dalam tubuhnya, namun penolakan terhadap vaksinasi tidak dapat dibenarkan. Sebab jika merujuk dalam Pasal 56 ayat (2) UU Kesehatan yang berbunyi Hak menerima atau menolak tidak berlaku pada; a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas; b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c. gangguan mental berat.
ADVERTISEMENT
Artinya, meskipun setiap individu dilekati atas hak Kesehatan namun penolakan terhadap vaksinasi juga tidak dibenarkan, mengingat dalam UU Kesehatan telah mengecualikan terhadap penyakit yang dapat menular secara cepat. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah tepat langkah kriminalisasi atau pemidanaan terhadap terhadap masyarakat yang menolak vaksin?
Kriminalisasi Anti Vaksin
Kriminalisasi sendiri ialah penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, sehingga proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam sanksi pidana. Akan tetapi, proses kriminalisasi suatu tindakan harus memperhatikan asas dan kriteria. Artinya, tidak semua tindakan dapat dengan mudah untuk dikriminalisasikan. Adapun asas yang harus diperhatikan untuk kriminalisasi yakni, asas legalitas, asas subsidiaritas, dan asas persamaan/kesamaan.
Asas legalitas pada esensinya bahwa tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas perundang-undangan pidana yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Kedua, asas subsidiaritas yang mana hukum pidana harus ditempatkan sebagai ultimum remedium atau jalan terakhir dalam penanggulangan kejahatan, bukan mala sebagai primum remedium atau senjata utama untuk mengatasi masalah kriminalitas. Ketiga, asas persamaan/kesamaan yang merupakan keinginan untuk diadakannya pidana yang lebih jelas dan sederhana. (Salman Luthan; 2009)
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menurut Salman Luthan misalnya, bahwa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam kriminalisasi diantaranya, pertama, perbuatan yang dikriminalisasi adalah perbuatan yang tidak dikehendaki masyarakat. Kedua, kemampuan hukum pidana mengatasi masalah yang dikriminalisasi. Ketiga, adanya keseimbangan antara sarana dan hasil atau manfaat yang diperoleh melalui kriminalisasi.
Tentunya basis asas dan kriteria di atas harus diperhatikan Pemerintah sebelum menerapkan sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak vaksinasi. Meskipun hak atas Kesehatan dapat dibatasi namun pemidanaan bukanlah senjata utama melainkan jalan terakhir dalam pemidanaan.
Taufiqurrahman
Mahasiswa dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII