Problematika Pengelolaan di Kementerian BUMN

Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
10 Juni 2021 13:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiqurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Logo baru BUMN. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Logo baru BUMN. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Pemilihan Abdee “slank” sebagai komisaris P.T Telkom menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Tidak tepat rasanya jika langsung menilai kualitas dari Abdee sebab ia belum lagi menjalankan tugasnya sebagai komisaris. Namun, kritik terhadap pemilihan Abdee mengabarkan bahwa masih terjadi persoalan dalam pemilihan komisaris maupun direksi.
ADVERTISEMENT
Permasalahan ini tidak terlepas dari besarnya kewenangan menteri dalam pengangkatan dan pemberhentian direksi dan komisaris. Sebagaimana yang di atur dalam Pasal 15 UU BUMN yang berbunyi (1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS. (2) Dalam hal Menteri bertindak selaku RUPS, pengangkatan dan pemberhentian Direksi ditetapkan oleh Menteri. Sama halnya dengan komisaris di atur dalam Pasal 27 yang mana pengangkatan dan pemberhentian komisaris ditetapkan oleh menteri.
Besarnya kewenangan menteri tersebut menyebabkan maraknya bongkar pasang komisaris dan direksi di tubuh BUMN bahkan rotasi dari klaster yang sama atau ke klaster lain dalam jangka waktu yang terlalu pendek merupakan hal yang lazim. Misalnya, setahun lebih direksi sudah dirombak, yang berdampak pada tersendatnya rencana kerja BUMN.
ADVERTISEMENT
Sering kali BUMN justru lebih sibuk mengurusi perombakan komisaris dan/atau direksi. Hal ini dapat dilihat dari seringnya diselenggarakannya rapat umum pemegang saham untuk menetapkan susunan komisaris dan direksi.
Pola pemilihan direksi dan komisaris yang tidak sehat berdampak pada pengelolaan BUMN menjadi tidak optimal bahkan mengarah pada tindak pidana korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menilai bahwa persoalan korupsi masih belum bisa dicegah di mayoritas BUMN.
Secara keseluruhan, jumlah kasus korupsi di BUMN cenderung mengikat pada periode 2015-2018, dari 11 sampai 13 kasus. ICW mencatat kerugian negara hanya dari 19 kasus korupsi di BUMN mencapai 3,1 Triliun pada 2018. Bahkan saat menjabat pertama kali menjadi menteri BUMN di periode kedua Jokowi-Mahruf, Erick Tohir menyatakan bahwa ada 159 kasus hukum di bawah kementerian BUMN. Dari jumlah segitu sebanyak 53 orang atau 1/3 diantaranya dinyatakan sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho menilai merabaknya praktik korupsi di BUMN tidak terlepas dari proses perekrutan pejabat, termasuk direksi dan komisaris BUMN. Hal ini kemudian dibenarkan oleh Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, yang menilai bahwa persoalan yang menyebabkan maraknya praktik korupsi tidak terlepas dari pengisian jabatan sebab tidak ada sistem merestorasi.
Di samping itu, dalam perekrutan diwarnai kepentingan politik dan kurangnya profesionalisme. Selain itu, sistem pengambilan kewenangan atau pemutusan kebijakan di internal BUMN sangat tertutup.
Hal lain, temuan Ombudsman RI mencatat ada 397 komisaris BUMN yang rangkap jabatan. Terdapat pula 167 komisaris di anak perusahaan BUMN yang diketahui rangkap jabatan. Data pada 2019 misalnya, sebanyak 42 orang yang ditunjuk jadi komisaris BUMN tercatat berasal dari pejabat negara di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sisanya berasal dari Kementerian BUMN, PUPR, Kemenhub, Kemensetneg, serta TNI dan Polri.
ADVERTISEMENT
Persoalan di atas berdampak pada tata kelola BUMN yang buruk, tidak heran jika BUMN dalam beberapa kasus ditemukan mengalami kerugian. Kasus Jiwasraya misalnya menyebabkan kerugian negara mencapai10 triliun. Kerugian ini tidak terjadi serta merta begitu saja melainkan tidak terlepas dari buruknya tata kelola yang terjadi pada Jiwasraya.

Perbaikan pengelolaan BUMN

Untuk memperbaiki pengelolaan di tubuh BUMN terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, menata kembali skema pemilihan direksi dan komisaris di BUMN dengan mengedepankan prinsip keterbukaan. Sehingga mampu menghadirkan direksi dan komisaris yang berkompeten selain itu juga untuk memberikan kepercayaan kepada publik bahwa pemilihan sudah dilakukan secara ketat.
Kedua, mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam pengelolaan BUMN. Terdapat lima prinsip yakni pertama, transparansi adanya keterbukaan dalam mengungkap informasi perusahaan. Kedua, akuntabilitas berkaitan efektivitas dalam menjalankan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, pertanggungjawaban yang meliputi adanya kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap undang-undang dan prinsip korporasi yang sehat.
Keempat, kemandirian dengan mengedepankan prinsip profesionalitas dan tidak terpengaruh pada kepentingan politik. kelima, kewajaran yakni adanya keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak pemangku kebijakan. Dengan memperhatikan hal tersebut maka diharapkan BUMN mampu menjadi tombak untuk menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang dituangkan dalam sila ke lima Pancasila.
Penulis : Taufiqurrahman
Mahasiswa dan Peneliti PSHK FH UII