Ruu Cipta Kerja dan Lemahnya Fungsi Legislasi DPD

Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
19 Oktober 2020 16:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taufiqurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
puskapkum
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja masih menimbulkan berbagai polemik di masyarakat. Bahkan aksi ujuk rasa masih terjadi di berbagai daerah yang menuntut penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Meskipun menuai berbagai kritik tajam dari sejak awal pembahasan namun hal tersebut tidak mengurungkan bagi pemangku kebijakan untuk segara mengesahkan RUU Cipta Kerja. Salah satu yang terdampak dari disahkan RUU Cipta Kerja yakni terjadinya pereduksian kewenangan otonomi daerah. Misalnya, berkaitan dengan urusan perizinan lingkungan sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, kemudian bergeser menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Kemudian, pada Pasal 176 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa, "pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran UU Pemerintahan Daerah, harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja."
ADVERTISEMENT
Hal ini mempertegas basis legitimasi bagi pemerintah pusat untuk menarik urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah. Bahkan Prof Susi Dwi Harijanti menyatakan bahwa RUU Cipta Kerja telah mengkerdilkan pemerintah daerah akibat banyaknya kewenangan daerah yang ditarik ke pusat melalui peraturan pemerintah. Tentunya, ini merupakan kemorosotan dalam demokrasi sebab bangsa ini mempunyai sejarah kelam pada kekuasaan sentralistis. Terkikisnya kemandirian daerah melalui RUU Cipta Kerja, menjadi pertanyaan mendasar, kemana DPD dalam pembahasan RUU Cipta Kerja? Padahal, kehadiran DPD dimaksudkan untuk memperkuat otonomi daerah.
Faktor yang menyebabkan ketidakmaksimalan DPD dalam pembahasan RUU Cipta Kerja tidak lain dikarenakan lemahnya posisi DPD dalam fungsi legislasi. Pasalnya, DPD dalam penyusunan legislasi hanya terbatas pada tahap pembahasan dan tidak memiliki kewenangan pada proses persetujuan.
ADVERTISEMENT
Lemahnya fungsi legislasi DPD tidak terlepas dari disain UUD 1945 yakni pertama, ketidakefektifan DPD dalam mengajukan RUU. Misalnya, dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “DPD dapat mengajukan rancangan undang-undang” Frasa “dapat” tersebut menjadikan DPD tidak mempunyai bergaining yang kuat dalam legislasi berbeda dengan Presiden dan DPR, yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 21 UUD 1945 yang menyebutkan Presiden dan DPR “berhak” mengajukan rancangan undang-undang.
Kedua, posisi DPD yang tidak sebanding dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan RUU. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, DPD diberikan kewenangan yang terbatas untuk ikut membahas RUU dan memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan pendapatan dan belanja negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
ADVERTISEMENT
Frasa ikut “membahas” dan “memberikan pertimbangan” tidak berbanding lurus dengan DPR dan Presiden yang wewenanganya dalam konstitusi ikut “pembahasan dan persetujuan RUU bersama.”(Saldi Isra:2018) Dampaknya, dari segi yuridis, terjadi pereduksian kewenangan DPD yang terlihat dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebelum perubahan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Meskipun telah diajukan Judicial Rewiew ke Mahkamah Konstitusi namun masih belum mampu memperkuat posisi DPD dalam proses legislasi. Hal ini dapat dibuktikan melalui putusan MK No 79/PUU-XII/2014 yang dalam putusannya DPD masih tetap tidak bisa melakukan pembahasan RUU sampai dengan persetujuan. Dalam bidang anggaran, DPD juga hanya memberikan pertimbangan, serta dalam bidang pengawasan DPD hanya memberikan hasil pertimbangan kepada DPR.
ADVERTISEMENT
Rekonstruksi Fungsi legislasi DPD
Kesepakatan politik atas kehadiran DPD tidak terlepas untuk mengakomodasi kebutuhan daerah demi satu kepentingan nasional yaitu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan jika melihat original intens perubahan UUD 1945 yang menghapus utusan golongan kemudian menghadirkan DPD merupakan semangat untuk penguatan otonomi daerah. DPD dibentuk untuk mengefektifkan keberadaan utusan golongan dan utusan daerah dalam komposisi MPR.(Bagir Manan:2004)
Pada saat amandemen, tarik ulur politik dalam menentukan fungsi legislasi di DPD sangat kuat. Sehingga terjadi dua pandangan yang berbeda di satu sisi menginginkan agar DPD memiliki kuatan yang besar dalam fungsi legislasi di sisi lain berpandangan DPD tidak dapat serta merta memiliki fungsi legislatif yang kuat layaknya DPR. Akhirnya, kesepakatan politik pada saat itu meletakan DPD sebagai lembaga yang tidak memiliki taring dalam fungsi legislasi. (Saldi Isra:2018)
ADVERTISEMENT
Tentunya ini mengakibatkan pengaturan kewenangan DPD seakan mendudukkan DPD sebagai organ penunjang dari DPR dalam hal fungsi legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya disebut sebagai co-legislator daripada legislator yang sepenuhnya (Nimatul Huda:2008). Hal ini karena kewenangan DPD dalam legislasi hanya sebatas dapat mengajukan rancangan undang-undang berkaitan dengan kedaerahan serta hanya dapat membahas rancangan undang-undang tanpa diberikan hak untuk ikut dalam tahapan persetujuan.
Atas dasar itu, maka sekiranya perlu dilakukan penguatan DPD dalam fungsi legislasi di parlemen. Kedepan DPD diberi porsi seimbang dengan DPR dalam Pembentukan RUU. Hal ini sejatinya seirama dengan konsep bikameral sebab secara teoritis dengan sistem dua kamar yang kuat maka akan membentuk interaksi internal lembaga legislatif sehingga membangun cheks and balances antarkamar terutama dalam fungsi legislasi.
ADVERTISEMENT
Bahkan merujuk dari konstitusi berbagai negara yang menganut sistem presidensial misalnya di amerika serikat, filipina, korea selatan, venezula, dan argentina memberikan porsi yang cukup besar kepada lembaga legislatif dalam proses pembentukan peraturan perundang-undang. Hal ini menunjukan bahwa kedepan penguatan fungsi legislasi di DPD merupakan suatu keniscayaan sehingga akan menghadirkan kemandirian daerah yang beragam.
Harapannya ke depan DPD dapat menyetujui atau menolak RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah. Tidak hanya sampai di situ jika DPD menolak rancangan undang-undang (RUU) yang telah disetuji oleh DPR maka RUU tersebut tidak dapat dilanjutkan ke persidangan berikutnya. Dengan demikian, akan membangun cheks and balance antara DPD dan DPR dalam fungsi legislasi. Sebab dalam teori perundang-undangan fungsi legislasi haruslah dipahami secara menyeluruh mulai dari pengajuan, pembahasan, persetujuan, dan pengesahan RUU. Sehingga jika terjadi RUU yang mereduksi kewenangan otonomi daerah, DPD dapat dengan tegas untuk menolak RUU tersebut. Tentunya langkah ini dapat dilakukan melalui amandemen UUD 1945, biar bagaimana pun hukum yang baik haruslah mampu mengakomodir berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Taufiqurrahman
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Mahasiswa Fakultas Hukum UII