Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tantangan UU Cipta Kerja di MK
30 November 2020 21:46 WIB
Tulisan dari Taufiqurrahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Babak baru UU Cipta Kerja kembali di mulai. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima permohonan judicial review UU Cipta Kerja. Tentunya pengujian yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan isi UU namun juga proses pembentukannya (formil). Menariknya, dalam pengujian formil, MK tidak pernah mengabulkan uji formil.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi para pemohon untuk meyakinkan Mahkamah bahwa produk hukum yang dihasilkan bertentangan secara formil terhadap UUD 1945. Kendati MK tidak pernah mengabulkan uji formil namun secara konstitusional tidak ada limitasi dalam pengujian UU di MK. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 yang berbunyi MK berwenang untuk menguji UU ke UUD. Artinya, baik formil maupun materiil dapat diajukan ke MK.
Jika melihat proses pembentukannya, UU Cipta Kerja tak luput dari berbagai persoalan. Misalnya, pasca persetujuan terjadi perubahan isi UU, bahkan publik dihadapkan dengan ketidakpastian dari UU tersebut. Hal ini terlihat dari draf yang muncul di public, ada versi 900 dan 1.000 halaman. Meskipun pada akhirnya yang ditandatangani oleh Presiden versi 1.000 halaman namun realitas ini menggambarkan adanya ketidakpastian hukum dalam UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Tantangan Uji Formil
Meskipun dalam beberapa kali MK menerima permohonan uji formil namun tidak ada satu pun putusan yang mengabulkan gugatan uji formil. Setidaknya terdapat persoalan yang menjadikan uji formil sulit dikabulkan oleh MK. Pertama, kesulitan dalam membuktikan adanya kecacatan due proses of lawmaking. Misalnya, para pemohon kesulitan dalam menghadirkan saksi fakta mengenai adanya ketidaksesuaian pembentukan UU dengan prosedur yang ada.
Kedua, tidak ada titik koordinat yang jelas dalam pengujian formil ke UUD. Hal ini menimbulkan pandangan yang berbeda di masing-masing hakim. Ahmad Sodiki misalnya, menyatakan bahwa MK hanya berwenang menguji materiil. sebaliknya, Maria Farida berpandangan bahwa pengujian formil merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan oleh MK. Hal ini terlihat dalam dissenting opinion putusan MK No Nomor 79/PUUXII/2014 yang menyatakan terdapat kesalahan prosedural dalam UU MD3 sehingga permohonan seharusnya dikabulkan dan UU MD3 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Walaupun keduanya tidak lagi menjabat sebagai hakim konstitusi tetapi pandangan ini menunjukan terdapat ketidakseragaman hakim dalam uji formil di MK.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat kebelakang pintu yang membuka ruang terhadap uji formil di MK melalui putusan No 27/PUU/VII/2009 yang merupakan pengujian atas UU 3/2009 tentang perubahan UU Mahkamah Agung. Meskipun dalam putusannya MK menolak uji formil namun dalam pertimbangannya MK mengakui pembentukan UU 3/2009 telah melanggar ketentuan formil pengambilan keputusan waktu itu, yaitu Tata Tertib DPR Nomor 08/DPR RI/2005-2006 dan Pasal 20 UUD 1945 sehingga cacat secara prosedural.
Akan tetapi, MK tidak menyatakan UU tersebut batal demi hukum sebab MK membangun argumentasi bahwa demi tercapainya tujuan dan manfaat hukum, maka MK melalui putusannya menolak uji formil terhadap UU No 3/2009.
Peluang Uji Formil
Selain persoalan di atas, berbicara mengenai peluang uji formil di MK tidak dapat dipisahkan dari aspek politis yang saat ini terjadi. Meskipun pada hakikatnya kekuasaan kehakiman harus independen tetapi tidak dapat dipungkiri perubahan UU MK berpotensi mempengaruhi hakim dalam melakukan judicial activism.
ADVERTISEMENT
Sebab perubahan UU MK menghapus ketentuan periodisasi masa jabatan hakim serta keberlakuan UU tersebut untuk hakim yang saat ini menjabat. Artinya, masa jabatan hakim terbilang sangat panjang dalam perubahan UU MK, yakni 15 tahun apabila ia dipilih di umur 55 tahun. Yang mana pada akhirnya mengarahkan hakim menjadi pro majoritarian, di mana hakim cenderung untuk menahan diri dalam melakukan judicial activism jika ada judicial review yang sifatnya strategis bagi pemerintah.
Oleh sebab itu, tidak salah jika publik menilai perubahan UU MK berpotensi untuk mempengaruhi hakim dalam memutus judicial review yang saat ini sedang diperjuangkan di MK. Meskipun demikian, bukan berarti peluang dibatalkannya UU Cipta Kerja di MK tidak ada, hanya saja seberapa jauh MK akan melakukan judicial activism terhadap judicial review UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Penulis : Taufiqurrahman
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia