Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Negara Hukum Darurat Hukum
8 September 2020 12:52 WIB
Tulisan dari M Taufiqurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tok. DPR mengetok Undang-Undang MK baru. Ya. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru. Perubahan ketiga atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa perubahan dalam revisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Paling tidak. Ada lima poin dalam revisi itu. Salah satunya adalah memperpanjang masa jabatan para pemegang palu di MK. Yaitu batas umur yang mencapai 70 tahun.
Mengapa perlu diperpanjang? Mengapa Undang-Undang itu buru-buru diketok? Mengapa diketok di masa pandemi? Mengapa digarap cepat-cepat? Apa relevansinya untuk menanggulangi krisis saat ini? Segudang pertanyaan-pertanyaan sejenis ini bermunculan.
Seabrek pertanyaan sejenis itu muncul untuk isu itu. Yang artinya, isu itu penuh polemik. Bukan hanya banyak masalah. Tapi, polemik akut. Masalah yang akut. Masalah yang hampir-hampir tidak terdeteksi sebagai masalah.
Mungkin, hanya sebagian publik yang berfikir sampai di situ. Mungkin juga, hanya sebagian publik yang sadar ada polemik di situ. Hanya sebagian yang sadar. Bahwa polemik akut ada di situ.
ADVERTISEMENT
Kita tau. MK adalah salah satu institusi yang lahir dari rahim reformasi. Jadi, menurut saya, MK bukan hanya lembaga penegak konstitusi. Tapi, MK adalah lembaga etik. Karena MK diharapkan mampu memberi keadilan bagi segenap republik ini.
Karena tugasnya sebagai penjaga kontitusi itu, MK didesain sebagai lembaga yang sangat power full. Indikasinya adalah, bahwa apa yang diputuskan MK adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Bukankah MK tidak bisa memproduksi hukum? Ya benar. Memang, tugas awal MK adalah menjaga konstitusi. Tapi, penolakan terhadap uji materi undang-undang terhadap konstitusi, juga adalah hukum baru. Hukum baru yang dilegitmasi oleh MK.
Begini penjelasannya. Di dalam hukum Hak Asasi Manusia, pelanggaran bukan hanya dengan tindakan. Tapi dengan pembiaran. Membiarkan orang mati adalah pelanggaran HAM. Membiarkan orang jadi bodoh karena tidak mampu sekolah adalah pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Membiarkan orang menjadi miskin karena tidak punya pekerjaan adalah pelanggaran HAM. Dan begitu seterusnya. Pelanggaran seperti ini disebut pelanggaran HAM by omission. Pelanggaran dengan pembiaran.
Dalam konteks MK, penolakan uji materi undang-undang yang tidak sesuai dengan konstitusi justru adalah legitimasi terhadap undang-undang tersebut. Itu bisa disebut pelanggaran konstitusi dengan pembiaran. Karena dia membiarkan hukum yang tidak sesuai dengan konstitusi beredar. Mungkin, ini luput dari mata publik.
Sebetulnya, surplus power itu tidak masalah jika para pemegangnya juga surplus etik. Tapi, dari geliat yang ditunjukkan akhir-akhir ini, MK disinyalir telah terkooptasi oleh kepentingan.
Bahkan, kecurigaan itu sudah muncul jauh-jauh hari. Terutama pasca pemilu presiden 2019. Kecurigaan publik bahwa MK adalah tepat begal bagi salah satu pasangan calon presiden.
ADVERTISEMENT
Siapa saja yang kalah di KPU, silahkan masuk ke MK. Dan di situ, dia akan dibegal. Disembelih di disitu. Jadi, MK adalah tempat penyembelihan. Karena di MK, justru dia akan dihabisi dengan ditolak gugatannya.
Dan itu terbukti. Hasil sengketa pasca pilpres itu justru melegitimasi salah satu pasangan calon presiden. Dan menghabisi salah satu pasangan. Di situ powe full MK sangat tampak. Sebagai alat legitimasi.
Baiklah. Soal Undang-Undang MK baru. Dan segudang pertanyaan yang mengikutinya. Tidak akan ada penjelasan resmi soal ini. Tidak akan ada penjelasan resmi soal mengapa Undang-Undang itu digarap diam-diam dan buru-buru diketok.
Karena tidak ada penjelasan resmi itu, justru publik curiga. Ada transaksi gelap di balik itu. Ada pasar gelap. Transaksi gelap. Transaksi di bawah meja. Transaksi yang tidak ingin diketahui publik.
ADVERTISEMENT
Kita tau, beberapa undang-undang, akhir-akhir ini bermasalah. Sebut saja misalnya Undang-Undang KPK yang sempat jadi polemik beberapa waktu lalu. Juga Undang-Undang Keuangan Negara untuk Covid-19 yang sempat ramai. Dan juga Undang-Undang Minerba. Itu beberapa yang sudah beredar.
Yang belum beredar, dan bahkan sudah jadi polemik ketika baru diajukan, adalah Rencana Undang-Undang/RUU tentang Cipta Lapangan Kerja. Juga RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Yang jadi polemik, dan kemudian diubah namanya menjadi RUU BPIP dan diajukan lagi.
Juga RUU Perlindungan Data Pribadi/ PDP. Itu juga sempat ramai. Itu beberapa yang tampak dengan kasat mata. Dan akan berdampak dalam waktu dekat. Yang tidak tampak, pasti masih banyak.
Pembuat hukum pasti sudah mengantisipasi soal itu. Jadi, perpanjangan masa jabatan itu ibarat hadiah untuk pemegang palu MK dari pembuat hukum. Imbalannya adalah, agar MK menolak uji materi terhadap lusinan undang-undang bermasalah tadi. Agar MK menolak polemik hukum yang diajukan di MK nanti.
ADVERTISEMENT
Jadi, ini adalah langkah untuk pembuat hukum untuk mengamankan produk gagal mereka. Mengapa produk gagal. Karena jadi polemik, itulah produk gagal.
Untuk kepentingan waktu dekat, mungkin termasuk juga sengketa pasca pilkada dalam pemilu yang akan digelar dalam waktu dekat. Ada yang hendak dimenangkan dan dikalahkan.
Untuk keperluan ke depan, diperpanjangnya masa jabatan pemegang palu MK oleh pembuat hukum adalah untuk keperluan 2024. Rupa-rupanya, ada yang ingin supaya MK kembali menjadi tempat jagal pasca pilres.
Lihat saja. Dengan undang-undang yang baru, sebagian besar pemegang palu MK saat ini akan masih memegang palu di 2024. Jadi, ada yang ingin mereka yang mengadili pasca pilpres 2019 kembali mengadili sengketa pasca pilpres 2024.
Tapi, itu kecurigaan yang mungkin terlalu jauh. Memang, masih perlu banyak bukti. Tapi, secara nalar, soal itu sudah terbukti saat ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, peta politik gampang sekali berubah. Meski dengan variabel kecil sekalipun. Sementara 2024 masih jauh. Dan sangat mungkin sekali ada perubahan peta politik di rentang itu. Tapi, kita buktikan nanti. Apakah kecurigaan itu akan terwujud atau tidak.
Jadi. Itu adalah soal kekuasaan. Jangan dikira bahwa hukum tidak bersinggungan dengan politik. Justru, hukum adalah hasil dari kompromi politik.
Teorinya begini, “Di atas hukum ada hukum yang tidak tertulis. Yaitu kompromi politik.” Itu teori yang saya ajukan. Dan sangat sial sekali, jika kompromi itu terjadi di pasar gelap kekuasaan. Dan tampaknya, itu yang terjadi.
Karena itu, memahami hukum tidak cukup hanya dengan membaca batang tubuh undang-undang. Tapi, juga perlu kecerdasan yang cukup untuk mampu melihat dan paham konteks sosial politik di balik itu.
ADVERTISEMENT
Lalu. Mengapa saya katakan darurat hukum? Jelas. Itu karena hukum kita hari-hari ini jadi barang dagangan di pasar gelap kekuasaan. Hukum bukan lagi untuk rakyat. Tapi, untuk kepentingan kelompok tertentu.
Apakah itu sudah layak disebut darurat hukum? Tentu. Ini levelnya bukan lagi maling ayam dan koruptor dihukum dengan hukuman yang sama. Tapi, sudah sampai pada titik di mana hukum menjadi komoditas di pasar gelap kekuasaan. Itu mengapa disebut darurat hukum.
Hukum itu, seharusnya memihak pada rakyat. Bukan kepada kekuasaan. Hukum harus memihak pada rakyat. Jika hukum memihak pada kekuasaan. Itulah tanda, ada yang tidak beres.
Dan yang jelas, hukum bukan untuk jadi barang dagangan. Apa lagi barang dagangan di pasar gelap. Semoga menjadi renungan bersama untuk kebaikan republik ini. Terima kasih. []
ADVERTISEMENT