Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kabinet Pro-Impunitas?
29 Oktober 2024 10:00 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari taufiqurochim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prosesi pelantikan kabinet Merah Putih tengah usai digelar pada Senin (21/10/2024). Namun dalam pidato yang gagah bak heroisme ala Prabowo Subianto sebagai Presiden RI periode 2024-2029 itu, tidak menyebutkan sebait katapun terhadap komitmenya dalam perlindungan masa depan Hak Asasi Manusia (HAM) dan memerangi praktik Impunitas.
ADVERTISEMENT
Atas sketsa itu, maka tak ayal apabila publik bertanya, mengapa agenda perlindungan HAM tidak menjadi prioritas dalam pidato pertamanya Prabowo Subianto? Apakahjustru rezim saat ini tengah membuat skema tentang narasi pro-impunitas?
Menakar dosa HAM masa Lalu ditangan kabinet baru
Di bawah payung hitam, sekelompok Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kerap berkerumun tiap hari kamis sore di seberang Istana Presiden.
Gerakan ini sebanarnya sudah berlangsung lebih dari 17 tahun, mereka yang teguh berjuang secara konsisten menagih asa keadilan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Kasus yang diangkatpun beraneka ragam, dimulai dari tragedi Angkatan 65-66, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis 1998, Trisakti, Semanggi I dan II, Pembunuhan Munir, Marsinah, Peristiwa Simpang KAA 1999, tragedy pembunuhan dukun santet 1998-1999, Wasior 2001-2002, peristiwa Wamena 2003, Jambo Keoupok 2003 dan Peristiwa penghilangan secara paksa 1997-1998.
ADVERTISEMENT
Dari periode ke periode, presiden demi presiden di republik ini silih berganti. Kendati begitu, tetap saja tak ada yang tak berubah. Arsitektur ide politik kekuasaan masih tetap bercorak pada narasi pro-impunitas. Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu kini tetap mangkrak. Tak ada langkah yudisial yang terselesaikan!
Sekalipun kabinet Jumbo besutan Prabowo-Gibran kini tengah melibatkan mantan pegiat HAM seperti Natulius Piggai dan Mugiyanto yang dipercayai untuk mengisi jabatan di kementerian HAM, namun saya meyakini bahwa kedepan mereka tak akan lagi dapat menulisankan kebenaran tentang keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Argumentasi ini cukup beralasan pertama, sedari awal misi rezim Prabowo-Gibran mengkampenyekan delapan poin dalam program Astanawacita tidak memasukan penyelesaihan pelanggaran HAM masa lalu sebagai program prioritas.
ADVERTISEMENT
Kedua, komitment penyelesaian HAM masa lalu tak sekuat dari hasrat kepentingan pragmatism kekuasaan. Sebut saja Mugiyanto, ia dalam sebuah konferensi pers pada Maret 2019 tegas mengatakan bahwa Prabowo secara langsung terkait dengan peritiwa yang ia alami. Jauh sebelum itu, pada tahun 2019 dalam jejak digital ia pernah mengatakan pada intinya tidak ada toleransi terhadap penguasa yang menghilangkan orang secara paksa.
Namun pasca tahun 2019 narasi Mugiyanto soal pengusutan Pelanggaran HAM berat masa lalu tak sekencang saat ia belum berada dilingkar kekuasaan istana. Pun sama dengan Natalius Piggai yang tidak nampak garang menyoal pelanggaran HAM berat masa lalu saat menjadi bagian dari tim kampanye Prabowo.
Ketiga, sinyal Yusril Ihza Mahendra saat hari pertamanya menjadi Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan di kabinet Merah-Putih, melontarkan bahwa peritiwa kerusuhan 1998 bukan sebagai pelanggaran HAM berat. Ia menegaskan pelanggaran HAM berat hanya terjadi pada era kolonial dengan kategori genosida dan pembersihan ethnis.
ADVERTISEMENT
Ungkapan ini selain menafikan ketentuan dalam Pasal 104 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM juga kontradiktif dengan Inpres No. 2/2023 tentang pelaksanaan rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang berat, peristiwa 1998 masuk dalam daftar kasus prioritas yang akan diselesaikan secara non-yudisial.
Akal-aklan memutihkan dosa terduga Pelaku HAM Berat
Pernyataan Yursil Ihza Mahendra selaku Menteri yang mongkoordinatori isu HAM ini tentu saja menyayat rasa keadilan bagi keluarga korban yang puluhan tahun mencari anaknya yang hilang. Prespektifnya dalam pembacaan kasus pelanggaran HAM berat tidak berbasis pada keadilan korban.
Statuta Roma tengah mengkategorikan pelanggaran HAM berat bukan hanya pada kasus genosida dan pembersihan etis, akan tetapi juga terdapat pelanggaran HAM berat lain sepeti kejahatan terhadap kemanusian (crime againt humanity) dan kejahatan perang (war crime). Kendatipun, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun dalam UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM memasukan kejahatan terhadap kemanusian sebagai pelanggaran HAM berat.
ADVERTISEMENT
Peristiwa kericuhan 1998 merupakan pelanggaran HAM berat dalam kategori kejahatan terhadap kemanusian. Bisa dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan apabila terdapat serangan yang meluas atau sistematis terhadap warga sipil.
Berdasarkan hasil laporan TGPF pada 23 Oktober 1998 menyimpulkan bahwa meletusnya peristiwa 1998 bersifat meluas saling terkait antar lokasi dengan modus yang mirip. Jenis kerusahan skala besar dan dibeberapa tempat dan bahkan mengindikasikan berlangsung secara berurutan secara sistemik.
Menariknya temuan TGPF juga mencatut nama Prabowo Subianto selaku Letjen TNI yang diduga turut bertanggung jawab dalam pergumulan politk yang menyebabkan eskalasi politik 1998 menjadi pecah. Bukti lain seperti dimuat dalam 34 dokumen rahasia Amerika Serikat 1997-1999 dan Keputusan DKP No. KEP/03/VII/1998/DKP.
Dalam ihwal demkian itu, nampaknya membuat psikologi kekuasaan kabinet Merah-Putih tidak tenang. Itu sebabnya, dengan menegasikan peritiwa kericuhan 1998 sebagai kasus bukan pelanggaran HAM berat merupakan agenda akal-akalan untuk menutupi dosa-dosa masa lalu dan mencoba merias citra Prabowo dimata rakyat maupun masyarakat internasional yang seolah-olah tidak memiliki jejak rekam tangan berdarah.
ADVERTISEMENT
Kita uji saja, andai saja kabinet Merah Putih berkomitment terhadap perlindungan HAM, maka semustinya dalam agenda terdekat berani memperioritaskan untuk meratifikasi Statuta Roma. Kalau tidak, kabinet eks-pegiat HAM yang sekarang dilingkar istana itu bisa membisiki majikanya agar mau datang ke Komnas HAM untuk diperiksa dalam kasus peristiwa kericuhan 1998.