Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menembus Konflik Hutan Adat Pubabu di Musim Pandemi
21 Agustus 2020 7:02 WIB
Tulisan dari taufiqurochim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“..Kami punya tanah,tanah kami dirampas. Kami kerja keras upah kami dipangkas. Kami pemuda jadi penggaguran, Tak ada jaminan lapangan pekerjaan. Hentikan perampasan upah tanah kerja, hentikan perampasan tanah kerja. Berikan kami upah tanah kerja upah tanah kerja adalah keharusan…” Begitulah alunan lirik lagu yang dinyayikan dengan merdu oleh anak-anak seumur jagung dari masyarakat adat Besipae di desa Linamnutu, Amanuban Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT).
ADVERTISEMENT
Menjelang satu hari sebelum Hari Kemanusiaan Sedunia (World Humanitarian Day) yang biasa dirayakan tiap tanggal 19 Agustus, masyarakat adat Besipae ketiban konflik ruang hidup dan gempuran ganasnya pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai. Nampaknya tampang keren dan narsis ala Presiden Jokowi memakai kostum adat asal NTT saat upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2020 tak sebanding dengan eksistensi masyarakat adat yang diseolah-olahkan ikut bahagia merayakan hari yang sakral bagi mayoritas bangsa Indonesia itu.
Fakta yang terjadi warga komunitas adat Besipae kini hidupnya terporak-poranda dikala aparat gabungan Polisi Brimob dan Satpol Pamong Praja secara gercap meratakan pondok-pondok milik warga di kawasan hutan adat Pubabu. Tindakan brutal dibarengi dengan bunyi tembakan dari aparat tersebut membuat semakin menghawatirkan bagi warga yang ingin melakukan resistensi dari ganasnya penyebaran pandemi COVID-19. Pasalnya pondok-pondok yang dirobohkan tersebut dapat berfungsi untuk memaksimalkan secara mungkin pshycal distancing dengan menjaga jarak aman dari aktivitas satu keluarga- ke keluarga lain. Akan tetapi 47 kepala keluarga kini terpaksa harus mengungsi dan tidur dibawah pohon-pohon tanpa sekat pembatas serta ketersediaan protokol kesehatan lainya.
ADVERTISEMENT
Lika-Liku Kronik Konflik Hutan Adat Pubabu
Sejarah panjang warga menghadapi jalan terjal konflik hutan adat Pubabu dapat dilacak mula-mula muncul ketika pada tahun 1982, Gubernur NTT ingin membuat proyek percontohan intensifikasi penggemukan sapi di lahan desa Oe Kam, Mio, Polo dan Linamnutu. Proyek tersebut diterima oleh masyarakat adat dengan catatan masyarakat berhak untuk mengelola tanaman miliknya dan bertempat tinggal dilingkungan tersebut. Kontrak ini berlangsung selama 25 tahun yang dimulai sejak tahun 1987.
Tanpa melibatkan masyarakat adat setempat pada tahun 1995 Dinas Kehutanan Timor Tengah Selatan mengeluarkan Nota Tanah Kehutanan No.29 yang ditandatangani oleh gubernur NTT yang mengatur tentang tata batas negara seluas 2900 hektar yang memasukan kawasan hutan Pubabu Besi Pae ke dalam kawasan hutan lindung. Konflik mulai memuncak ketika pada tahun 2010 Dinas Peternakan Kabupaten Timor Tengah Selatan menggunakan lahan bekas proyek tersebut untuk hutan makanan ternak seluas 21 hektar dan ingin melakukan perpanjangan kontrak proyek peternakan sapi.
ADVERTISEMENT
Hasil perjalanan penolakan warga melalui perkumpulan Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITAPKK) pada tahun 2011 membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan dan kemudian masuk di tahun 2013 terbitlah sertifikat Hak Pakai No. 00001 seluas 37. 800.000 m² sebagai dasar atas kepemilikan Hutan Adat Pubabu oleh pemerintah.
Puncak konflik memanas ketika mendekati tanggal 18 Agustus 2020, Anton Tamu seorang pemuda adat yang berusia 18 tahun dan Korenelius Numley berusia 64 tahun ditangkap polisi. Tanpa pandang bulu bertetapan tanggal 18 Agustus 2020 Pemerintah Provinsi NTT melalui Badan Pendapatan dan Aset Daera, Dinas Pertanian, Peternakan dan Intansi Teknis melakukan penertiban dengan membongkar rumah-rumahwarga.
Agenda Aksi Kedepan: Menuju Pengakuan Kearifan Lokal
ADVERTISEMENT
Ilusi madzab pembangunan ekonomi cenderung memarjinalisasi modal sosial (social capital); yakni meluluh lantahkan citra dan etika lingkungan, sistem riligi, asas-asas dan normas hukum adat. Selain itu madzab pembangunan ekonomi telah menomorduakan modal sumber daya alam (ecological capital) akibat kegiatan pembangunan bercorak eksploitatif.
Permasalahan in sebenarnya menjadi perhatian bagi steakholder, Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus adil dalam melihat persoalan. Di era resesi pandemi kali ini seharusnya pemerintah jangan hanya melulu memplototi kehidupan masyarakat kota dan menganggap urgensi menghadapi resesi dengan mengkebut Omnibuslaw RUU Cipta Kerja.
Akan tetapi, dimusim pandemi ini Pemerintah juga harus memperhatikan nasib warga adat Besipae yang berhadapan secara langsung dengan konflik hutan adat dan ganasnya Covid-19. Sehingga moment ini bukan lagi tidak untuk mengatakan segera sahkan RUU Masyarakat Adat yang sudah lama mandeg di pembahasan meja Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah. Bukan justru mengkebut RUU Cipta Kerja yang penuh dengan sarat kontraversional.
ADVERTISEMENT
Hal penting yang perlu dilakukan dalam merumuskan kebijakan tentang masyarkat adat, Pemangku kebijakan setidaknya harus mempertimbangkan tentang pengelolaan sumber daya alam yang tidak berorientasi pada eksploitasi, tetapi mengedepankan kepentingan keberlanjutan sumber daya alam dan kearifan lokal masyarakat adat.
Jika kepentingan dan upaya penyelamatan eksistensi masyarakat adat beres dan terpenuhi, maka tuan dan nyonya yang terhormat tak usah sungkan-sungkan lagi narsis di akun sosial media dengan memakai kostum kebanggan masyarakat adat.