Konten dari Pengguna

REFLEKSI 22 TAHUN MENCARI MEREKA YANG DIHILANGKAN PAKSA

taufiqurochim
Peneliti Riset Aksi, Pengacara Publik di YLBHI-LBH Surabaya.
28 Agustus 2020 5:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari taufiqurochim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahasiswa Fakultas Hukum UMSurabaya memperingati hari HAM Internasional bertajuk DOSA (Do Action and Solidarity) for Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Fakultas Hukum UMSurabaya memperingati hari HAM Internasional bertajuk DOSA (Do Action and Solidarity) for Indonesia
Menjelang tanggal 30 Agustus merupakan tanggal penting untuk merenungkan dosa apa saja yang pernah negara lakukan kepada keluarga penyintas korban kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM). Tanggal ini biasanya diperingati oleh masyarakat dunia dalam memeperingati hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, dimulai sejak tanggal 30 Agustus 2011. selama rentang waktu 22 tahun, negara sampai saat ini belum memberikan garansi angin segar keadilan bagi mereka yang dihilangkan paksa saat riuh ricuhnya peristiwa tahun 1997-1998.
ADVERTISEMENT
Waktu 22 tahun tentu akan terasa singkat bagi mereka yang mendapatkan kepastian keadilan, tapi waktu 22 tahun akan seperti 22 abad lamanya bagi mereka yang tidak mendapatkan kepastian keadilan. Ketidakpastian ini ditimpa oleh 13 aktivis pro demokrasi seperti; Wiji Thukul, Dedi Hamdun, Herman Hendrawan, Ismail, Noval Alkatiri, Petrus Bima Anugerah, Suyat, Ucok, Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Yani Afri, Hendra Hambali, Sony dan M Yusuf.
Dalam Catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sejarah mencatat selain dari 13 orang diatas, kasus penghilangan paksa selama kurun waktu pemerintah militerisme Orba dan bahkan pasca reformasi kurang lebih ada 50 ribu korban yang dihilangkan paksa. Dalam benak ingatan peristiwa pembantaian puluhan ribu orang pada tahun 1965-1966, bersimbah darah manusia dalam peristiwa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Pelanggaran HAM Berat dan Penghilangan paksa di Talangsari, tahun 1984 peristiwa Tanjung Priok, dan kasus lainya di sebaran beberapa daerah-daerah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
ADVERTISEMENT
Anak, istri dan keluarga korban sampai saat ini berada dalam sebuah kerangkeng ketidaktahuan. Keluarga korban harus melewati hari demi hari dan waktu demi waktu dengan cara bertanya dalam diam tentang nasib dan keberadaan anaknya, suaminya dan keluarganya yang dipaksakan hilang dan mati tanpa konfirmasi.
13 aktivis pro demokrasi diatas akan menjadi memori sejarah luka bagi bangsa Indonesia. Sebagai upaya merawat ingatan secara kolektif, maka Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Desember 2006 telah mengesahkan Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Personsfrom Enforced Disappearances).
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan

Urgensi Ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa

Pertama, hal yang paling mendasar adalah menjamin kepastian hukum mengingat definisi penghilangan paksa sebagai kejahatan yang tidak diatur dalam hukum positif kita. Dalam pengertian penghilangan paksa direzim hukum kita seolah-solah disamakan dengan kategori pelanggaran hak asasi manusia secara umum seperti hak untuk hidup, hak atas kemanan diri dan hak bebas dari penyiksaan dsb.
ADVERTISEMENT
Secara tren dan praktik penghilangan paksa nampaknya mengalami kompleksitas sesuai dengan struktur mekanisme hak asasi manusia yang ada, baik ditingkat internasional maupun regional. Sejauh ini penghilangan paksa dapat ditemukan dalam pasal 33 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan “setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa”.
Namun dalam pasal ini tidak memberikan penegasan definisi apa yang disebut sebagai “penghilangan paksa” dan mekanisme penegakan hukum secara komprehensif. Sedangkan dalam pasal 5 Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa menyebutkan praktik penghilangan paksa merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusian.
Kedua, memberikan jaminan hak bagi semua korban penghilangan paksa. Konvensi ini memuat terobosan baru berupa penjaminan hak bagi anggota keluarga dan terkadang lingkaran komunitas yang terlibat langsung menahan kesedihan yang mendalam karena trauma, intimidasi yang secara berkelanjutan. Tidak hanya itu, menariknya definisi korban diartikan secara luas bahkan berlaku bagi seorang pegiat hak asasi manusia (human rights defender) acapkali sering mendapatkan tekanan dan ancaman dari kekuasaan yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Ketiga, secara politik internasional citra Indonesia dalam upaya pemajuan dan kontribusi terhadap hak asasi manusia akan semakin baik. Mengingat pada tanggal 17 Oktober 2019 melalui sidang Majelis Umum PBB ke-74 di New York bahwa indonesia dipercaya menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022.
Maka kemudian akan menjadi hal yang tidak wajar apabila dalam rentang waktu periode tersebut negara Indonesia belum mempunyai ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa. Mengingat kasus penghilangan paksa telah menjamur dan sampai sekarang belum ada proses penyelesaian penegakan hukum bagi mereka yang dihilangkan secara paksa. Padahal rekomendasi untuk disahkannya konvensi tersebut sudah sejak tahun 2009 dan bahkan masuk rencana aksi nasional (RAN) HAM periode 2011-2014 dan 2015-2018.
ADVERTISEMENT
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan ke 471 di depan Istana Merdeka, Jakarta (foto: Antara)

Refleksi dari waktu ke waktu

Meskipun rezim militerisme Orba sudah tumbang penghilangan paksa kepada nyawa orang masih sering terjadi di era pasca reformasi. Upaya penghilangan paksa ada semacam perubahan tren dari waktu-kewaktu, jika fase pemeritahan Orba penghilangan paksa sangat identik dengan keterlibatan militer dan gencatan senjata untuk merampas nyawa setiap orang tapi era saat ini penghilangan paksa berubah tren dan cara beroperasi.
Dari beberapa kasus misalnya; dugaan penyiksaan saat diintrogasi oleh polisi yang mengakibatkan hilangnya nyawa kepada Hendri Alfred warga Belakang Padang, Kepulauan Riau pada 8 agustus 2020, Golfrid Siregar aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sempat dikabarkan hilang tapi berujuang meninggal dunia dengan dugaan dibunuh karena motif dirinya sebagai pembela hak asasi manusia pada isu lingkungan pada 6 Oktober 2019, insiden penembakan ayah dan anak hingga tewas pada 18 Juli 2020 di Nduga Papua dan hingga pasca reformasi tahun 2004 Munir Said Thalib mati di Udara.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus tersebut sedikit dari sekian banyak yang bisa saya sebutkan terlepas masih ada beberpa kasus korban penghilangan paksa di era saat ini. Yang pasti perubahan wajah kejahatan penghilangan paksa saat ini bisa ditampilkan dengan seolah-soalah negara paling berhak untuk melakukannya dengan alih-alih menggunakan legitimasi dan pembenaran hukum dan atau berubah sesuai dengan konteks zaman.
Kejahatan penghilangan paksa merupakan bentuk kejahatan yang kompleks dan butuh komitmen keseriusan negara untuk menyelesaikanya. Komitment tersebut akan lebih realistis manakala negara mau dan berani meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang Dari Penghilangan Paksa.
Oleh karenanya, harapan penuh dari ikatan korban keluarga penghilangan paksa jangan sampai pupus. Sebaiknya Tuan Jokowi sebagai presiden dan Tuan Prabowo sebagi Menteri pertahan sekaligus Komandan Jenderal Tim Mawar yang diduga melakukan operasi tragedi penghilangan paksa tahun 1998 tidak memaksakan diri untuk menghilang dari tanggung jawab sebagai representasi negara untuk memenuhi rasa kemanusiaan ini.
ADVERTISEMENT