Konten dari Pengguna

Detox Digital: Strategi Gen Z untuk Menjaga Kesehatan Mental

Taura Lingga Darmawan
Mahasiswa aktif di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga. Saya memiliki ketertarikan di bidang bisnis dan kelautan. Saya memiliki pengalaman dalam berbisnis dan penyuluhan terhadap masyarakat.
24 November 2024 17:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Taura Lingga Darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
program unggulan penulis terkait sosialisasi mental health kepada remaja khususnya SMA
zoom-in-whitePerbesar
program unggulan penulis terkait sosialisasi mental health kepada remaja khususnya SMA
ADVERTISEMENT
Gen Z (Generasi Z) adalah sebutan untuk mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012. Berbeda dengan generasi millenial dan Gen X, Gen Z ini tumbuh dan besar dengan internet yang membuat mereka ketergantungan pada teknologi. Perbedaan ini membuat Gen Z mempunyai cara pandang terhadap dunia luar yang berbeda, hal ini juga mempengaruhi kesehatan mental mereka. Mereka pun lebih sering dikenal sebagai generasi yang sensitif dan rentan mengalami gangguan mental.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survey terhadap kesehatan mental pada remaja Gen Z yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) tahun 2021, penyelesaian masalah yang paling sering dilakukan adalah curhat dengan teman (98,7%), menghindari masalah yang dihadapi (94,1), dan mencari informasi mengatasi masalahnya melalui internet (51,4%). Akan tetapi, sebagian besar banyak juga yang berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri dan menjadi putus asa (57,8%). Adanya peningkatan kasus gangguan mental pada remaja dan cara mengatasinya masih belum efektif dan tidak merata untuk dipahami oleh semua kalangan. Remaja Gen Z merasa bahwa permasalahannya ini kurang serius untuk ditangani dan lebih memilih teman untuk menjadi sumber dukungan dan mencari solusi. Selain itu masa remaja ialah masa dimana mereka mengalami transisi perkembangan yang kompleks dan signifikan, mulai dari emosional, perilaku, perubahan fisik, dan psikologis (Nurfadillah et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Terdapat berbagai alasan mengapa remaja Gen Z lebih rentan mengalami gangguan mental, mulai dari masalah dengan teman sebaya yang dimana mereka kesulitan dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya sehingga membuat mereka merasa tidak diterima pada lingkungan tersebut. Masalah teman sebaya ini bisa juga berupa tindakan bullying, ancaman, intimidasi, ejekan dan aniaya dari teman sebayanya. Lalu paparan media sosial yang membuat mereka sering bermain hp dan jarang berinteraksi langsung dengan orang ini juga membuat mereka menjadi terisolisasi dari dunia luar. Sikap pesimis terhadap masa depan juga menjadi faktor utama mengapa mereka rentan mengalami gangguan mental (Saputra et al., 2020).
Untuk menanggapi hal tersebut terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan sebagai berikut : 1. Melakukan kegiatan sosialisasi, edukasi dan pelatihan tentang kesehatan mental, seperti Focus Group Discussion (FGD). 2. Orang terdekat (teman sebaya dan orang tua) bisa menunjukkan sikap cinta, kasih sayang, dan perhatian pada mereka. 3. Hargailah ide, pendapat, dan usaha yang telah mereka lakukan (jangan selalu menjudge mereka). 4. Sebagai orang tua kita juga bisa mendorong mereka agar selalu berbicara terhadap masalah yang mereka hadapi, hal ini mencegah depresi pada diri mereka. 5. Berikan solusi yang konkrit jika mereka terdapat sebuah masalah, jangan membuat masalah tersebut menumpuk dan malah kabur dari permasalahan tersebut. 6. Selalu terbuka kepada orang terdekat anda jika mengalami sebuah kekhawatiran berlebih agar mereka bisa membantu memberi saran. Jika perlu, bicarakanlah hal tersebut dengan akademisi kesehatan jiwa yang professional di bidang tersebut.
ADVERTISEMENT
7. Pengurangan atau penguatan penggunaan media sosial untuk mengatasi dampak negatif seperti kecemasan dan depresi (Amalia et al., 2021).
Jika anda menunjukkan gejala masalah kesehatan jiwa secara terus-menerus, sebaiknya segera lakukan pemeriksaan ke dokter spesialis jiwa atau psikiater agar mendapat penanganan lebih lanjut. Sebab, diagnosis dan penanganan dini bisa membantu pengidap sembuh dari kondisi yang mereka alami, melakukan aktivitas sehari - hari dengan normal, dan terhindar dari risiko komplikasi gangguan kesehatan mental yang serius dan berbahaya.
Referensi Lestari, R., Hidayah, R., Sunarto, M., Nanlohy, K. L., & Zakiya, F. A. (2023). Upaya Peningkatan Kapasitas Remaja Menjadi Mental Health Leader pada Kelompok Sebaya Berbasis Spiritual dan Budaya di Panti Asuhan. Jurnal ABDINUS : Jurnal Pengabdian Nusantara, 7(3). https://doi.org/10.29407/ja.v7i3.18973 Sarfika, R., Roberto, M., Wenny, B. P., Freska, W., Mahathir, M., Adelirandy, O., Yeni, F., & Putri, D. E. (2023). DETEKSI DINI DAN EDUKASI TUMBUH KEMBANG PSIKOSOSIAL SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN MASALAH KESEHATAN MENTAL PADA REMAJA. JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri), 7(2). https://doi.org/10.31764/jmm.v7i2.13479 Yuliasari, H., & Pusvitasari, P. (2023). MENTAL HEALTH LITERACY DITINJAU DARI BIG FIVE PERSONALITY TRAITS PADA REMAJA DI YOGYAKARTA. Journal of Psychological Science and Profession, 7(1). https://doi.org/10.24198/jpsp.v7i1.37414
ADVERTISEMENT