Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Evolusi Maskulinitas dalam Era Fleksibilitas Gender
1 Mei 2024 7:52 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Tavita Narazelda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perubahan adalah suatu konstan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konsep maskulinitas. Dari zaman prasejarah hingga era modern, pandangan tentang apa yang membuat seorang pria 'sejati' telah mengalami transformasi yang signifikan. Hari ini, kita menyaksikan pria-pria yang semakin mengadopsi pola pikir dan perilaku yang lebih inklusif dan fleksibel, memperkuat gagasan bahwa maskulinitas tidak terbatas pada stereotip tertentu.
ADVERTISEMENT
Di masa lalu, maskulinitas sering kali diukur dari parameter eksternal seperti keberanian dalam pertempuran, kekuatan fisik, dan kekuasaan dalam hierarki sosial. Kepala suku yang gagah berani, ksatria berbaju besi, atau pemimpin politik yang otoriter sering kali dianggap sebagai gambaran puncak dari maskulinitas. Namun, seiring dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya, definisi ini mulai diperdebatkan.
Salah satu contoh nyata perubahan konsep maskulinitas dapat dilihat dalam representasi tokoh-tokoh publik. Pada abad ke-18, potret Raja Louis XIV dari Perancis menunjukkan citra maskulinitas yang dianggap sebagai standar pada masanya: rambut panjang, kaos kaki, sepatu bertumit tinggi, dan pedang besar menonjol. Namun, jika kita melihat potret resmi Barack Obama pada abad ke-21, kita akan melihat gambaran yang jauh berbeda: sederhana, tanpa atribut-atribut yang secara tradisional dianggap maskulin. Ini mencerminkan pergeseran dalam pandangan kita tentang apa yang membuat seorang pria 'mewakili' maskulinitas.
Pentingnya perubahan ini tidak dapat diabaikan. Sebagai masyarakat yang semakin menyadari pentingnya kesetaraan gender dan keberagaman, stereotip tentang maskulinitas mulai dipertanyakan. Pria tidak lagi hanya diharapkan untuk menampilkan kekerasan atau dominasi dalam mengekspresikan identitas mereka sebagai pria. Sebaliknya, mereka diberi ruang untuk mengeksplorasi sisi-sisi mereka yang lebih sensitif, empatik, dan perhatian.
ADVERTISEMENT
Kalimat tersebut mencerminkan perjuangan yang masih dihadapi banyak pria dalam menciptakan identitas maskulin yang sehat di dalam masyarakat yang masih dipengaruhi oleh stereotip gender yang kaku. Dalam banyak budaya, terdapat norma yang menekankan bahwa seorang pria harus kuat, tidak tergoyahkan, dan menahan diri dari mengekspresikan emosi yang dianggap lemah di hadapan orang lain. Ini menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi pria untuk selalu menampilkan gambaran diri yang sesuai dengan harapan sosial tersebut, bahkan jika itu berarti menekan atau menyembunyikan emosi mereka.
Selain itu, semakin banyak diskusi tentang kesehatan mental dan kesejahteraan emosional yang mendorong pria untuk lebih terbuka tentang perasaan mereka dan mencari bantuan ketika diperlukan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya perawatan diri dan dukungan psikologis, pria diberi ruang untuk mengekspresikan emosi mereka dengan lebih bebas, mengurangi stigma terhadap kerentanan dan menekankan pentingnya keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan. Ini membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas tentang kompleksitas individu dan menumbuhkan budaya yang lebih inklusif di mana pria merasa lebih nyaman untuk menjadi diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Di era kontemporer, perubahan dalam konsep maskulinitas terus berlangsung dengan cepat seiring dengan perkembangan sosial dan teknologi. Pria modern tidak hanya dihadapkan pada tekanan untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial yang telah ada, tetapi juga harus beradaptasi dengan tuntutan baru dari perubahan dinamis di masyarakat. Misalnya, kemajuan teknologi telah mengubah cara kita bekerja dan berinteraksi, mengharuskan pria untuk memiliki keterampilan yang lebih beragam, termasuk kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan bekerja dalam tim. Dalam konteks ini, maskulinitas tidak lagi hanya tentang keberanian fisik atau otoritas, tetapi juga tentang kemampuan untuk beradaptasi, berinovasi, dan menjadi pemimpin yang inklusif.
Meskipun kita telah melangkah jauh dalam memperluas pandangan tentang maskulinitas, tantangan tetap ada di hadapan kita. Beban ekspektasi sosial terhadap pria untuk tetap 'tegas', 'tangguh', dan 'mandiri' masih ada, meskipun semakin banyak yang mulai mempertanyakan keabsahannya. Pergeseran mulai banyak terjadi dalam pandangan terhadap maskulinitas. Semakin banyak orang mulai menyadari bahwa memahami dan mengekspresikan emosi adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan. Masyarakat perlu terus membuka ruang bagi pria untuk merangkul kerentanan, mengekspresikan emosi dengan bebas, dan menemukan makna maskulinitas yang sesuai dengan nilai-nilai mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks perubahan demografis global dan pergeseran budaya, masyarakat juga semakin menghargai keberagaman dalam representasi maskulinitas. Berbagai latar belakang etnis, budaya, dan orientasi seksual membawa perspektif baru tentang apa yang berarti menjadi seorang pria dalam berbagai konteks. Ini mendorong kita untuk melepaskan pandangan yang sempit tentang maskulinitas dan mengakui bahwa ada banyak cara yang valid untuk mengekspresikan identitas gender. Oleh karena itu, masyarakat yang semakin inklusif memberikan kesempatan bagi pria untuk merayakan keunikan mereka dan membangun identitas yang autentik tanpa terkekang oleh norma-norma yang kaku.
Dengan demikian, melalui refleksi terhadap perjalanan konsep maskulinitas dari masa ke masa, kita dihadapkan pada kesadaran bahwa maskulinitas bukanlah sesuatu yang terikat pada stereotip tertentu. Sebaliknya, keberagaman dan inklusivitas dalam representasi maskulinitas memberikan kesempatan bagi pria untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, tanpa harus terjebak dalam peran-peran yang sempit dan terbatas. Inilah saatnya bagi kita untuk menyongsong konsep pria yang lebih fleksibel.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Harari, Y. N. (2015). Sapiens: A Brief History of Humankind. New York, NY: HarperCollins.