Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.106.0
Konten dari Pengguna
Suara Perempuan Pesantren: Antara Tafsir, Tradisi, dan Mimpi yang Ingin Dikejar
9 Juni 2025 12:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Tazqiya Noor Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak banyak yang tahu bagaimana rasanya menjadi santri perempuan.
Tinggal di lingkungan yang penuh nilai agama, dipenuhi disiplin, tapi juga diam-diam penuh tanya: “Apakah nanti aku hanya akan jadi pelengkap?”
ADVERTISEMENT
Di pesantren, kami belajar kitab, menghafal hadits, memahami fiqih. Tapi di sela-sela belajar itu, kami juga mulai memahami kenyataan bahwa menjadi perempuan sering kali berarti hidup dengan garis yang sudah ditentukan orang lain.
---
Menjadi Perempuan yang Tunduk pada Ilmu, Tapi Tidak Mati oleh Aturan
Di pesantren, kami diajari adab sebelum ilmu.
Kami belajar untuk patuh, hormat, sabar. Tapi kadang, kami juga ingin bertanya:
> “Kenapa suara perempuan sering dianggap tak layak memimpin?”
“Kenapa kami harus merasa bersalah saat ingin berpendapat?”
Sebagai santri, kami ingin jadi perempuan yang taat, tapi juga berpikir. Perempuan yang bisa mencintai syariat tanpa kehilangan logika.
---
Tafsir Tak Selalu Netral, Dan Kami Sedang Belajar Memahami Itu
ADVERTISEMENT
Saya pernah membaca satu kitab kuning yang membahas perempuan, dan merasa aneh dengan beberapa narasi di dalamnya. Tapi guru saya mengingatkan, “Kitab itu produk zaman. Maka kamu juga harus cerdas membacanya.”
Itu momen penting. Saya sadar bahwa tak semua teks yang berbicara tentang perempuan berasal dari wahyu—ada juga warisan budaya, tafsir yang manusiawi, dan bias yang bisa diluruskan dengan ilmu.
Dan sebagai santri perempuan, tugas kami bukan memberontak membabi buta. Tapi belajar—agar bisa menyuarakan kebenaran dengan dasar yang kuat.
---
Kami Ingin Jadi Lebih dari Sekadar "Istri Ustaz"
Banyak orang luar berpikir, perempuan pesantren hanya dipersiapkan untuk jadi istri yang patuh. Padahal, kami punya mimpi. Ada yang ingin jadi dosen, penulis kitab, bahkan kiai perempuan.
ADVERTISEMENT
Kami ingin jadi ulama yang bisa menafsirkan agama dari pengalaman perempuan. Yang bisa bicara tentang haid, aurat, peran publik, bukan hanya dari sisi laki-laki.
> Kami tidak sedang ingin "melawan" agama. Kami justru sedang mencintainya—dengan memahami dan menghidupkannya lewat pengalaman kami sendiri.
---
Antara Tradisi, Keluarga, dan Langit-Langit Mimpi
Sebagian dari kami pulang ke rumah dan mendapati orang tua yang bilang, “Nggak usah kuliah tinggi-tinggi, nanti juga balik ke dapur.”
Sebagian lagi harus menyembunyikan cita-cita, karena takut dianggap “perempuan kurang syukur”.
Tapi diam-diam, kami menyimpan mimpi.
Menulis tafsir dari mata perempuan.
Mengubah cara guru memperlakukan murid perempuan.
Membuat pesantren ramah pada suara-suara yang selama ini ditenggelamkan.
ADVERTISEMENT
---
Santri Perempuan Juga Ingin Didengar
Perempuan pesantren bukan makhluk pasif.
Kami tumbuh dalam tradisi, tapi bukan berarti kami tidak bisa memperbarui makna.
Kami belajar kitab, tapi juga ingin menulisnya.
Kami patuh pada guru, tapi juga ingin berpikir sendiri.
Dan jika hari ini kami masih diam, bukan berarti kami setuju. Mungkin kami sedang mencari waktu yang tepat, bahasa yang lembut, dan dalil yang kuat untuk berbicara.
> Karena menjadi perempuan di pesantren itu bukan sekadar menunggu jodoh.
Tapi menata ilmu, menjaga mimpi, dan menciptakan ruang agar suara kami tak lagi dianggap bid’ah.