Konten dari Pengguna

Self Diagnosed, Malah Perburuk Kondisi Penyakit?

Tiara Chantika
Psychology Student - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16 Desember 2022 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Chantika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi self diagnosed. Sumber gambar: https://images.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi self diagnosed. Sumber gambar: https://images.pexels.com
ADVERTISEMENT
“Jarang mandi ternyata jadi salah satu gejala gangguan jiwa, aku mandi dua hari sekali, artinya besok aku harus ke psikolog!”, ujar Mimin setelah menonton video yang lewat dalam beranda akun Tiktok miliknya.
ADVERTISEMENT
Agustus 2022 kemarin, jagat maya dihebohkan dengan video Tiktok yang diunggah oleh seorang wanita berseragam hijau dengan masker dan topi medis layaknya tenaga kesehatan. Postingan ini mendadak viral dan mengundang ribuan komentar dari warganet. Ia berjoget di depan kamera sambil memberikan informasi mengenai ciri dan gejala dari gangguan jiwa tahap awal. Gejala yang ia paparkan antara lain mood mudah berubah, pelupa, menjadi sulit berkonsentrasi, berbaring di tempat tidur seharian, bahkan malas mandi. Iya, malas mandi!
“Ya Allah, ini syaratnya udah terpenuhi semua, hei”. Cuit akun @ndagels yang juga me-repost video ini pada akun Twitternya. “Apakah gue harus periksa ke rsj karena semua syaratnya terpenuhi?”, tulis akun @aulmaulidiana pada kolom komentar postingan tersebut. Lalu pertanyaannya, apakah benar gejala-gejala di atas (termasuk malas mandi) merupakan tanda bahwa kita terkena gangguan jiwa tahap awal? Lalu bagaimana cara memastikan kebenarannya?
ADVERTISEMENT
Mengenal Istilah Self Diagnosed, Bukan Cuma Penyakit Mental!
Menurut Annisa Poedji Pratiwi yang merupakan psikolog klinis, self diagnosed adalah asumsi yang menyatakan bahwa seseorang terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuannya sendiri. Hal ini sangat tidak baik dilakukan karena justru akan memperparah resiko penyakit apabila penanganannya menggunakan metode yang salah. Self diagnosed bukan hanya ditujukan pada gejala-gejala penyakit mental, melainkan juga pada penyakit fisik. Contoh umumnya adalah orang yang sakit perut biasanya mendiagnosis dirinya sendiri terkena penyakit maag, padahal bisa jadi setelah memeriksakan diri ke dokter diagnosa sebenarnya ia menderita penyakit asam lambung. Jika penderita mengonsumsi jenis obat yang salah tanpa panduan dari ahlinya, tentu saja hal ini malah akan memperburuk kondisi penyakit yang ada.
ADVERTISEMENT
Pada masa sekarang, self diagnosed seringkali dilakukan oleh kebanyakan orang. Hal ini didukung oleh kemudahan dalam mencari informasi. Saat ini, artikel-artikel tentang kesehatan yang membahas gejala penyakit, baik penyakit mental maupun fisik sangat banyak bertebaran di internet maupun sosial media. Padahal tak semua artikel maupun unggahan yang kita baca bersifat kredibel dan valid sumbernya. Tentu saja ini tidak baik dibaca oleh para awam karena akan menimbulkan kesalahan informasi.
Lalu Dimana Kita Harus Mencari Informasi Tentang Kesehatan?
Sebenarnya, tidak ada larangan untuk membaca artikel maupun postingan tentang kesehatan yang tersebar di internet. Namun, kita juga harus memerhatikan kredibilitas isi tulisan tersebut. Karena seperti yang kita tahu, kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi seorang manusia dan berpengaruh pada keberlangsungan hidup seorang individu. Sehingga jika kita membaca tulisan yang salah dan menerapkannya, maka akan menyebabkan pengaruh yang buruk bagi kesehatan diri seseorang.
ADVERTISEMENT
Jika kita temukan diri kita sedang tidak baik-baik saja, lebih baik segera berkonsultasi ke ahlinya. Jangan malah mensugesti diri dengan penyakit yang kita temukan di internet karena informasi tersebut belum tentu benar. Daripada mendiagnosis sendiri dan mengikuti arahan dari internet, lebih baik kita memaparkan keluhan langsung kepada ahlinya untuk menemukan jenis pengobatan yang tepat.
Lika-Liku Pemeriksaan Kesehatan, Salah Satu Penyebab Maraknya Self Diagnosed
Mungkin seringkali kita menemukan orang lain (atau bahkan diri kita sendiri) yang ketika mendapati suatu gejala penyakit akan membiarkan rasa sakitnya bersarang dalam tubuh begitu saja. “Ah, tidak apa-apa, sudah biasa sakit begini, kok” atau seperti “Ah, paling cuma masuk angin aja, besok juga sembuh!”. Nah, sebenarnya rasa sakit yang kita alami tidak baik untuk disepelekan. Bagaimana jika gejala yang kita alami merupakan awal dari sebuah penyakit yang serius apabila tidak ditangani dengan cepat?
ADVERTISEMENT
Namun tentu saja, setiap orang memiliki alasannya masing-masing. Salah satu alasan yang menjadikan orang malas untuk berkonsultasi dengan ahlinya adalah karena mahalnya biaya pemeriksaan. Seperti yang kita tahu atau bahkan pernah kita alami, sekali melakukan cek kesehatan maupun berkonsultasi baik dengan dokter ataupun psikolog akan merogoh saku yang lumayan besar, bahkan bisa melebihi ratusan ribu rupiah. Itulah yang menjadi penyebab mengapa orang-orang lebih memilih mengatasi penyakitnya sendiri dibandingkan berkonsultasi ke ahlinya.
Sebenarnya ini dapat diatasi oleh program pemerintah yang tersedia di dalam bidang kesehatan atau yang bisa kita sebut dengan istilah BPJS Kesehatan. Dilansir dari Wikipedia, BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang merupakan salah satu dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). BPJS Kesehatan berfungsi untuk menekan biaya pemeriksaan maupun pengobatan, sehingga pesertanya dapat berobat tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun. Namun, meratanya fasilitas BPJS Kesehatan di Indonesia memang bisa dibilang belum cukup maksimal. Salah satu akibatnya adalah banyak keluarga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah tidak mendapatkan fasilitas kesehatan ini. Begitu juga dengan ketidaksigapan rumah sakit yang dinilai kurang gesit dalam menghadapi pasien yang menggunakan BPJS kesehatan.
ADVERTISEMENT
Selain faktor ekonomi, ada pula penyebab lain mengapa seseorang tidak ingin memeriksakan diri ke ahlinya, khususnya pada orang dengan gangguan mental yang membutuhkan layanan di bidang psikologi. Di Indonesia, layanan psikologi masih terdengar cukup tabu di telinga masyarakat. Banyak orang yang mengatakan, jika sedang berada dalam tekanan dan masa sulit, maka solusinya adalah mendekatkan diri kepada yang mahakuasa. Untuk apa membuang uang mahal-mahal hanya untuk berbincang dengan seorang psikolog yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah kita?
Selain itu, banyak pula orang yang masih menganggap seseorang yang mampir ke layanan psikologi berarti kejiwaannya sedang terganggu. Sehingga orang yang memiliki masalah dalam kesehatan mental malu dan takut untuk datang ke psikolog karena persepsi negatif orang di sekitarnya. Padahal tidak perlu takut dan malu untuk datang dan berkonsultasi ke ahlinya. Daripada mencari penjelasan gejala di internet yang belum tentu valid sumbernya, lebih baik segera hampiri fasilitas kesehatan terdekat. Kesehatan diri anda lebih penting daripada pandangan dan persepsi orang sekitar.
ADVERTISEMENT
Dari sini dapat kita simpulkan, self diagnosed sangat tidak baik untuk dilakukan karena rawan terjadi kesalahan penanganan. Jika terjadi sesuatu, maka lebih baik berkonsultasi dengan ahlinya. Hilangkan rasa malu dan takut, karena kesehatan adalah sumber bagi manusia untuk terus menjalankan seluruh aktivitas hidupnya.