Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Skandal BUMN di Tengah Ancaman Ekonomi Indonesia yang Melambat
12 Januari 2020 8:48 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Teddy Mihelde Yamin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seperti yang diperkirakan sebelumnya bahwa skandal Jiwasraya akan terus bergulir dan semakin panas. Semakin hari semakin memunculkan kejutan. Rabu, 08 Januari 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memaparkan hasil audit Jiwasraya, dengan kesimpulan bahwa telah terjadi penyimpangan atau perbuatan melawan hukum dari pengumpulan dana ‘produk saving plan’, maupun penempatan investasi dalam bentuk saham dan reksadana. Selanjutnya ke depan cerita tentang Jiwasraya, diprediksi akan terus panjang.
ADVERTISEMENT
Kebobrokan asuransi BUMN, rupanya tak terbatas hanya sampai di situ, seperti memastikan rumor selama ini, bahwa selain Jiwasraya ternyata asuransi lain milik negara ini PT. Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ASABRI (Persero) juga diduga kuat terjadi tindak pidana korupsi, yang nilainya tidak kalah fantastis, di atas Rp 10 Triliun, seperti yang diungkapkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD pada Jumat (10/01/2020).
Diberitakan modus korupsi disebabkan kerugian dari turunnya harga saham di portopolio yang dimiliki ASABRI. Turunnya nilai saham yang dimilikinya enggak tanggung-tanggung, hingga 90%. Untuk diketahui bahwa ASABRI yang didirikan pada 1 Agustus 1971, merupakan perusahaan asuransi sosial yang dimaksudkan untuk mengelola pembayaran pensiun bagi prajurit TNI, Polri, hingga PNS yang terkait, seperti PNS Kementerian Pertahanan RI dan Polri. Untuk yang satu ini, ceritanya baru tersingkap, dan kini memasuki babak pembuka, besar kemungkinan rasanya tak kalah manarik dan panjang. Hanya saja karena menyangkut, menyerempet, dan berpotensi menyeret nama-nama besar di petinggi militer, nuansanya bisa jadi akan berbeda. Maklum saja, sekalipun ASABRI milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bahwa selama ini perusahaan tersebut bermain di lingkungan militer dan posisi kuncinya juga dipegang para petinggi militer aktif.
ADVERTISEMENT
Prihatin Bersemainya Praktik Korupsi
Pada kesempatan ini, penulis tidak bermaksud membahas kedua skandal di asuransi BUMN tersebut, tetapi keprihatinan penulis jika hal ini benar, menyaksikan kondisi beberapa asuransi milik negara yang nyatanya dikelola ugal-ugalan, serampangan, dan tempat bersemainya praktik korupsi. Tak cukup di sektor asuransi BUMN yang bermasalah, demikian juga operasional di BUMN lainnya yang merugi dan berbagai projek BUMN yang dikerjakankan korupsinya diduga triliunan, segera terbuka kasusnya. Padahal, seharusnya deviden dari BUMN menjadi andalan di samping pajak usahanya untuk penopang perekonomian nasional.
Ke depan dipastikan akan semakin menarik untuk dicermati mengingat perusahaan BUMN tidak terlepas dari peran negara dan pemerintahan berkuasa yang otomatis memiliki mandat untuk mengelolanya sebaik mungkin, tetapi faktanya seperti membiarkan kondisi berlarut. Sehingga terjadi praktik ‘akrobat dan manipulasi’, di antaranya dengan memoles, merekayasa Laporan Keuangan dan mengkompromikan kebijakan yang melibatkan otoritas resmi negara. Akhirnya secara bersama-sama mengelabui publik. Padahal, selayaknya pemerintah dengan segala perangkat negara dan kewenangan yang dimilikinya semestinya pro aktif mengawasi, memperbaiki, dan responsif mengembangkan potensi yang ada. Tidak terbatas hanya responsif ketika masalahnya mencuat ke publik, lalu bergegas mematikan api kemelut yang menyambar ke mana-mana, bagaikan pemadam kebakaran. Bukankah semestinya pemerintah menggali potensi ekonomi yang ada dari BUMN dan menutup celah korupsinya.
ADVERTISEMENT
Skandal yang melibatkan BUMN, suka tidak suka efeknya telah berpengaruh ke perekonomian Indonesia. Padahal kita tahu bahwa ekonomi Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja, justru berada dalam kondisi waspada. Ekonomi Indonesia yang melambat, bahkan resesi ekonomi senantiasa mengancam Indonesia, jika tidak ada perubahan signifikan pada kondisi makro ekonomi saat ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini kalah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5%. Sedangkan, ekonomi Kamboja tumbuh 7% di 2019, Myanmar dan Vietnam tumbuh 6,6%. Sementara itu, ekonomi Laos diprediksi tumbuh 6,5%, dan Filipina 5,8%.
Laporan Bank Dunia terbaru, menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang tidak lebih baik, bahkan diprediksi pada tahun 2022 hanya akan tumbuh pada angka 4,6%. Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh 5%, lebih kecil dibanding prediksi April lalu, yakni 5,1%. Karena itu, walaupun makro ekonomi yang kuat telah menopang pertumbuhan namun investasi malah melambat. Defisit transaksi berjalan tetap besar karena pertumbuhan ekspor juga melambat. Walau permintaan domestik kuat, namun ketegangan perdagangan internasional Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, dan kini ketegangan AS dengan Iran tetap menjadi tantangan. Volatilitas keuangan global bakal membawa risiko besar bagi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kalau dicermati kondisi ekonomi pemerintahan Jokowi saat ini, sumber pembiayaan pembangunan mengandalkan pajak dan pinjaman dari berbagai sumber. Sayangnya dari kedua ini tidak mampu mendongkrak produksi dalam negeri dan meningkatkan ekspor. Sehingga current account deficit (CAD) semakin dalam. Artinya, impor lebih besar dari ekspor, dan konsekuensinya ditutupi dengan utang.
Perangkap Utang
Perlu diketahui bahwa utang negara saat ini sudah di atas Rp 5.000 triliun. Pertanyaannya, jika keberlangsungan hidup bangsa ini tergantung utang, bagaimana jika utang semakin besar dan segala risikonya? Apakah hak berutang tersebut praktis dimonopoli penguasa saat ini? Jika berbagai potensi berutang itu diambil semua saat ini, bagaimana kelak dengan generasi mendatang, anak cucu kita? Jika pun masih ada negara atau lembaga keuangan internasional yang mau memberi utang baru lagi bagi Indonesia, apakah hal ini tidak membuat posisi Indonesia semakin tertawan? Ingat, konflik kapal asing China yang mengambil ikan ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Perairan Natuna? Yang serba canggung dan harus banyak menahan diri.
ADVERTISEMENT
Jika pada suatu saat ekonomi Indonesia mengalami gangguan, niscaya masalah lebih besar akan muncul jika negara-negara atau lembaga keuangan Internasional enggan memberikan kita pinjaman baru, maka hal inilah yang dikhawatirkan dan disebut ekonomi tidak jalan, terjadi kemandekan. Pada saat yang sama, karena ekonomi mandek maka dunia usaha juga akan terhenti. Bila dunia usaha mengalami stagnasi, maka dipastikan akan terjadi periode kebangkrutan.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Dipastikan target penerimaan pajak juga tidak akan tercapai. Jika kedua sumber pembiayaan ini tidak dapat diandalkan lagi maka dalam teori ekonomi dikatakan Indonesia memasuki periode resesi ekonomi. “Ini menyakitkan dan membuat bangsa ini akan didikte oleh negara atau lembaga-lembaga kreditur. Maka sejarah 1998 akan berulang, bahkan bisa lebih ‘pahit lagi’. Kita perlu waspadai hal ini.
ADVERTISEMENT
Analisis ini murni berdasarkan pendekatan ilmu ekonomi makro, bukan berdasarkan sentimen. Seandainya ada negara mau memberikan utang lagi maka bisa jadi bunganya pasti lebih tinggi, jika bunganya tinggi dan muncul keragu-raguan untuk memberikan pinjaman baru tersebut kepada Indonesia (dengan pertimbangan apakah Indonesia mampu mengembalikan angsuran plus bunga, dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu ini), maka selesai kita.
Memasuki periode ke 2 pemerintahan ini, sayangnya sampai saat ini, publik belum tahu bagaimana sebenarnya ‘road map’ pengelolaan ekonomi makro pemerintahan ke depan. Semoga tidak terus-menerus mengandalkan utang. Mengelola ekonomi makro tidak seperti melakukan pemindahan ibu kota, mengambil keputusan dulu baru melakukan kajian, studi kelayakan. Ini model yang sangat keliru dan menyalahi prosedur akademis, terlebih hingga kini sumber pembiayaan masih belum jelas.
ADVERTISEMENT
Ada peluang bertambahnya devisa, pendapatan dari harga komoditi ekspor Indonesia yang mengalami kenaikan. Namun, sumbangannya tidak banyak, kurang berarti untuk meningkatkan penerimaan negara, akhirnya kembali lagi basis pembiayaan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada pajak dan utang.
Investasi yang diharapkan dapat menggerakkan roda perekonomin nasional, terutama menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produksi dalam negeri, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat, ternyata tidak berjalan dengan baik. Karena investasinya yang masuk bukan di bidang manufaktur yang menghasilkan produk yang berorientasi ekspor, atau menggalakkan pengembangan industri subsitusi barang impor , yang mampu menekan impor. Mengambil contoh, misalkan saja mempercepat hilirisasi produk kelapa sawit, sebagai salah satu yang menjadi kunci dalam menekan defisit transaksi berjalan akibat performa neraca perdagangan yang memburuk.
ADVERTISEMENT
Berbicara hilirisasi produk sawit ini sebenarnya sangat menjanjikan, mengingat nilai tambah yang dihasilkan juga sangat besar. Misalnya, kita ditantang bagaimana menghasilkan lebih banyak ‘surfaktan’ dan ‘produk kosmetik’ yang mempunyai nilai tambah ratusan kali lipat dibanding hanya mengekspor crude palm oil (CPO) atau crude palm kernel oil (CPKO) ke pasar dunia. Untuk kita sadari bersama, mengingat nilai tambah yang tinggi dan lebih kompetitif harganya dari produk sawit tersebut maka Uni Eropa mempermasalahkan sustainability sawit Indonesia.
Selain itu, sebenarnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk menekan impor minyak dan gas (migas), dan memberi nilai tambah dari yang komoditi yang ada. Ini karena impor migas kita yang besar sebagai penyebab defisitnya neraca perdagangan. Misalkan saja percepat dan perbanyak konvensi batu bara menjadi gas (dimethylether/DME) dengan teknologi. DME ini bisa mengganti elpiji, sehingga bisa menekan impor. Apalagi mengingat 70% elpiji masih berasal dari impor.
ADVERTISEMENT
Hal lain, mempercepat dan mendorong segera pemakaian mobil listrik. Sebab dengan penggunaan mobil listrik ini akan mengurangi impor BBM, mengingat bahan bakar yang digunakan mobil listrik menggunakan energy listrik. Selain itu lanjutkan dan fokus pada percepatan pembangunan kilang minyak yang terus tertunda.
Pengembangan beberapa upaya tersebut memang memerlukan waktu dan investasi yang tidak kecil. Tetapi hasilnya lebih tepat guna dan berefek langsung pada perekonomian nasional. Betul, sebagian di antaranya sudah dilakukan walau terlambat dan tidak fokus. Jadi tidak salah juga pemerintah memilih investasi yang besar di bidang infrastruktur, tetapi prioritaskan dan segerakan infrastruktur yang strategis, berdampak cepat dan signifikan pada peningkatan ekspor, mengurangi impor dalam mendukung penerimaan pendapatan nasional.
Industri dan Politik
Memang industri kita tidak break, tetapi dipaksa untuk lebih efisiensi, sekalipun harus melakukan ‘downsizing’ kualitas dan kuantitas produk dan ‘downscoping’ dalam program restrukturisasi. Selain itu untuk bisa survive, diperlukan komitmen politik yang kuat berbagai pihak, pemimpin nasional yang mengemban amanah rakyat dituntut mempunyak visi yang jauh ke depan. Sedangkan untuk industri yang di daerah, menggugah kesadaran kepala daerah untuk lebih kreatif, tidak sekadar berkutat mengejar kepentingan pribadi dan berkutat pada APBD saja . Sementara keterlibatkan serikat pekerja, tak kalah penting dalam memperjuangkan kepentingan buruh, tak hanya kepentingan pemilik kapital.
ADVERTISEMENT
Problem ekonomi dengan melambatnya pertumbuhan, dapat berimbas pada politik. Angkatan kerja yang terus bertumbuh, bila tidak ditopang dengan terbukanya lapangan pekerjaan baru secara massal, bisa berbahaya bagi stabilitas nasional. Berpotensi terjadi trap yang menggoncang situasi krisis dan berimplifikasi pada krisis kepercayaan internasional dan politik dalam negeri. Untuk itu, pemerintah yang lagi berkuasa diingatkan untuk membereskan perekonomian dengan membereskan masalah yang melanda di banyak BUMN dan menjaga pertumbuhan ekonomi. Mengembangkan dan merawat sektor ritel di tengah masyarakat. Karena kebutuhan dasar masyarakat kecil harus terpenuhi, sangat sensitif bila terganggu, masyarakat membutuhkan biaya hidup dari hari ke hari untuk kehidupan dan pendidikan. Tak salah kembali bila pemerintah me-review berbagai proyek mercusuar yang ‘return’ ekonominya memerlukan waktu panjang, karena BUMN kita yang semestinya menjadi andalan dalam menopang pembangunan nasional justru sekarang menjadi beban dan menjadi bancakan berbagai kepentingan. ***
ADVERTISEMENT
Jakarta, 11 Januari 2020.
* Penulis : Peneliti Cikini Studi, alumni International and Monetary Economics Nottingham University, UK.