Antara PSBB, Hak Warga Negara dan Kelompok Rentan

Teddy Triyadi Nugroho
Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
10 September 2020 11:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teddy Triyadi Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi telah memperlihatkan kepada kita berbagai macam struktur dan praktik yang tersembunyi dari bekerjanya system yang selama ini hanya terlihat dipermukaan saja. Pandemi juga memperlihatkan kepada kita karakteristik rezim yang sesungguhnya dalam mengatasi keadaan krisis seperti saat ini. Saat kemunculan pandemi di dunia, pemerintah terlihat santai dalam mengambil kebijakan untuk melindungi warganya, justru pemerintah dinilai gagal dalam merespon awal kemunculan wabah pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Awal Merespon Covid
Dalam konteks ini, pemerintah pada tahap awal penyebaran Covid 19 menunjukan ketidakseriusan,sehingga tidak ada sistem antisipasi ketika wabah mulai menyebar. Hal ini juga diperparah dengan pernyataan anti science yang ditunjukan pengambil kebijakan. Absennya sistem antisipasi dan respon awal memadai menunjukan krisis dari tata kelola kebijakan Negara, yang ditunjukan dengan kordinasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah rendah,fragmentasi kebijakan,kesimpangsiuran infromasi dan indikasi keraguan public atas kapasitas Negara mengelola krisis.
Kebijakan yang diambil Negara dalam mengatasi pandemi ini salah satunya adalah kebijakan PSBB. Kebijakan ini merupakan bagian penting dalam penanganan dan mengantisipasi kenaikan korban Covid 19 yang terus bertambah.Kebijakan PSBB ini tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 dan teknis pelaksanaannya dapat diketahui melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease.
ADVERTISEMENT
Setelah peraturan tersebut mulai diberlakukan memang terjadi berbagai macam masalah dan dampak multi sector dan dinilai tidak efektif, dari kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi, hingga aktivitas beribadah di masyarakat. Dampak pada sektor-sektor tersebut kian hari mulai dirasakan masyarakat. Hal yang utama adalah menyangkut persoalan kesejahteraan sosial masyarakat.
Kesejahteraan sosial masyarakat di sini berkaitan dengan kesehatan, kondisi ekonomi domestik rumah tangga, rasa aman-nyaman, serta kualitas hidup yang baik. Sehingga masyarakat yang sedang dihadapkan pada pandemi Covid-19 dapat tetap memenuhi kebutuhan dasarnya dan menjalankan fungsi sosialnya.
PSBB hanya memperbolehkan sektor kesehatan, distribusi pangan, penyediaan energi, perbankan, peternakan dan pertanian, dan media cetak dan elektronik yang boleh berjalan dengan kapasitas minimal. Namun memang setelah pemberlakuan PSBB dilakukan pada bulan-bulan lalu nyatanya tidak berjalan dengan efektif dan menimbulkan masalah diberbagai sektor.
ADVERTISEMENT
Kebijakan PSBB Saat Ini
Kebijakan PSBB dinilai menciptakan kerentanan sosial pada masyarakat, khususnya masyarakat yang memiliki status pekerjaan informal yang sumber pemasukan ekonominya didapat sehari – hari dan tidak memiliki gaji pokok yang relative tetap.
Melihat Kondisi saat ini saja memang telah banyak terjadi PHK masal yang membuat seluruh warga yang terdampak semakin sulit dalam kondisi kehidupan ekonomi. Menurut data Data pekerja terdampak imbas Covid-19 yang dihimpun Kemenaker, dengan bantuan dari rekan-rekan Disnaker Pemda di seluruh Indonesia, hingga 31 Juli 2020 menunjukkan secara total baik pekerja formal maupun informal yang terdampak Covid-19 mencapai lebih dari 3,5 juta orang. Dengan data itu kita sudah dapat melihat bahwa sebenarnya kelompok-kelompok rentan sangat terdampak dari adanya peraturan ataupun kebijakan dari PSBB ini.
ADVERTISEMENT
Kelompok masyarakat yang sangat kentara terdampak dalam kebijakan PSBB ini adalah memang kelompok-kelompok rentan. Kelompok rentan ini di definisikan secara beragam, yaitu kelompok miskin, kelompok yang kehilangan mata pencaharian akibat Covid 19,pekerja informal, kelompok dengan fasilitas kesehatan terbatas, kelompok LGBT dan sebagainya.
Karena bisa jadi kelompok tersebut mengalami double burden atau beban ganda, misalnya kelompok transgender yang dalam keadaan normal sudah termasuk kelompok minoritas , kemudian ditengah pandemi tidak mendapat pemasukan, contoh lain misalnya orang miskin yang dalam keadaan biasa sudah kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari- hari dan kondisi bertambah sulit saat COVID 19 melanda.
Meskipun berbagai macam kebijakan telah dikeluarkan pemerintah,seperti bantuan langsung tunai, ataupun kebijakan lain yang merespon kondisi ekonomi wabah Covid 19 ini nampaknya hanya bersifat reaktif semata. Artinya bahwa pemerintah masih mementingkan dan lebih condong kepada stabilitas ekonomi dari pada ketimbang aspek kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan pemerintah yang belum menggunakan nilai-nilai kemanusiaan membuat kebijakan yang ada tidak senstitif terhadap problem kerentanan sebagai dampak pandemi Covid 19. Program bantuan sosial yang diberikan hanya sebatas menjaga daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi tidak merosot selama pandemi, tetapi luput secara eksplisit bagaimana proses distribusinya kepada kelompok-kelompok marjinal yang terdampak.
Konsekuensinya dalah pelanggengan marjinalisasi tetap terjadi, terutama bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria sebagai penerima bantuan karena dari awal belum diakui secara legal seperti yang terjadi pada kelompok waria di bulan april lalu. Terlebih lagi Basis data bantuan sosial dinilai tidak sesuai dan bahwa masing masing pihak memiliki survei sendiri, antara BPS, Kemensos dan Kemenrian Desa memiliki survei sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu terjadilah ketidaksinkronan karena pemerintah tidak memiliki basis data yang kuat dan padu antara pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah. Belum lagi dengan banyaknya masyarakat yang belum dijamin dengan hak kesehatan, Mulai dari APD, Obat-obatan serta tes covid 19 pada kelompok-kelompok rentan masih terbatas. Dari berbagai macamnya permasalahan tersebut , hal itu menyangkut dengan dimensi kewarganergaraan yaitu hak hak warga Negara yang abai selama pandemi.
Pandangan Kewarganegaraan Sosial T Marshall
Oleh sebab itu pandangan kewarganegaraan dalam melihat permasalahan ini sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh mana hak-hak warga Negara yang luput dari kebijakan selama ini dari pemerintah. Dalam hal ini pandangan Marshall dapat digunakan dalam melihat masalah sosial warga Negara yang ditimbulkan pada kebijakan pemerintah saat ini. Menurut T Marshall warga negara adalah setiap orang “yang memiliki keanggotaan penuh dan setara dalam suatu komunitas politik.”
ADVERTISEMENT
Artinya bahwa setiap anggota dari suatu komunitas politik yang berkedudukan setara mesti menikmati tiga hak yang diproteksi dan dijamin oleh negara, yaitu hak sipil, politik, dan hak sosial. Oleh karena itu, “the granting of social rights” dipandang sebagai kewajiban yang sama sekali tidak boleh dilanggar oleh negara.
Itulah mengapa dalam Marshall, citizen sama dengan gentleman, sebab warga negara adalah orang-orang yang dimungkinkan untuk saling berbagi dan dengan jaminan negara juga menjadi dimungkinkan menikmati forma kehidupan beradab atau civilized life sebagaimana dihipotesiskan oleh Alfred Marshall.
Bahwa semua warga bisa menikmati civilized life ini tidak semata-mata karena implikasi dari keaktifannya di pasar tenaga kerja, melainkan lebih sebagai sebagai akibat langsung dari keanggotaan politiknya sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dalam pandangan ini kita dapat melihat persoalan mengenai hak-hak warga Negara yang terdampak selama pandemi harus setara dalam kondisi apapun. Ketika kebijakan PSBB diberlakukan seperti kelas pekerja informal mungkin tidak mendapat penghasilan selama pandemi, begitu pula dengan kelompok-kelompok rentan lain.
Selain itu pula terjadi pula dalam beberapa kasus stigmatisasi bagi para tenaga medis, dan mengalami pengusiran di tempat tinggalnya. Hal ini merupakan akibat penyebaran informasi yang tidak akurat yang dilakukan pemerintah sehingga mengakibatkan publik mendapatkan informasi yang tidak menyeluruh dan mengambil sikap keliru dan ini merupakan bentuk pelangaran terhadap hak warga negara.
Oleh karena itu dalam menjamin hak-hak warga Negara pemerintah mesti memperhatikan kelas pekerja yang tidak mendapat penghasilan dalam pandemi juga harus dijamin untuk mendapatkan hak-hak sosialnya. Selain itu seluruh kelompok-kelompok rentan mesti mendapatkan hak yang setara dalam kebijakan sosial.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Pemerintah Harus Inklusif
Artinya bahwa dalam hal ini kebijakan yang dibuat pemerintah harus mempertimbangkan kebutuhan kelompok-kelompok yang termarginalkan, baik secara ekonomi ataupun sosial. Yakni terkat dengan hak-hak kewarganegaraan, baik hak diakui secara sosio kultural hak atas distribusi kesejahteraan secara lebih adil, maupun hak untuk berpartisipasi dan terwakilkan secara politik.
Pandemi menimbulkan kerentanan ganda karena sistem dan kultur yang mengatur kehidupan selama ini masih bertumpu kepada eksklusi atas banyak kelompok masyarakat. Untuk itu isu kesehatan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh kelompok termarjinalkan harus diatasi, dengan pemenuhan hak-hak warga Negara yang lebih inklusif.
Untuk itu dalam merumuskan sebuah kebijakan pemerintah juga mesti melihat bagaimana kebijakan itu sudah menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Terlebih lagi tentang pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja informal secara khusus dan kelompok rentan secara umum.
ADVERTISEMENT
Perlindungan sosial tersebut tidak hanya diperlukan saat situasi krisis tetapi juga pada situasi normal. Itu karena pada kehidupan normal kondisi kehidupan pekerja informal tidak stabil dan rentan terjerat dalam kemiskinan. Tanpa adanya perlindungan sosial, perkerja informal, kelompok rentan akan tetap hidup dalam ketidakpastian, dan pada saat krisis, tidak hanya harapannnya yang akan hilang tetapi juga mungkin hidupnya.
Daftar Pustaka
Kustiningsih, W. (2020). Penguatan Modal Sosial Dalam Mitigasi COVID 19. In W. M. 'udi, Tata kelola penanganan COVID 19 di Indonesia (p. 372). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Putra, A. (2020, April). Tirto.id. Retrieved from https://tirto.id/derita-transgender-di-tengah-covid-19-tak-ada-ktp-tak-ada-bantuan-eN8k
Riyadi, E. (2020, Mei). The Conversation. Retrieved from https://theconversation.com/yang-luput-dari-psbb-kewajiban-pemerintah-untuk-penuhi-hak-kesehatan-warga-136747
Robet, R. &. (2014). Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben. Marjin Kiri.
ADVERTISEMENT
Ade Miranti Karunia (2020, Agustus). Kompas.com. Retrieved from https://money.kompas.com/read/2020/08/04/163900726/imbas-corona-lebih-dari-3-5-juta-pekerja-kena-phk-dan-dirumahkan?page=all