Makna Cinta : To Have atau To Be?

Teddy Triyadi Nugroho
Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
2 Mei 2020 20:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teddy Triyadi Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bersiaplah - siaplah, itulah kata yang coba di ingatkan kepada semua orang untuk tetap siap menerima segala hal yang terjadi mengenai cinta. Tak ada bahasa sastra disini, tak ada romantisme disini .
Disini hanya ada bahasa orang awam yang tak tahu bagaimana bercerita layaknya seorang penyair atau layaknya seorang penulis , disini semua orang bebas mendapatakan apapun yang ia mau, bahkan semua orang memiliki kebebasan untuk mengkritik apapun dari hasil akhir pemikiran yang ia terima disini.
Kebebasan adalah kunci dari seseorang untuk berkembang menjadi apapun yang ia mau. Tak perlu waktu lama untuk memahami semuanya, karena cinta mungkin sudah mulai bosan untuk dibahas. Jika biasanya tema cinta ditulis dengan bahasa romantisme atau sastra yang melulu tentang hujan dan rindu.
ADVERTISEMENT
Kini kita tak perlu lagi mengingatkannya tentang itu. Dunia sudah terlalu bosan dengan bahasan yang melulu tentang rindu, senja, hujan atau apalah itu, kini dunia ingin melihat emansipasi dari sebuah kata tentang cinta.
Emansipasi Cinta
Emansipasi dari cinta, cinta yang membebaskan, cinta yang menjadikan, cinta yang menumbuhkan. Begitulah yang ingin disampaikan dunia untuk menyadarkan kepada manusia yang sudah larut dalam hiruk pikuk keduniaan yang fana dan tak lebih dari sekedar kata-an.
Semua orang menginginkan pembebasan hidup dalam dirinya, pembebasan hidup dari kemiskinan, kelaparan, bahkan kebodohan tentang cinta. Namun saat ini cinta telah mengalami pembelokan makna. Setelah cinta hadir di Dunia modern ini, dunia yang penuh dengan janji-janji, tanda-tanda, bahkan pengharapan pengharapan yang di sebarluaskan oleh media. Dunia telah memiliki kuasa tunggal yang mengendalikan kita semua--yaitu media, seluruh kuasa dan kesadaran termasuk bagian fundamental dari diri manusia,yaitu tubuh manusia kini telah dikendalikan oleh media.
ADVERTISEMENT
Cinta dan media sudah menjadi pasangan serasi, yang sudah saatnya harus dikaji. Media sudah menjadi kekuatan dari cinta untuk bertindak, membuat manusia terkungkung oleh imajinasi dari kekuatan reproduksi makna pada media. Media telah menciptakan reproduksi tanda-tanda (nilai simbolis).
Seperti yang dikatakan oleh Jean Baudrilliard, Produk yang ada dipasaran bukan datang dari kebutuhan manusia, melainkan rekayasa hasrat dan pikirian tentang adanya kebutuhan palsu (false need).
Konstruksi Makna Cinta
Sama seperti produk, esensi cinta pun telah dibelokkan menjadi kebutuhan tanda-tanda. Kini yang menjadi subjek utama dari semuanya adalah tubuh. Melalui media tubuh manusia tidak lebih dari citra yang terus dikonstruksi hingga nalar manusia merusak esensi dari cinta.
Cinta telah menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan hasrat (desire) manusia yang orientasinya mengejar kepuasaan, kenikmatan, sensasional dan superioritas. Secara teoritis tubuh dan cinta sebenarnya adalah hal yang melekat pada manusia, manusia memiliki tubuh yang didalamnya terdapat jiwa dan mental yang keduanya terbentuk karena konteks sejarah, sosial, dan budaya. Filsuf Empedocles, mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat unsur alam yaitu, air, udara, api dan tanah.
ADVERTISEMENT
Semua unsur ini membentuk suatu emosi yang bernama cinta dan benci. Cinta disini dikenal dengan istilah ( eros) atau sifat konstruktif dan benci dikenal dengan istilah (thanatos) atau sifat destruktif. Oleh karenanya kata cinta dan benci berawal dari sebuah unsur dari tubuh manusia yang dikonstruksi melalui emosi manusia.
Entah sadar atau tidak sejak manusia lahir didunia kita sudah mempunyai emosi itu. Bayi yang baru lahirpun tahu itu, dia hanya bisa menangis , diam dan bahagia jika ia mendapatkan sebuah cinta kasih. Tidak ada yang tahu mengapa bayi bisa tenang dipelukan sang ibu, mungkin saat ini kita tahu itu, alasan mengapa seorang bayi bisa sangat tenang jika didekat ibunya.
ADVERTISEMENT
Cinta merupakan perasaan bersama yang bertujuan integratif yang menyatukan dan mendekatkan. Berbeda dengan benci yang merupakan perasaan untuk selalu memisahkan diri atau membatasi diri dari orang lain atas dasar tidak suka.
Inilah yang menjadi permasalahannya, cinta tak pernah salah-- yang salah adalah kemampuan seseorang dalam memahami cinta. Cinta di dunia modern sekarang hanya dipahami dengan taktik kekuasaan, taktik mempengaruhi, taktik menaklukan orang lain. Tentu saja hal itu dapat dengan mudah kita temui di kehidupan ini, dan inilah kesalahan yang sebenarnya.
Kuasa Cinta
Cinta ibarat dengan kekuasaan , kekuasaan tentang tubuh, menjadikan tubuh disiplin dengan kuasa itu. Tidak hanya pria atau wanita, semua sama dihadapan cinta. Dengan kekuasaan itu menjadikan seseorang melegalkan upaya kekerasan bahkan penindasan, inilah yang sesungguhnya marak terjadi dalam suatu hubungan percintaan saat ini.
ADVERTISEMENT
Terlebih cinta juga bukan hanya sekedar romantisme hubungan, karena ini pun salah--bagaimana tidak, dalam sikap romantis didalam cinta , terdapat kekuasaan diantara kedua belah pihak yang sangat tinggi. Keduanya saling bergantung secara ekstrim. Salah satu pihaknya tidak dapat hidup tanpa kehadiran pasangannya.
Inilah yang membuat manusia menjadi lemah mental, ini lah yang menghambat pemikiran pembebasan tentang cinta. Inilah konsep kunci dari cinta, manusia kini telah dibodohi dengan kemampuan cinta nya itu, pergeseran dari makna cinta yang sebenarnya.
Mereka lupa karena dibodohi media tentang itu, cinta yang merupakan kekuatan mulia dari suatu hubungan manusia kini menjadi rapuh dan terkoyak-koyak kebersatuan dengan sesama, yang menjadi cara kerja cinta sering kali mudah kandas karena hanya ada proses transaksional diantara keduanya, cinta transaksional cinta yang praksis .
ADVERTISEMENT
Ketika tidak ada lagi transaksi dengan cinta tumbuhlah emosi, tumbuhlah kebencian diantara mereka. Cinta yang sejati seharusnya berpusat pada to be ( menumbuhkan dan mengembangkan potensi seseorang) ,Bukan berpusat pada to have (memiliki seutuhnya dan menaklukan salah satu pihak).
Ketika sudah menjadi to have manusia tidak mengenal kata kemanusiaan dan mungkin saja melepaskan segala bentuk penumbuhan kebebasan itu. Oleh karena itu sangat disayangkan kehidupan yang di dominasi oleh media ini menjadi tergerus dengan berbagai macam perubahan secara otonom mengenai cinta. Sehingga saat ini kita melihat bahwa adanya penurunan moral manusia tentang cinta dalam tendensi media yang kian dinamis.