news-card-video
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Diplomasi Tongzhi: Upaya Taiwan Meraih Visibilitas Internasional

Tedy Asjad Krisnamukti
Mahasiswa S-2 Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada
14 Maret 2025 14:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tedy Asjad Krisnamukti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.freepik.com/free-photo/close-up-hands-holding-gay-pride-flag_7061401.htm#fromView=search&page=1&position=15&uuid=e3b92806-e14d-4155-82c0-2bb33f426bea&query=Lgbt
zoom-in-whitePerbesar
https://www.freepik.com/free-photo/close-up-hands-holding-gay-pride-flag_7061401.htm#fromView=search&page=1&position=15&uuid=e3b92806-e14d-4155-82c0-2bb33f426bea&query=Lgbt
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda mendengar stigma yang sering kali dilontarkan terhadap kelompok LGBTQ+? Seperti "LGBT itu pembawa bencana," atau "LGBT itu penyebar penyakit HIV," dan bahkan "LGBT itu kaum laknat"? Stereotip seperti ini kerap kali muncul di tengah masyarakat dan memengaruhi pandangan umum terhadap kelompok ini. Hal ini membuat kelompok LGBTQ+ sering kali mendapatkan diskriminasi, bahkan di negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai pelindung hak asasi manusia. Padahal, kelompok ini memiliki kapasitas yang sama dengan individu lainnya dalam berkontribusi pada masyarakat. Meskipun masalah orientasi seksual merupakan ranah pribadi, inklusivitas dalam menerima keberagaman sangatlah penting untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara.
ADVERTISEMENT

Persekusi terhadap Kelompok LGBTQ+ di Berbagai Negara

Di banyak negara, kelompok LGBTQ+ masih menghadapi persekusi yang cukup parah. Salah satu contoh yang mencolok adalah Brunei Darussalam yang memberlakukan hukuman mati bagi individu LGBTQ+ melalui rajam atau cambuk. Kebijakan ini memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk masyarakat internasional yang menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (Anon 2019a). Di Polandia, beberapa wilayah bahkan mencanangkan diri sebagai “zona bebas LGBT,” yang mengundang kritik keras dari Uni Eropa dan sejumlah negara lainnya yang menilai kebijakan tersebut sebagai bentuk diskriminasi (Anon 2020). Bahkan, negara kita, Indonesia, juga tidak luput dari isu ini, di mana kelompok LGBTQ+ sering kali menjadi sasaran persekusi. Berdasarkan survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada 2016, kelompok LGBTQ+ merupakan kelompok yang paling dibenci di Indonesia, lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya seperti Komunis atau ISIS (Zakiah 2018).
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, pada tahun 2022, muncul kebijakan yang dianggap memperburuk kondisi kelompok gender minoritas, yaitu Perda Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) yang diterapkan di Kota Bogor. Kebijakan ini dianggap bermasalah karena tidak berbasis pada bukti ilmiah, dan memiliki pasal yang mengatur rehabilitasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai bentuk penyiksaan berkedok pengobatan tanpa dasar ilmiah (Anon 2022). Fenomena ini memberikan gambaran bagaimana di banyak negara, masih ada upaya untuk mendiskriminasi dan mengeliminasi inklusivitas bagi kelompok LGBTQ+.

Taiwan: Contoh Inklusivitas yang Berbeda

Namun, Taiwan memberikan contoh yang berbeda. Meskipun Taiwan menghadapi tekanan besar dari kebijakan One China yang mengisolasi mereka dari banyak negara, Taiwan menunjukkan komitmennya untuk menciptakan inklusivitas bagi kelompok LGBTQ+ dan terus memperjuangkan hak-hak mereka. Taiwan dikenal sebagai salah satu negara paling demokratis dan liberal di Asia, bahkan menjadi tuan rumah LGBTQ+ Pride Parade terbesar di Asia Timur selama hampir dua dekade. Pada Mei 2019, Taiwan membuat sejarah dengan melegalkan pernikahan sesama jenis, menjadikannya negara pertama di Asia yang mengambil langkah besar ini (Wamsley 2019). Keputusan ini tidak hanya mendapat pujian internasional, tetapi juga menunjukkan bahwa Taiwan benar-benar berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Taiwan juga memiliki platform streaming LGBTQ+ pertama di Asia, GagaOOLala, yang mendukung kesetaraan gender dan hak kelompok LGBTQ+. Platform ini memungkinkan lebih banyak orang di seluruh dunia untuk mengakses konten yang mendukung hak-hak kelompok LGBTQ+ dan berusaha mengkampanyekan nilai-nilai inklusivitas dan kesetaraan ke luar negeri. Hal ini menunjukkan bagaimana Taiwan menggunakan platform digital sebagai alat untuk mendukung gerakan hak-hak LGBTQ+ dan memperkuat visibilitas internasional mereka (Anon 2019b).

Tongzhi Diplomacy: Diplomasi Inklusivitas Taiwan

Konsep "Tongzhi Diplomacy" yang diperkenalkan oleh mantan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou, mencerminkan pendekatan diplomasi yang berfokus pada inklusivitas dan hak-hak kelompok LGBTQ+. Dalam bahasa Mandarin, “Tongzhi” berarti teman, tetapi di Taiwan, istilah ini juga merujuk pada komunitas LGBTQ+ dan secara khusus mencakup orang-orang yang bukan heteroseksual atau cisgender. Konsep ini pertama kali digunakan di Hong Kong dalam Festival Film Lesbian dan Gay pertama, dan kini telah menjadi simbol dari gerakan inklusivitas di Taiwan (Chen Nai-chia 2021).
ADVERTISEMENT
Ma Ying-jeou mencatat bahwa pada tahun 2004, ketika ia menjabat sebagai Walikota Taipei, ia bertemu dengan Klaus Wowereit, Walikota Berlin yang terbuka mengenai orientasi seksualnya. Ma memperkenalkan parade LGBTQ+ pertama di Taipei kepada Wowereit dan menyebutnya sebagai contoh sukses dari diplomasi yang berfokus pada pengakuan terhadap hak-hak LGBTQ+. Tongzhi Diplomacy, yang tercermin dalam kebijakan Taiwan, mengintegrasikan upaya pemerintah dan organisasi non-pemerintah untuk memperjuangkan hak-hak ini di dunia internasional.

Tongzhi Diplomacy dan Visibilitas Taiwan di Dunia Internasional

Berbeda dengan kebijakan luar negeri negara-negara Barat yang lebih sering mencoba mempengaruhi kebijakan terkait LGBTQ+ di negara lain, kebijakan luar negeri Taiwan melalui Tongzhi Diplomacy lebih mengedepankan peningkatan visibilitas Taiwan di dunia internasional. Taiwan tidak berusaha untuk mengubah kebijakan negara lain terkait LGBTQ+, tetapi lebih fokus pada membangun reputasinya sebagai negara yang demokratis dan peduli terhadap hak asasi manusia, yang mencakup hak-hak kelompok LGBTQ+. Dengan mempromosikan hak-hak ini, Taiwan mampu memperkenalkan dirinya sebagai mercusuar hak asasi manusia di Asia, meskipun statusnya masih diperdebatkan dalam hukum internasional (Chen Nai-chia 2021).
ADVERTISEMENT

Penutup

Penciptaan inklusivitas bagi kelompok LGBTQ+ memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan visibilitas internasional Taiwan. Melalui diplomasi yang mengedepankan hak-hak kelompok ini, yang dikenal sebagai Tongzhi Diplomacy, Taiwan berhasil menonjolkan dirinya sebagai negara yang mendukung nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Meskipun tantangan besar masih ada, Taiwan menunjukkan bahwa melalui pendekatan inklusif, negara ini tidak hanya memperjuangkan hak-hak kelompok LGBTQ+, tetapi juga membangun citra internasionalnya sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan. Dengan demikian, penciptaan inklusivitas bagi kelompok LGBTQ+ di Taiwan tidak hanya berfungsi sebagai alat diplomasi, tetapi juga sebagai bagian penting dari identitas dan reputasi internasional negara tersebut.

Referensi

Anon. 2019a. "Sultan Brunei Sebut Hukuman Mati LGBT Untuk Melindungi Warga." CNN Indonesia. Diakses dari CNN Indonesia.
ADVERTISEMENT
Anon. 2019b. "Taiwan Opens Doors Wider to LGBTQ Content." NBC News.
Anon. 2020. "50 Dubes Di Warsawa Rilis Surat Terbuka Minta Polandia Hormati Hak Asasi Kaum LGBT." DW.Com. Diakses dari DW.Com.
Anon. 2021. "Diancam Komisi Eropa, 3 Wilayah Di Polandia Cabut Resolusi Anti-LGBT." Liputan6. Diakses dari Liputan6.
Chen Nai-chia, Dafydd Fell. 2021. "Tongzhi Diplomacy and the Queer Case of Taiwan." In Taiwan’s Economic and Diplomatic Challenges and Opportunities. London: Routledge.
Wamsley, Laurel. 2019. "Taiwan’s Parliament Legalizes Same-Sex Marriage, A First In Asia." NPR. Diakses dari NPR.