Resensi: Novel Ayah Karya Andrea Hirata

Journey Perdana
Setiap Cerita Harus Dibagi, Setiap Kata Harus Dieja.
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2020 10:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Journey Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Judul Novel : Ayah
Penulis : Andrea Hirata
ADVERTISEMENT
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Tahun terbit : Pertama, Mei 2015
Jumlah halaman : xx + 412 halaman
ISBN : 978-602-291-102-9
Sukses dengan buku pertamanya yang berjudul Laskar Pelangi, Andrea Hirata, penulis kelahiran Belitong ini kembali menorehkan hal yang sama pada novel kesembilanya yang berjudul Ayah.
Novel yang terbit pada tahun 2015 ini menarik banyak pembaca, baik dari kalangan siswa, mahasiswa, hingga pekerja bahkan setelah umur novel ini menginjak usia yang ke-5.
Novel Ayah sendiri menceritakan tentang persahabatan antara 3 orang kawan yakni Sabari, Ukun, dan Tamat. Persahabatan antar ketiganya telah cukup lama dimulai sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun, ada satu hal yang membedakan diantara mereka, yakni cara mendekati wanita.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan bahwa Sabari adalah sosok pria yang sangat dingin dan susah jatuh cinta terhadap perempuan. Sedangkan kedua sahabatnya, Ukun dan Tamat adalah pria yang loyal serta sangat mudah jatuh cinta.
Dalam cerita selanjutnya, Sabari jatuh hati pada gadis bernama Marlena. Tapi nahasnya, rasa cinta Sabari pada Marlena hanya bertepuk sebelah tangan. Marlena justru melakukan hal kebalikan pada Sabari bahkan Marlena sangat membencinya karena rupa Sabari yang tak setampan pria-pria lain yang dikenalnya.
Namun dengan segala kegigihan dan usaha besar yang dilakukanya, akhirnya Marlena pun takluk dan bersedia dinikahi oleh Sabari. Tapi lagi-lagi, kemalangan nyatanya belum beranjak dari Sabari, Marlena, sang gadis impian yang akan dinikahinya ternyata tengah mengandung kala itu.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, meski dengan keadaan tengah mengandung dari hasil hubunganya bersama pria lain, Sabari dengan segala rasa cinta, tetap menikahi Marlena dan tidak berselang lama, lahirlah Zoro.
Meski bukan anak kandungnya, kehadiran Zorro telah mampu merubah hidup Sabari. Saban hari, dengan segala rasa tanggung jawab, Sabari bekerja keras tiada henti demi membahagiakan anak dan istrinya.
Tapi lagi lagi, kemalangan dan kepedihan hidup menghampiri Sabari. Rumah tangga yang tak didasari cinta membuat Marlena menggugat cerai dirinya.
Akan tetapi, hal tersebut sepertinya telah diketahui oleh Sabari sehingga dia rela asalkan Zoro tetap hidup denganya. Tapi nahasnya lagi, nasib yang dikehendaki Sabari hanya angan-angan belaka, Zoro tetap diambil oleh Ibunya dan mereka berdua hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainya.
ADVERTISEMENT
Sepeninggal Zorro, hidup Sabari semakin tak menentu. Badan tak terawat, rumah tak diurus, dan dia tak mau bekerja. Sabari stress berat hingga membuat kedua sahabatnya iba dan berinisiatif mencari Zoro.
Tamat dan Ukun rela mencari Marlena dan Zoro ke seantero Sumatera. Perjuangan mereka mencari ibu dan anak tersebut penuh liku. Mereka rela melakukan apa saja demi kebahagiaan Sabari dan persahabatan yang telah lama terjalin.
Kiranya, dapatkah kedua sahabat karib itu menemukan Marlena dan Zoro? Dapatkah mereka mengembalikan Sabari pada jati dirinya yang dulu?
Kelebihan dan Kekurangan Novel Ayah dari sudut pandang pembaca
Novel sebagai hasil kerja kebudayaan tidak bisa lepas dari latar sosial dan geografis penulis. Andrea Hirata sebagai orang Belitung asli begitu mahir menuliskan bagaimana psikologis orang Belitong asli. Hingga novel Ayah tersaji begitu natural dan nyata. Dalam novel ini Andrea Hirata tidak hanya sedang menuliskan lika-liku kisah rumah tangga Sabari. Namun, Andrea Hirata juga berusaha menarasikan bagaimana kehidupan orang Belitong dengan aneka problematika dan ciri khasnya yang berbeda dengan suku lain di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Tokoh sentral padda novel ini; Sabari dan Zorro, menjadi penanda penting tentang sistem patrilineal yang dianut kebanyakan suku Melayu. Ayah menjadi pondasi utama dan anak terutama lelaki adalah mutiara yang kelak melanjutkan martabat keluarga. Dalam novel ini, tergambar dengan jelas bagaimana orang Belitong memiliki budaya tutur lisan kuat dan mendarah daging sejak lama. Sabari dikisahkan sebagai orang yang menyukai puisi, mahir mendongeng kepada Zorro, dan pandai bercakap-cakap. Dalam novel ini, Andrea Hirata begitu riuh dan lentur berbahasa. Bahasa yang digunakan Andrea Hirata begitu ringan dan enak sehingga pembaca larut tenggelam dalam bacaanya.
Keagungan budaya lisan ini juga tercermin dari beberapa kosakata khas Belitong seperti gelaning (bersih, rapi), hademat (menggelegar), ngayau (jalan-jalan), ketumbi (tertinggal jauh di belakang). Lebih dari itu, Andrea Hirata juga mencoba memperlihatkan bahwa manusia Belitong melek lagu, melek huruf, melek sastra, hingga melek puisi.
ADVERTISEMENT
Sebagai tambahan lain, Andrea Hirata menyusupkan gurauan-gurauan khas Melayu. Misalkan saat Markoni menangkap peluang usaha percetakan buku anak-anak sekolah, hal pertama yang terlintas dalam pikiranya justru memulai usaha baru: percetakan batako. Terdapat juga guyonan bernada sindiran atas sistim pendidikan yang kurang memadai di Belitong pada masa itu.
Sekali layar terkembang, pantang berbalik haluan. Peribahasa itu juga menjadi tulang belakang dari orang-orang Belitong. Bagaimana Sabari berjuang mendapatkan cinta Marlena, rela mengikuti semua kesenangan Marlena, berkali-kali ditolak dan dihina karena wajahnnya mirip tupai, tak menggoyahkan Sabari untuk mendapatkan Marlena. Bahkan saat Ukun dan Tamat mencari Marlena dan Zorro di daratan Sumatera, berat dan parah namun tak mengurangi semangat perjuangannya.
Kehadiran Laskar Pelangi yang mewabah turut membuat Belitong, daerah yang sebelumnya tidak dilirik orang, mendadak dikenal publik Indonesia hingga dunia. Terlebih saat Andrea Hirata diundang dalam berbagai forum literasi internasional dan kehadiran Museum Kata menambah popularitas Belitong.
ADVERTISEMENT
Novel Ayah ini mengabarkan bahwa Belitong tidak seindah Laskar Pelangi yang menerangkan panorama alam Belitong. Novel Ayah lebih mengisahkan kondisi sosial dan psikologi manusia Belitong. Membaca Ayah ini seperti sedang mendengarkan paparan bagaimana manusia Belitong berinteraksi.
Tak ada gading yang tak retak. Novel Ayah yang memiliki alur campuran, sedikit banyaknya telah membingungkan pembaca, sehingga, kegiatan membaca dalam satu tarikan nafas sukar terjadi karena pembacaan perlu diulang untuk benar-benar memahami garis waktu yang digunakan penulis.
Selain itu, pada beberapa bagian, Andrea Hirata menyajikan kisah dengan begitu hiperbola, meskipun begitu komposisi Ayah tetaplah komplit dengan aneka tekanan di dalamnya. Ada rasa humor, narasi menarik dengan bahasa lentur, sindiran halus, kemudian ada aroma penumbuh semangat, seperti semangat orang-orang Belitong.
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Leny Marlina, Alumni Kebidanan Universitas Aisyiyah Yogyakarta.