'Ansos' di Jagad Maya Saat Lebaran

Konten Media Partner
7 Juni 2019 16:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana halal bi halal di Kompleks Sukawarna Baru, Bandung. Kompleks ini merupakan tempat tinggal penulis. (Foto: Tristia R.)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana halal bi halal di Kompleks Sukawarna Baru, Bandung. Kompleks ini merupakan tempat tinggal penulis. (Foto: Tristia R.)
ADVERTISEMENT
Pada waktu 1-3 hari di momen Idul Fitri, saya memutuskan untuk tidak mengucap pesan, atau membalas pesan hari raya di jagad instant messaging. Mungkin beberapa saya ucapkan dan saya balas, tapi cuman segelintir saja.
ADVERTISEMENT
Baru, sekitar 3-4 hari sehabis momen Ied, saya mulai mengirim dan membalas ucapan satu per satu. Nyicil.
Hal ini sudah saya lakukan setidaknya dua tahun terakhir. Kini, saya ikhtiar untuk mengungkapkan asal muasal prinsip saya.
Agaknya, beberapa dari kita udah tau istilah Phubbing. Setidaknya ada dua grup yang mengirim pesan broadcast yang sama di Whatsapp tentang Phubbing.
Phubbing diistilahkan sebagai “Sebuah tindakan seseorang yang sibuk sendiri dengan gadget di tangannya, sehingga ia tidak perhatian lagi kepada orang yang berada di dekatnya.”
Istilah Phubbing sendiri berawal dari kampanye McCann Melbourne company di tahun 2012, yang menekankan bahaya Phubbing jika berkelanjutan dilakukan.
Ivan Lanin, pakar internet yang kerap mempromosikan penggunaan bahasa baku juga angkat bicara.
ADVERTISEMENT
"Phub" atau "phubbing" adalah neologisme bahasa Inggris yang dibuat pada tahun 2012. Istilah ini menggambarkan sikap abai atau cuai terhadap orang lain atau lingkungan sekitar karena terlalu asyik menggunakan gawai (gadget). "Phub" adalah lakuran (portmanteau) dari "phone" dan "snub" (mengabaikan).
Dikutip dari Time.com, Emma Seppala, psikolog Stanford dan Yale University mengungkapkan beberapa hasil penelitian yang menyatakan: kualitas komunikasi serta kemampuan menghayati apa yang disajikan di sekitar kian menipis, jika kita ber-phubbing ria.
--
Lantas, itu kan kata penelitian kontemporer. Bagaimana secara kaidah keislamannya?
Yes, rupanya ada hadits yang dengan selaras memaparkan Phubbing zaman old.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah punya cincin yang bagus, yang bikin beliau sering menatap cincin tersebut dan memalingkan beliau dari perhatian kepada para sahabat ketika berbicara.
ADVERTISEMENT
Apa yang beliau lakukan, pada akhirnya? Beliau melempar cincin tersebut karena mengalihkan perhatian dari para sahabatnya ketika berbicara.
⁣Begini redaksi lengkapnya:
Kalau boleh jujur, susah untuk nggak ber-phubbing di zaman now, ketika orang-orang di sekitar menganggap ‘nunduk main HP’ adalah sesuatu yang biasa.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut membuat saya juga akhirnya melonggarkan diri untuk Phubbing, “Wong yang lain juga Phubbing kok.” Begitu pikir saya.
Jalan tengah yang saya ikhtiarkan adalah, saya membiarkan orang lain untuk Phubbing, tetapi saya tetap bertanggungjawab untuk menciptakan obrolan yang menyenangkan sebisa saya.
Dan ketika mungkin adakalanya harus mengecek HP ketika berinteraksi dengan orang yang ada di hadapan, saya memastikan pengecekan itu untuk hal yang penting. (Bukan scrolling instant messaging atau medsos, atau lihat story nggak keruan). Dan sebisa mungkin saya meminta izin ketika hendak cek gadget.
Saya menyiasatinya dengan menyediakan waktu khusus membalas-balas pesan atau scrolling media sosial.
Kesemua itu dilakukan agar lebih mensyukuri apa-apa yang lebih di hadapan saya, lebih fokus pada amanah, dan tentu agar hati saya kian peka.
ADVERTISEMENT
Sehari yang lalu, momen Ied saya jalankan bersama sanak famili, terutama keluarga suami. Sebuah momen dimana saya menikmati banget.
Bersenda gurau dan main heboh dengan para ponakan, nonton dokumenter Warren Buffett di HBO sembari cerita soal si Aki Buffett ke suami, serta mabar (main bareng) Mobile Legends bareng suami (Oke, ini pakai gadget hahaa. Tapi setidaknya berinteraksi dengan yang ada di samping).
Dan mungkin merajut obrolan dengan famili menjadi hal yang ganjil (termasuk bagi saya yang nature-nya introvert), tetapi worthy buat diusahakan.
Kesemuanya itu mungkin nggak saya nikmati betul kalau saya ngopreki terus gadget.
[Penulis: Tristia R.]