Konten Media Partner

Bolehkah Kita Julid dengan Unggahan Orang Lain di Media Sosial?

4 Januari 2020 14:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Pernah enggak sih kamu julid sama orang yang kerjaannya posting mulu di sosial media? Entah itu momen bahagia ataupun momen sedih. Terus temen kamu bilang kayak gini,
ADVERTISEMENT
"Ini orang alay banget pasti di kehidupan nyatanya enggak bahagia jadi pamer terus,"
"Eh padahal ya, kalau liat beneran perasaan dia enggak pernah kayak gini deh,"
Duh! Kalau menurut Temali, rasanya kurang bijaksana saja. Toh, itu akun media sosial milik dia, jadi bebas dong mau pos apa saja. Tapi kalau berlebihan, ya mungkin memang harus diingatkan sih. Jadi gimana dong, wajar enggak ya, kalau kita julidin mereka yang sering posting atau pamer di media sosial?
Foto: Unsplash
Nah, untuk mencari jawabannya Temali berbincang dengan Diah Mahmudah, ahli psikologi dari Dandiah Consultant. Menurutnya, kita enggak bisa sembarangan menghakimi orang yang sering posting masalah pribadi dalam media sosial.
Entah itu dalam keadaan bahagia ataupun dalam keadaan sedih. Hal ini bisa saja karena mereka ingin berbagi, soalnya media sosial merupakan ruang bagi dirinya untuk dapat membagikan suka duka kehidupannya.
ADVERTISEMENT
"Jadi, ini tergantung kepada motif orang tersebut. Dia pamer itu tuh untuk apa? Tapi tidak lantas kita bisa langsung memberilan gudge atau menilai bahwa dia sedang show off atau pamer. Bisa jadi dia hanya ingin berbagi dan media sosial adalah media untuknya agar bisa berbagi," jelas Diah.
Menurut Diah, hal itu wajar saja dilakukan selama hal-hal yang diunggah tidak berlebihan. Misalnya, ketika seseorang ditinggalkan oleh orang tercinta, dia mengunggah foto dengan caption memberikan informasi bahwa pasangannya telah meninggal. Maksudnya, baik dengan mengatakan kalau ada hutang yang harus diselesaikan atau memberitahukan kerabat yang jauh dan lain sebagainya.
"Menurut saya hal itu wajar ya. Tapi kalau dilakukan seperti ini, misal karena dia sedih, dia merekam diri menangis sambil sesenggukan,elalu video tersebut ia share dengan caption berlebihan. Nah, itu enggak tahu ya motifnya apa, entah untuk mencari simpati atau bagaimana," tutur Diah lagi.
ADVERTISEMENT
Tapi sebagai pengguna media sosial yang melihat, kita juga bisa menilai batas wajar atau seengaknya melakukan penilaian. Bukan hanya mata yang melihat, tapi feeling atau perasaan juga bisa merasakan apakah itu wajar atau tidak. Dari segi intensitas unggahan juga bisa dilihat, apakah bisa dianggap waja atau tidak rangkaian posting-an tersebut.
"Kalau menurut saya sih, posting-an pada umumnya semacam kebahagiaan untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada pasangan sih tidak apa-apa. Selama itu tidak di-posting setiap jam dan frekuensinya juga tdak sering, ya kita bisa menilai sendiri," tutur Diah.

Perhatikan Selfward

Foto: Unsplash
Diah mengatakan, dalam ilmu psikologi ada istilah bernama selfward yang artinya seberapa besar seseorang memberikan penilaian terhadap diri. Apakah dia bisa menghargai dirinya sendiri, baik untuk dirinya atau untuk lingkungan di sekitarnya. Dia menilai apakah lingkungannya menghargai atau tidak.
ADVERTISEMENT
Ketika dikaitkan dengan intensitas publikasi konten yang cenderung kepada pamer, di sini bisa jadi seseorang tersbut tidak mendaatkan selfward di dunia nyata. Sehingga ia mencari hal itu di dunia ma dalam artian di sini di media sosial.
"Jadi, dia merasa di dunia nyata tidak dihargai dan tidak dicintai, sehingga dia mencari simpati di dunia media sosial. Mungkin dengan like yang banyak. Bisa jadi memang betul, dia merupakan orang yang mendapatkan selfward melalui media sosial," jelas Diah.
Namun, kemungkinan lain juga bisa muncul, bisa jadi seseorang itu memang tidak termasuk ke dalam "Orang yang hanya mencari kebahagiaan di dunia maya saja". Belum tentu orang yang suka pamer, tidak bahagia di dunia nyata. Lihat dulu bagaimana psikohistorisnya, bagaimana kepribadian yang dimiliki orang tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi memang ini sifatnya sangat personal dan kita tidak bisa sembarangan menghakimi kebahagiaan orang hanya dengan unggahannya di media sosial. Rasanya tidak bijaksana dan malah lebih pantas disebut julid semata.
Dia menyarankan agar kita bisa lebih bijaksana dalam menilai sesuatu di media sosial. Sungguh sangat wajar dan manusiawi, ketika ada seseorang mencari kebahagiaan di media sosial. Dia tidak mendapatkan kebahagiaan di dunia nyata dan mencoba untuk mencarinya di dunia maya. Semua orang punya hak untuk bahagia, bagaimana pun caranya.
Namun kembali lagi, penting untuk memerhatikan konten yang akan kita unggah di media sosial. Lalu, jangan dasarkan kebahagiaan pada jumlah like, followers atau subscribe, karena jika mendasarkan selfward pada jumlah like, followers atau subscribe diindikasikan ada masalah terhadap selfward atau psikologis klinisnya. Disarankan untuk menemui profesional, dicari akr permasalahnnya dan ditemukan solusinya.
ADVERTISEMENT
"Jadi lihat kembali fungsi yang sebenarnya dari media sosial agar kita bisa menggunakannya secara wajar. Lalu, jangan mendasarkan penghargaan diri pada jumlah like, followers atau subscribe serta alangkah lebih baik kita menilai postingan orang lain secara bijaksana, jangan asal menghakimi," tutup Diah***