Kata Pakar Antropologi, Tentang Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia

Konten Media Partner
11 Oktober 2019 0:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Dalam peraturan tersebut diatur berbagai hal tentang diwajibkannya pemakaian Bahasa Indonesia, seperti pidato para pejabat, dokumen-dokumen penting negara, nama badan usaha hingga penamaan bangunan.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari web setkab.go.id, peraturan ini telah disahkan Jokowi pada 30 September 2019. Urgensi pengesahan Perpres ini dilakukan atas pertimbangan bahwa Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya belum mengatur penggunaaan Bahasa Indonesia yang lain, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Pemerintah memandang perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
Penyampaian pidato resmi presiden atau wakilnya kemudian diatur harus menggunakan Bahasa Indonesia, baik dalam forum nasional maupun internasional. Forum internasional yang dimaksud dalam Perpres tersebut seperti yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), organisasi internasional atau negara penerima.
“Penyampaian pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dapat disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah,” tercatat dalam Pasal 18 Perpres ini.
Foto: Unsplash.com
Budi Rajab, Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran, memberikan pendapatnya tentang peraturan ini. Ia menyebutkan sangat setuju dan mendukung disahkannya peraturan tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Haruslah kita orang Indonesia punya Bahasia Indonesia. Kalau ditanya setuju, iya jelas setuju dong, karena kita juga orang Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, bahasa itu menunjukan identitas kultural, jadi dengan menggunakan Bahasa Indonesia kita menunjukkan identitas kita sebagai Bangsa Indonesia. Dengan seperti itu, harus ada aturan yang mengaturnya. Baik dalam bentuk Undang-Undang (UU), peraturan ataupun dalam bentuk keputusan. Peraturan itu, pokoknya digunakan untuk pegangan warga negara yang menggunakan Bahasa Indonesia.
Lalu, Budi juga berkomentar tentang penggunaan Bahasa Indonesia dalam pidato internasional. Dia bilang, itu sebuah kemajuan, sebenarnya, boleh saja ketika dalam pertemuan luar negeri menggunakan bahasa internasional. Namun, jika sudah ada aturannya itu kembali lagi pada peraturan yang mengatur penggunaan bahasa tersebut.
ADVERTISEMENT
“Banyak negara pendahjulu yang menggunakan bahasa negaranya saat pidato di pertemuan internasional. Kaya sekarang yang muncul Korea, padahal Jepang udah dari seabad lalu hingga sekarang, selalu menggunakan Bahasa Jepang dan membawa transalator saat berpidato,”jelasnya.
Adapun manfaat dari bangga menggunakan bahasa sendiri itu sangat besar. Kita harus selalu percaya diri dalam mengenalkan identitas diri kita sebagai Bangsa Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia itu bisa menjadi salah satu caranya. Budi menambahkan, bahasa itu adalah alat ekspresi, artikulasi, dan alat operasionalisasi kebudayaan.
“Kalau gak ada bahasa, kebudayaan juga gak akan ada. Bahasa itu sudah melekat dalam kebudayaan. Kalau bahasanya musnah kebudayaan pun akan musnah,” tegasnya.
Nah, dengan adanya peraturan tersebut, Budi berharap masyarakat akan terus termotivasi untuk bangga menggunakan Bahasa Indonesia. Jangan rendah diri dan malu, seolah-olah bahasa negara kita ini enggak bagus. Makanya, dari sejak kecil harus ditanamkan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Guru di Sekolah Dasar harus bisa mengajarkan dengan serius agar tertanam kebiasaan berbahasa yang baik.
ADVERTISEMENT
“Pokoknya, kalau di dalam negeri, jelas harus dipakai. Supaya menunjukkan identitas kebudayaan Indonesia yang melekat di dalam bahasa. Karena sekali lagi, kebudayaan itu bisa terartikulasi salah satunya terekspresiakan melalui bahasa. Tanpa ada bahasa tidak akan ada kebudayaan” tutupnya.
[Penulis: Lupi Y]