Kisahku Keluar dari 'Toxic Circle'

Konten Media Partner
14 Juli 2019 18:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
"Aku pamitan ya, Jeng, Pertemanan kita nggak sehat." (Ilustrasi)
zoom-in-whitePerbesar
"Aku pamitan ya, Jeng, Pertemanan kita nggak sehat." (Ilustrasi)
ADVERTISEMENT
Dua puluh tahun silam, usianya belum menginjak kepala tiga. Perempuan ini bekerja di perusahaan multinasional, serta karier yang cemerlang. Dengan gaji sudah dua digit di awal masa reformasi,membuat jalan-jalan ke luar negeri, belanja barang-barang branded di mal, dan membeli make up yang harganya selangit mudah saja dilakukan.
ADVERTISEMENT
Namun, ia mengakui, pertemanan di kantor yang ia jalani adalah pertemanan kurang sehat. Di tulisan ini, ia bercerita perjuangannya keluar dari toxic circle. Identitas disamarkan.
--
Masa muda memang masa yang jemawa. Dengan segala kemandirianku, rasanya aku tak memerlukan sosok laki-laki di sampingku. Toh, buat apa? Aku sudah mampu membiayai hidupku sendiri, meskipun orang tuaku bawel memintaku segera menikah pada saat itu, karena usiaku sudah hampir menginjak kepala tiga dan aku adalah seorang wanita, tapi hanya aku anggap angin lalu. Karena apa hak mereka? Kan yang menikah atau tidak bukan orang tuaku.
Hingga akhirnya bapakku menderita sakit paru-paru, yang membuatnya dirawat di rumah sakit. Dalam erangannya, bapak selalu memintaku untuk segera menikah. Aku adalah anak perempuan kedua di keluarga, sementara aku punya dua adik yang juga sudah memasuki usia menikah. Pada saat itu, masih tabu apabila ada adik yang menikah duluan daripada kakaknya. Bisa jadi gunjingan tetangga.
ADVERTISEMENT
Suatu hari, aku pun menderita sakit, sebenarnya sakit lama yang kambuh kembali, tapi kali ini membuatku harus bedrest dan cuti panjang. Kakak laki-laki semata wayangku yang sudah menikah mengajakku berbicara empat mata saat bulan-bulan istirahatku tersebut. Ia berkata, bisa jadi ini adalah teguran dari Allah Ta’ala. Dan ia menasihati supaya resign dari kantor tempatku bekerja, karena menurutnya, pergaulanku di sana banyak memberiku pengaruh buruk seperti perilaku hedonis dan mindset tak perlu menikah.
Memang saat itu sebenarnya aku mulai terpikir untuk mengikuti keinginan orang tua dan juga kakak ku, tapi yang menjadi pertimbangan, dengan siapa aku menikah dan apabila aku resign, siapa yang akan menanggung hidupku? Bukan itu saja, di kalangan teman-temanku, mereka enggan menikah karena merasa belum menemukan calon yang se-level dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Circle-ku memiliki pemikiran kalau kita saja sudah memiliki karier yang tinggi di perusahaan, maka setidaknya calon suaminya pun harus yang lebih tinggi lagi dan juga good looking, minimal cocok untuk jadi gandengan pas kondangan. Hingga aku pun berpikiran demikian.
Setiap hari orang tua dan kakakku membujukku, dan tampaknya aku pun mulai melunak. Tapi memang jodoh di tangan Allah. Kehendakku mulai melunak untuk menikah, tapi tak kunjung ada laki-laki yang datang ke rumah. Hingga aku pun sembuh dan kembali bekerja.
Sebisa mungkin aku berusaha menghindar dan keluar dari circle pertemenanku karena nasihat kakakku. Tak jarang aku mencari alasan saat mereka mengajak jalan-jalan. Sembari berdoa supaya Allah menguatkan hatiku. Ya, semenjak sembuh dari sakit dan selepas pembicaraan empat mata dengan kakakku, aku perlahan menjadi insan yang beribadah dan berdoa kepada Allah.
ADVERTISEMENT
Sampai pada suatu hari, ada seorang lelaki datang ke rumah. Bukan untuk bertemu orang tuaku ataupun melamar. Tapi datang dengan niat menjenguk karena tahu aku baru sembuh dari sakit. Ia pun datang karena diminta oleh bos tempatnya bekerja karena bos-nya adalah temanku. Namun, orang tuaku salah sangka, mereka pikir ia adalah pacar atau calonku. Ia diminta untuk sering datang lagi ke rumah.
Laki-laki tersebut hanyalah seorang penjaga counter ponsel dan guru privat. Namun, ternyata setelah beberapa kali pertemuan, aku mulai punya rasa dengannya. Sempat terbesit di pikiranku, apa yang akan dikatakan teman-teman kantorku apabila aku menikah dengannya? Tapi selalu aku coba untuk tepis karena nasihat kakakku, bahwa Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, aku perlahan mulai bisa sepenuhnya keluar dari toxic circle kantorku. Aku mencari lingkaran lain yang membuatku lebih baik. Dan kisah laki-laki yang datang ke rumah pun tetap berlanjut. Oleh kakakku, ia ditanya keseriusan dan kesiapannya untuk menikahiku. Meskipun usianya lebih muda lima tahun dariku, tapi ia yakin bisa membimbingku dengan baik setelah menikah. Hatiku pun terenyuh dengan keseriusan dan usahanya. He is the one. Hanya butuh empat bulan, setelahnya aku menikah dengannya.
Betul saja. Mulai banyak gunjingan di kantor selepas aku menikah. Dari mulai aku disantet hingga hamil di luar nikah karena menurut mereka, betapa bodohnya aku mau menikah dengan laki-laki yang tidak se-level. Tapi aku abai. Selepas menikah, aku mulai menabung penghasilanku untuk membuka usaha sendiri. Aku ingin resign supaya bisa hidup berumah tangga dengan lebih tenang.
ADVERTISEMENT
Selang lima tahun setelah pernikahan, aku pun resign dan memiliki usaha butik sendiri. Memang belum ramai tapi selalu ada pembeli tiap harinya. Penghasilanku dan suami cukup untuk kebutuhan kami bertiga. Ya, aku sudah punya anak dari pernikahanku.
Akhir-akhir ini, banyak teman dari circle-ku di kantor dulu yang menghubungi. Bercerita mereka belum menikah hingga saat ini, sementar usianya sudah di atas kepala empat. Sebelumnya orang tua mereka dan juga diri mereka sendiri menginginkan calon suami yang high level.
Tapi sekarang, 'yang penting ada yang mau'. Justru kehidupanku saat ini yang mereka anggap sempurna. Punya suami, anak, dan rumah sendiri. Sementara mereka banyak yang terjebak utang karena kehidupan yang hedon. Betapa sayangnya Allah kepada diriku.
ADVERTISEMENT
--
[Editor: Tristi]