Memasuki Era Disrupsi dan Menghadapinya

Ini adalah eranya disrupsi. Disrupsi adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disrupsi berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disrupsi menggantikan teknologi lama yang serbafisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.
Tak ada yang tak terdampak disrupsi. Pengecualian bisa terjadi apabila kamu benar-benar cerdik berinovasi, membentuk kembali model bisnis dengan cara-cara baru. Pengeculian juga bisa terjadi apabila para elite dan masyarakatnya mau meyusun ulang undang-undang atau peraturan lama, atau memberi ruang sedikit lebih leluasa pada pembaruan.
“Disruption menggantikan ‘pasar lama’ industry, dan teknologi, yang mengahasilkan suatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan kreatif!” kata Clayton Christensen, profesor di Harvard Business School.
Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif. Karena itulah, selalu ada yang hilang, memudar, lalu mati. Semua ini menakutkan sekaligus bisa membuat kita membentengi diri secara berlebihan. Di sisi lain, ada hal baru yang hidup. Meski ada lapangan kerja yang hilang, selalu ada yang menggantikannya, yang membutuhkan kreativitas, semangat kewirausahaan, dan cara-cara baru. Begitulah siklus alam.
Sayangnya, 90% kegiatan manusia sehari-hari, kalau bukan perbaikan, adalah pengulangan (iteration), termasuk mengulang agar mendapatkan hasil yang lebih baik atau terperangkap dalam kebiasaan. Bila kamu pernah mendengar bahwa bangsa Jepang tak kenal strategi (tidak memakai strategi manajemen), itulah yang membuat perekonomian Jepang antara 1960-2000 berhasil menguasai dunia. Itu pula yang membuat perekonomiannya melambat, lalu negatif pada awal abad ke-21.
Kita juga mengenal inovasi yang amat populer pada akhir abad ke-20, yang berarti membuat sesuatu yang baru. Pupuk kimia, komputer, ponsel, metode hidroponik dalam pertanian, irigasi, angkutan container, tenaga listrik, kincir angin, mesin giling, kereta api, dan seterusnya lahir sebagai bentuk inovasi dari cara-cara lama yang tidak praktis, lambat dan tidak produktif. Tiga sampai sembilan persen produk terkemuka di dunia ini adalah hasil inovasi.
Apa jadinya begitu semua inovasi sudah berada di tempatnya, tapi masih banyak orang yang belum terjangkau? Bukankah inovasi ditujukan untuk kemakmuran umat manusia? “Cobalah cara yang berbeda,” begitu saran para ahli. Dan itulah yang didapat generasi millennials abad ke-21: Disruption.
[Penulis : Izzudin|Editor : Nadhira]
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...
Sedang memuat...
S
Sedang memuat...