Tren Cashless Society Buat Mahasiswa Boros

Konten Media Partner
17 Januari 2020 22:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Freepik
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan teknologi, produk fintech banyak bermunculan untuk transaksi pembayaran nontunai atau digital. Dengan berbagai pilihan produk yang tersedia, Indonesia pun tak luput dari tren cashless society.
ADVERTISEMENT
Pembayaran dengan tren cashless ini memiliki banyak bentuk seperti kartu dan uang elektronik (Dana, GoPay, Jenius, Doku, dan OVO). Masyarakat Indonesia khususnya para millennials dapat dengan mudah top up untuk mengisi ulang kartu atau akun uang elektroniknya. Tren cashless dirasa sangat efisien karena tidak membuang banyak waktu dan tidak perlu repot membawa dompet kemana-mana.
Untuk Indonesia, perhatian pemerintah untuk mendukung cashless society tampak jelas dimulai pada 2014. Ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Disusul pada 2017 pemerintah memberlakukan sistem pembayaran non-tunai secara menyeluruh pada tol. Semua kegiatan ini direncanakan untuk visi pemerintah yang bertajuk Go Digital Vision 2020.
Data transaksi uang elektronik pada 2019 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa tahun 2019 telah terjadi 4,7 juta transaksi cashless dan 128 triliun volume transaksi cashless di Indonesia.
Foto: Freepik
Apa sih alasan kamu kini mulai beralih ke transaksi digital?
ADVERTISEMENT
Mudah, nggak ribet, dan nggak perlu bawa cash banyak. Seperti itulah yang dirasakan oleh Hasna Ufairatus Syarifa, Mahsiswa tingkat dua di UII menikmati kehidupan tanpa harus ribet mencari uang untuk melakukan transaksi pembayaran.
Hasna hampir setiap hari menggunakan cashless. Dalam satu bulan, dirinya bisa top up 1 sampai Rp2 juta rupiah untuk memenuhi semua transaksi kesehariannya.
ADVERTISEMENT
Hasna mengakui setelah sering menggunakan cashless membuat dirinya menjadi lebih boros. Menurutnya, cashless mempermudah untuk membeli berbagai macam tanpa harus takut ga ada uang cash yang cukup.
Sama halnya dengan “penganut” cashless yang satu ini. Bz Fitri, mahasiswa Pasca Pendidikan Psikologi UPI setiap hari melakukan transaksi cashless.
“Setiap hari gak mungki nggak. Hampir semua ecommerce dan dompet digital pernah aku pakai untuk transaksi setiap hari. Yang paling sering aku pakai itu Grab, Shoope, OVO, dan Traveloka,” Kata Bz.
Sama seperti Hasna, Bz merasakan dampak baik dengan cashless ini. Ia merasa tidak perlu panik kalau ketinggalan dompet karena semua bisa di handel lewat handphone. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri dampak yang paling jelas yang dirasakan Bz adalah menjadi semakin boros dan sulit saving money.
ADVERTISEMENT
“Gampang termakan promo cashback dan sale yang semakin ingin transaksi terus menerus” Ujar Bz.
Sebagai seorang mahasiswa, Nomi juga melakukan aktivitas transaksi cashless setiap harinya. Dirinya juga sering memakai OVO, GoPay, Dana, dan Jenius.
"Mostly makanan, karena kantin bayarnya pakai OVO, vending machine di kampus juga pakai Dana, terus sering delivery pakai GoPay atau OVO," Kata Nomi.
Dalam satu bulan Nomi bisa melakukan top up sekitar 1,5 hingga 2 juta rupiah. Nomi merasa pengeluaran jadi tercatat semenjak melakukan cashless.
"Untuk dampak buruknya jadi lebih banyak unnecessary spending, karena bisa delivery jadi boros. Kalau cash terus mau jajan kan harus keluar, harus ganti baju jadi mager akhirnya nggak jadi jajan deh." Tutup Nomi.
ADVERTISEMENT
Wah, dari hasil cerita yang dibagikan oleh mereka bisa disimpulkan bahwa penggunaan cashless membuat boros dan lebih konsumtif. Padahal, seharusnya mau apapun metode transaksinya, kita harus tetap bijak dalam finansial. Kalau kamu gimana nih?***
[Penulis: Risky Aprilia]