Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Waspada Framing Issue Di Media Sosial
27 November 2019 20:56 WIB
Diperbarui 17 Desember 2019 10:27 WIB
ADVERTISEMENT
Belum lama ini, perbincangan mengenai Agnez Mo memanas di media sosial. Perempuan 33 tahun ini menjadi trending topic di Twitter karena potongan video wawancaranya dengan media asing menyebar. Dalam video tersebut Agnez memberikan pernyataan kalau ia bukan berdarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam sesi wawancara bersama Build Series by Yahoo tersebut Agnes ditanya mengenai keberagaman di Indonesia. Ia menjawab Indonesia memiliki banyak pulau dengan beragam etnis dan budaya. Agnez mengungkapkan bahwa ia tumbuh besar dengan keberagaman itu, tapi ia tidak memiliki darah Indonesia.
“Sebenarnya, aku enggak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku berdarah Jerman, Jepang, China, dan aku hanya lahir di Indonesia," kata Agnez dalam video yang diunggah ke YouTube pada 22 November lalu.
Pernyataan itu membuat orang-orang tersinggung dan mengecam Agnez akan penyataannya tersebut. Salah satunya seperti Tweet di bawah ini:
Tanggapan Pakar Komunikasi dan Pengamat Sosial Media
Centurion C. Priyatna sebagai pakar komunikasi dan pengamat media sosial dari Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Unpad mengatakan bahwa tak ada yang salah dengan pernyataan yang dikatakan oleh Agnez. Hal yang kemudian menjadi salah adalah informasi yang ditangkap oleh masyarakat yang tidak lengkap.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, video yang menyebar di media sosial hanya bagian yang menyatakan tentang darah nenek moyangnya atau Ancestor saja. Padahal sebelumnya Agnez mengatakan bangga terhadap kebudayaan Indonesia, sehingga ia selalu memasukkan unsur kebudayaan dalam karyanya.
"Jadi, sebenarnya yang menjadi masalah adalah ketidaklengkapan informasi yang tersebar. Gitu aja," ucapnya.
Bahkan menurutnya, setelah informasi itu viral. Video lengkap pun bermunculan dan di sana baru terlihat bahwa apa yang ditangkap netizen sebelumnya adalah salah. Hingga akhirnya, beberapa netizen pun mulai memberikan dukungannya dengan memakai tagar #WestanAgnezMo.
Dalam hal ini, masalah juga terjadi pada netizen yang buru-buru percaya pada sesuatu yang belum tentu benar. Netizen termakan framing atau pandangan seseorang yang entah perkataannya kredibel atau tidak. Bahkan tidak ketahui bahwa seseorang menyimpan keberpihakan atau kebencian terhadap objek yang sedang dibicarakan atau tidak.
ADVERTISEMENT
"Saya berkali-kali menegaskan bahwa ada masalah dalam literasi digital information pada netizen Indonesia. Mereka cenderung malas cek dan ricek kembali informasi yang didapatkan. Asal tahu ini viral dan mengandung kontroversi, ah yaudah viralkan,"
"Kalau menurut saya, netizen Indonesia itu seperti sudah lama di dalam kandang, lalu tiba-tiba kandangnya dibuka, terus dia lepas dan liar. Jadi peduli amat dengan etika atau tata cara bagaimana dengan cara berkomunikasi yang baik. Rasa empati dan simpatinya hilang. Jadi lebih banyak netizen yang julid dibandingkan dengan yang tidak julid, semua dikomentarin," jelas Centurion.
Tren pengguna sosial media saat ini
Tapi di sisi lain ada yang menarik, ada sebuah tren atau gaya baru yang dianut oleh netizen Indonesia. Di mana ketika ada yang viral, seperti pada kasus Agnez tentang ras, suku dan budaya Indonesia, akan muncul thread mengenai pengetahuan tentang hal itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan netizen tersebut menerangkannya lengkap dengan peta, gambar dan dokumentasi yang membuatnya mudah dipahami. Jadi seperti ada hal yang membangkitkan netizen untuk berbagi mengenai sisi lain dari hal yang sedang menjadi trending.
"Tadi saya liat lagi viral thread itu, jadi menjelaskan tentang orang Indonesia tuh berasal dari mana sih? Kemudian juga banyak yang bikin thread tentang nasionalisme. Kayak Dian Sastro sampai bikin sketsa soal nasionalisme dan kebanggaan terhadap bangsa dan negara," jelas Centurion.
Jadi menurutnya, selain kebiasaan jelek yang muncul, ada juga hal yang positif di kalangan netizen mengenai sesuatu yang viral tersebut.
Centurion mengatakan, hal seperti inilah yang seharusnya ditingkatkan di kalangan netizen Indonesia. Sehingga banyak pengetahuan yang bisa diserap dan didiskusikan, dibandingkan dengan hanya "julid" dan berkomentar negatif tentang sesuatu hal.
ADVERTISEMENT
Namun, meskipun seperti itu tren netizen "julid" masih lebih banyak dibandingkan dengan yang memunculkan thread positif. Mereka sering kali memanfaatkan demokrasi atau kebebasan berpendapat tanpa menghormati hak orang lain.
Sementara itu, fondasi atau ilmu yang dimiliki oleh netizen Indonesia belum kuat. Sehingga ketika berpendapat, mereka tidak tahu bahwa ada aturan dan etika yang harus dilaksanakan.
"Makanya, balik lagi ke literasi digital information. Pahami bagaimana sih cara memperlakukan informasi dengan baik. Itu yang harus diperhatikan, ada etika dan privasi orang yang harus dijaga," tegas Centurion.
Nah, untuk belajar mengenai etika dan kebiasaan dalam bermedia sosial bisa dimulai dari lingkungan keluarga dulu. Misalnya, bisa diperbaiki dari grup WhatsApp keluarga, hentikan memposting hal-hal yang belum tentu kebenarannya atau mengunggah hal-hal yang tidak bermanfaat lain. Untuk memperbaikinya bisa dimulai dari hal itu, sebelum bergeser ke yang lain.
ADVERTISEMENT
"Namun intinya balik lagi, cek dulu baru komen, cek dulu baru share. Masalah verifikasi dan pengecekannya kan kita punya Google. Kalau bicara etika terlalu jauh, cek dan ricek dulu kuncinya," tutup Centurion***