Konten dari Pengguna

Komunitas Pelipur Tanggapi Stigma Sosial Terhadap Isu Kesehatan Mental

teman kumparan
Ayo gabung ke komunitas teman kumparan!
5 Juni 2024 17:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari teman kumparan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesehatan mental ibu atau wanita alami depresi. Foto: aslysun/Shuttterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesehatan mental ibu atau wanita alami depresi. Foto: aslysun/Shuttterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Stigma sosial yang melekat di setiap isu kesehatan mental kerap menyulitkan proses advokasi dan edukasi kepada masyarakat. Banyak anggapan negatif, prasangka, dan diskriminasi yang dilibatkan dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
Sehingga terkadang, stigma tersebut justru bisa menghambat orang yang mengidap penyakit mental untuk mendapatkan bantuan profesional. Sebab mereka takut mendapatkan anggapan yang tidak baik dari orang-orang di sekitarnya atau kerabat dekatnya.
Dijelaskan dalam buku Advokasi Kesehatan Mental susunan Ns. Windy Freska (2023), biasanya stigma sosial muncul karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental itu sendiri. Mereka memiliki pengetahuan yang terbatas tentang gejala, penyebab, dan cara pengobatannya.
Lulu Hiswari, Humas komunitas Pelipur, memberikan tanggapannya soal stigma kesehatan mental yang muncul di kalangan masyarakat luas. Menurutnya, masih banyak orang yang belum teredukasi soal isu kesehatan mental ini.
Ilustrasi putus cinta Foto: Shutterstock
Apalagi, ketika seseorang menunjukkan perubahan sikap dan emosional di masa remaja, masyarakat sering menganggapnya sebagai kondisi yang wajar. Perubahan tersebut dianggap sebagai transisi dari masa remaja ke masa dewasa.
ADVERTISEMENT
“Menurut aku (stigma) itu cukup mengganggu untuk kita yang ingin masyarakat lebih aware dengan kesehatan mental. Tapi sulit untuk mengubah stigma masyarakat, khususnya di Indonesia. Aku berharap stigma ini setidaknya bisa bergeser,” ungkap Lulu kepada kumparan.
Lulu berharap, pergeseran stigma tersebut bisa membawa dampak yang lebih positif. Sehingga masyarakat menjadi sadar bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh mereka selain kesehatan fisik, yakni kesehatan mental.
Sebagai bagian dari komunitas yang fokus menaungi masalah kesehatan mental, Lulu kerap mengalami beberapa kendala dalam upaya menggeser stigma tersebut. Sebab menurutnya, stigma sosial justru bisa mengurungkan niat orang yang memiliki masalah kesehatan mental untuk mencari bantuan profesional.
Ilustrasi putus cinta Foto: Shutterstock
Bahkan ia sendiri pun sempat mengalami dilema tersebut di usia muda. Lulu bercerita bahwa dirinya sudah merasakan gejala gangguan mental sejak SMP. Namun ia baru berani bertemu dengan konselor ketika kuliah.
ADVERTISEMENT
Selaras dengan fakta ini, American Psychiatric Association mengatakan bahwa lebih dari separuh penderita penyakit mental cenderung menghindar atau menunda pengobatannya karena khawatir akan diperlakukan berbeda.
Mereka juga takut kehilangan pekerjaan atau mata pencahariannya karena kondisi mentalnya tersebut. Mereka kerap merasa terdiskriminasi dan disudutkan oleh banyak pihak.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Lulu mengatakan bahwa perlu menumbukan kesadaran kepada masyarakat secara luas tentang pentingnya isu kesehatan mental. Kemudian, beberapa pihak juga harus memberikan dukungan emosional kepada penderita penyakit mental tersebut.
“Daripada dipendam sendiri, its fine. Its not embrassing. Itu bukan hal yang aib gitu. Meski sulit, tapi dengan komunitas dan orang-orang yang tepat bisa menjadi mudah,” tutupnya.