kumparanTALK: Mengelola Marah dengan Ramah Bareng Dokter Jiemi

teman kumparan
Ayo gabung ke komunitas teman kumparan!
Konten dari Pengguna
18 Maret 2020 17:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari teman kumparan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Marah. Foto: unsplash/Patrick Fore
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Marah. Foto: unsplash/Patrick Fore
ADVERTISEMENT
Apakah kamu sering merasa tidak bisa mengendalikan amarahmu? Marah yang tidak terkontrol dengan baik bisa merugikan diri sendiri, loh. Tak jarang, kita merasa menyesal setelah melakukan hal di luar kendali saat marah.
ADVERTISEMENT
Pada kumparanTALK kali ini, Teman kumparan berkesempatan membahas mengenai topik 'Mengelola Marah dengan Ramah' bersama dr. Jiemi Ardian. Tak hanya aktif praktik sebagai psikiater di Rumah Sakit Siloam Bogor, dr. Jiemi juga kerap kita temukan di media sosial. Jadi, nggak heran kalau banyak Teman kumparan yang sudah akrab dengan sosok dr. Jiemi.
dr. Jiemi Ardian, Psikiater yang berpraktik di Bogor. Foto: dr. Jiemi Ardian
Di awal sesi kumparanTALK, dr. Jiemi memberikan ilustrasi spektrum amarah yang terjadi pada manusia.
Spektrum Amarah pada Manusia. Foto: dr. Jiemi Ardian
Menurut dr. Jiemi, amarah adalah sebuah spektrum emosi. Artinya marah berkisar antara sesuatu yang ringan sekali sampai sesuatu yang sangat berat. Jika kita perhatikan di gambar di atas, bisa terlihat dengan jelas bahwa amarah dimulai dari sesuatu yang ringan dan mudah dikendalikan hingga sesuatu yang berat dan seakan perlu dilampiaskan.
ADVERTISEMENT
Kemarahan sebenarnya merupakan respons alami dan adaptif terhadap adanya ancaman; kita merasa diri ini ada di dalam situasi tidak aman. Sehingga kemarahan dapat mengubah perasaan dan perilaku dengan kuat, seringkali bersifat agresif, yang memungkinkan kita untuk mempertahankan diri ketika merasa diserang. Oleh karena itu, pada tataran tertentu kemarahan diperlukan untuk kelangsungan hidup kita.
Dokter Jiemi kemudian menjelaskan, sebenarnya kemarahan dapat ditekan dan kemudian dialihkan. Kita dapat menahan amarah dengan fokus pada sesuatu yang positif. Tujuannya adalah untuk menghambat datangnya amarah dan mengubahnya menjadi perilaku yang lebih konstruktif. Bahaya dalam jenis respons ini adalah jika kemarahan tidak diekspresikan, maka amarah kita dapat berbalik ke dalam diri sendiri. Kemarahan yang mengarah ke dalam diri ini dapat menyebabkan hipertensi, tekanan darah tinggi, atau mungkin depresi.
ADVERTISEMENT
Kemarahan yang tidak terekspresikan dapat menciptakan masalah lain. Hal itu dapat menyebabkan ekspresi kemarahan yang patologis, seperti perilaku pasif-agresif. Perilaku ini ditunjukkan dengan membalas orang secara tidak langsung tanpa memberi tahu mereka alasannya secara langsung.
Kepribadian tersebut terus menerus tampak sinis. Orang-orang yang mengalami hal ini belum belajar bagaimana mengekspresikan kemarahan mereka secara konstruktif. Bahkan, mungkin orang-orang seperti ini tidak memiliki banyak hubungan yang berhasil.
Dokter Jiemi bersama Teman kumparan juga sempat berdiskusi mengenai cara mengelola amarah. Yuk, simak rangkumannya di bawah ini.
Pertanyaan: Dok, kalau marah harus dilepaskan atau dipendam?
Jawab: Kita harus melepaskan marah atau memendam marah? Pilih yang pertama nanti ada yang tersakiti, pilih yang kedua nanti diri sendiri yang tersakiti. Seperti buah simalakama. Namun, benarkah perlu demikian?
The spectrum of anger. Foto: dr. Jiemi Ardian
Nah, sekarang kita lihat gambar di atas.
ADVERTISEMENT
Bergantung tingkat intensitas emosi, marah yang muncul perlu diredakan dengan strategi yang tepat. Marah tidak harus dilepaskan dan tidak pula harus dipendam, masih banyak strategi lain yang bisa kita lakukan untuk menghadapi marah. Pada fase awal, kita bisa merencanakan untuk menyelesaikan situasi yang mengganggu, lalu pada fase selanjutnya kita bisa berpikir untuk menenangkan pikiran. Pada kemarahan yang lebih besar, mungkin kita dapat menenangkan tubuh dengan relaksasi, tetapi pada kemarahan yang paling besar kita perlu menghindari hal tersebut untuk menghindari kemarahan yang meledak.
Jika sudah sangat besar, maka menghindar adalah cara yang tepat. Namun jika masih ringan lalu kita sudah menghindar, maka kita tidak belajar dalam menyelesaikan konflik dengan sehat. Sebaliknya, jika berat kita paksa untuk bertahan, pasti perkelahian tidak bisa dihindarkan dan itu juga tidak sehat.
ADVERTISEMENT
Kemarahan yang dilepaskan bisa jadi melegakan, tetapi jika itu melukai diri sendiri atau orang lain, maka kelegaan itu tidak ada artinya lagi. Kita perlu menemukan cara-cara yang lebih baik dalam menyelesaikan kemarahan. Secara prinsip, kita perlu mencoba cara lain yang lebih adaptif dalam menyelesaikan kemarahan. Bisa dengan memperbaiki proses pikir, menggunakan humor, relaksasi, problem solving, komunikasi, atau mengubah keadaan.
Pertanyaan: Saya mudah kesal mudah marah ketika sesuatu salah atau tidak sesuai dengan pikiran saya. Sangat mudah untuk saya menjadi emosi, apakah ini sudah melewati batas normal? Seperti apa mengelolanya? Trims.
Jawab: Jawabannya, mari jujur kepada diri sendiri. Sebenarnya yang kita pikirkan itu seringkali belum tentu benar. Hanya saja karena kita sangat yakin itu benar, sehingga seakan-akan di luar itu rasanya berbahaya sekali.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan: Apakah marah dengan menyindir di menfess termasuk hal yang sehat bagi manusia?
Jawab: Pertanyaannya menarik ya, hayo siapa yang sering kayak begini? Saya percaya kita tahu bahwa yang dilakukan pun tidak terlalu sehat. Kemarahan yang sehat bukan dilampiaskan, tapi diselesaikan.
Naluriah manusia yang secara insting hadir untuk mengekspresikan kemarahan adalah merespons secara agresif, termasuk dengan menyindir dalam platform sosial media.
Di sisi lain, kita tahu bahwa kita tidak boleh secara fisik/psikis menyerang setiap orang atau benda yang membuat kita jengkel. Adanya hukum, norma sosial, dan akal sehat membatasi seberapa jauh kemarahan dapat kita lampiaskan. Sehingga mungkin kita akan menahannya, menguburnya, mengabaikannya. Nah, jika tidak diselesaikan, maka akan tumpah dalam cara-cara yang keliru.
ADVERTISEMENT
Jika caranya keliru maka pilihannya hanya dua:
Padahal, kemarahan yang sehat itu tidak harus menyakiti.
Orang menggunakan berbagai proses sadar dan tidak sadar untuk menghadapi perasaan marah. Tiga pendekatan utama adalah mengekspresikan, menekan, dan menenangkan. Mengekspresikan perasaan marah dengan tegas (tidak agresif) adalah cara paling sehat untuk mengekspresikan kemarahan. Untuk melakukan ini, kita harus belajar bagaimana menjelaskan apa kebutuhan kita, bagaimana mencukupinya, tanpa menyakiti orang lain. Bersikap tegas bukan berarti kita memaksa atau menuntut orang lain melakukan apa yang kita inginkan; itu berarti kita menyampaikan apa yang kita butuhkan kepada orang lain, juga dengan menghormati orang lain.
Pertanyaan: Dokter, seringkali saya marah karena sulit memaafkan orang lain. Akibatnya saya selalu marah yang tidak wajar. Apa langkah konkret yang perlu dilakukan untuk menangani terjadi hal tersebut? Hal yang perlu dilakukan ke diri sendiri dulu, Dok, karena tentu sangat susah kalau kita mau minta maaf ke orangnya langsung.
ADVERTISEMENT
Jawab: Jawabannya ada dalam pertanyaan ini sendiri.
Inti permasalahan sebenarnya yaitu saya sulit memaafkan orang lain dan hal tersebut selalu membuat respons marah yang tidak wajar.
Tips singkat dari saya: berlatih welas asih. Welas asih kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Kalau mau dicari apa kualitas utama yang kita butuhkan untuk memaafkan, maka welas asih (compassion) adalah syarat wajib.
Memaafkan bukan keputusan rasional, memaafkan adalah kebutuhan emosional. Maka kita tidak bisa melakukannya dengan berlogika, tapi dengan memenuhi kebutuhan emosional. Kebutuhan akan apa? Akan cinta kasih kepada diri sendiri dan kepada sesama. Kita bisa mulai dengan melatih welas asih kepada abang parkir indomaret yang tiba tiba muncul pada saat kita mau keluar parkir dan membuat kita kesal.
ADVERTISEMENT
"Dia mungkin sedang berjuang keras saat saya datang, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya," sambil berusaha merasakan welas asih kepada sang abang parkir.
Berlatihlah merasakan welas asih, kepada hal-hal yang membuat kita kesal. Mulailah latihan dari hal yang sederhana. Karena kalau yang sederhana saja kesulitan, apalagi soal luka yang sudah bertahun tahun, makin sulit lagi.
Pertanyaan: Bagaimana caranya mengajak orang tua (di sini saya sebagai kakak dari anak bungsu) untuk bisa bersikap ramah kepada anak bungsu?
Jawab: Agaknya ini pertanyaan yang cukup spesifik, didahului oleh pengalaman pribadi ya. Tapi saya akan jawab dalam konteks yang lebih luas, agar bisa diaplikasikan dalam konteks lainnya juga ya. Dalam komunikasi, ada dua hal yang perlu ada:
ADVERTISEMENT
Jika salah satu di antara kedua ini bermasalah, maka pesan tidak akan sampai dengan sesuai.
Dalam komunikasi orang tua dan anak, ada keadaan yang berbeda dari komunikasi dengan teman. Orang tua dalam budaya Indonesia memiliki keistimewaan dan merasa lebih tinggi posisinya dari anak. Termasuk (merasa) lebih tinggi secara ilmu, pengalaman, dan posisi. Komunikasi yang bisa disampaikan akhirnya terbatas karena keterbatasan keinginan untuk mendengar, dan penyampai komunikasi juga terhambat untuk bicara.
Lalu bagaimana? Tugas tetap sama, penyampai pesan tetap perlu menyampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, tapi mari dengan juga mempertimbangkan aspek budaya di mana anak berada di bawah orang tua.
ADVERTISEMENT
Tetap perlu sampaikan, “Papa/Mama, bagaimana jika papa/mama bersikap lebih ramah kepada adik?” Lalu dengarkan alasan apa yang membawa mereka bersikap tidak ramah.
Dunia nyata bukanlah film yang memiliki tokoh protagonis dan antagonis, tidak ada orang yang 100% jahat dan tidak ada orang yang 100% baik. Sekalipun tindakan yang kita amati itu keliru, tapi sangat mungkin orang tua memiliki alasan tertentu (sekalipun alasan tersebut tidak bisa jadi pembenaran untuk sesuatu yang salah). Sehingga mendengarkan alasan dibalik sebuah perilaku adalah cara yang baik dalam mengubah perilaku.
Namun, lagi-lagi perlu kita sadari, status sebagai anak akan menyulitkan untuk berdiskusi dengan orang tua. Apalagi dalam budaya Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi kehormatan orang tua.
ADVERTISEMENT
Jika diskusi tidak dapat dilakukan, maka jangan marah. Itu adalah sesuatu yang sudah kita prediksi sebelumnya. Menyampaikan pesan ini kepada orang yang seumuran dengan orang tua merupakan cara yang lebih baik dalam menyampaikan pesan. Apalagi jika kita bisa menyampaikan kepada orang tua melalui orang yang mereka hormati, tentu itu dapat lebih didengar ketimbang disampaikan oleh anak secara langsung.
Ingat, tugas kita hanya menyampaikan, bukan membuat orang tua mengerti. Orang tua akan mengerti jika mereka mau mengerti. Kita hanya bisa membuat pesan sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti, sampai sana saja yang bisa kita lakukan. Di luar itu sudah bukan kendali kita.
Pertanyaan: Kapan sebaiknya menyelesaikan amarah kepada orang secara tepat? Apakah saat kita sudah mengekspresikan kemarahan kita atau saat kita sudah berdamai dengan emosi kita? Diutarakan dahulu marahnya atau diselesaikan dulu permasalahan yang membuat marah?
ADVERTISEMENT
Jawab: Coba lihat ilustrasi spectrum of anger. Jika kita ada di level 8-10, maka jangan utarakan dahulu karena kita akan berakhir menyakiti orang lain atau diri sendiri. Jika kita ada dalam skala tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah meredakannya hingga 7 ke bawah.
Pada saat itu, kita lebih mampu berpikir dan berargumen, sehingga kita bisa mengekspresikan argumen dengan lebih baik. Tidak perlu menunggu sampai skala dibawah 4, karena butuh waktu lama. Skala 7 kebawah saja cukup untuk kita sampaikan. Jika lebih dari 7, jangan dipaksakan karena dapat dipastikan akan menimbulkan masalah baru.
Ilustrasi Mengendalikan Amarah. Foto: dr. Jiemi Ardian
Pertanyaan: Saya seorang team leader dan punya grup kecil, saya sering marah meledak-ledak jika ada pekerjaan yang tidak sesuai. Adakah cara atau langkah-langkah untuk saya supaya bisa menahan dan mengontrol kemarahan tersebut? Karena setiap marah dada terasa sesak dan hubungan dengan team menjadi tidak harmonis.
ADVERTISEMENT
Jawab: Manusia bergerak atas kebutuhan emosional, kita tidak bisa mengabaikan adanya fakta bahwa manusia tidak selalu logis. Ketika seseorang marah, sangat mungkin pada saat tersebut dia merasa terancam. Bergantung pada intensitas kemarahannya, respon perilaku seseorang tidak selalu tenang.
Cara mengatasinya yaitu kita harus dapat mengetahui intensitas kemarahan lebih dini, sehingga bisa mencegah intensitasnya meningkat sampai batas yang tidak bisa kita kendalikan.
Ketika intensitasnya sudah menjadi semakin besar, seseorang tidak mungkin untuk menjadi tetap tenang. Yang bisa dilakukan pada saat itu adalah menghindar dan menunggu agar emosi perlahan mereda. Atau dengan mengalihkan pada sesuatu yang tidak berbahaya, misalnya dengan berolahraga.
Lalu, bagaimana untuk bisa mencegah agar tidak membesar? Seperti ada pada gambar dari intensitas emosi, marah tidak tiba-tiba berada dalam level yang paling berat. Amarah biasanya dimulai dengan ketidaknyamanan kecil, yang jika dibiarkan terus-menerus semakin lama akan semakin membesar dan kemudian terlambat kita sadari, lalu meledak.
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara melakukannya?
Ketika pikiran dan tubuh mulai merespon atas tindakan atau kejadian atau memori lain, biasakan diri untuk hening sejenak terlebih dahulu. Apa yang kita lakukan ketika hening dan diam sejenak? Evaluasi emosi yang terjadi, pertanyakan ke dalam diri apa yang saya rasakan, seberapa besar intensitas emosi yang terjadi, dan apa dorongan di dalam diri yang ingin saya lakukan. Lalu atasi dorongan ini dengan cara-cara yang lebih sehat.
Jika tetap sulit sekali memahami emosi dan impuls untuk tiba tiba marah selalu terjadi, maka pergi ke psikolog sangat mungkin solusi yang tepat. Terkadang kita butuh pertolongan secara langsung pada situasi ini.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan: Ketika marah, saya seakan tidak ingin mendengar saran dari orang karena merasa mereka tidak benar dan tidak mengerti apa yang saya rasakan. Pikiran saya hanya mau menerima saran yang sesuai dengan sikap saya. Saya harus bagaimana ya, dok?
Jawab: Menerima kesalahan diri adalah keterampilan yang sulit. Kita bisa melihat di media sosial, orang yang meminta maaf selalu dibully. Yang salah malah lebih galak daripada yang disakiti. Ini bukan keterampilan yang datang sendiri, tapi perlu dilatih terus menerus.
Hanya orang yang mau berbesar hati mengakui bahwa dirinya tidak sempurna, dan menerima ketidaksempurnaan itu dengan lapang dada, lalu mau bertumbuh semakin baik. Hanya dia yang bisa menerima kritik dan saran, lalu berani meminta maaf. Pertanyaannya, mau kah kita menjadi orang yang demikian? Atau hanya selalu ingin benar?
ADVERTISEMENT
Berlatihlah meminta maaf yuk, untuk kita semua. Nggak perlu mencari-cari alasan pembenaran.
Pertanyaan: Bagaimana sih dok caranya untuk menyikapi anger passive-aggressive itu sendiri?
Jawab: Untuk diri sendiri: sadari bahwa kita marah dan kita sedang menggunakan strategi tidak tepat dalam menyelesaikan masalah. Sadari bahwa dengan cara ini kita sedang memperbesar masalah yang sewajarnya bisa diselesaikan dengan sederhana. Belajar untuk sampaikan secara langsung sekalipun rasanya tidak nyaman. Belajar asertif dengan perasaan, sampaikan untuk diselesaikan.
Untuk orang lain: nggak usah dihadapi, karena orangnya juga nggak ingin menyelesaikan. Tegur seperlunya, jika tidak berubah, ya sudah.
kumparanTALK Milennial masih akan berdiskusi dengan narasumber lain yang nggak kalah menarik, loh.
Tertarik ikuti keseruannya? Yuk gabung di grup WhatsApp Teman kumparan Milennial.
ADVERTISEMENT
(sif)