Konten dari Pengguna

Perang Tarif ataukah Strategi Negosiasi? Analisis Tarif Timbal Balik Trump

Adriyanto M
Penjelajah waktu, pekerja mandiri, alumni Universitas Mulawarman, multi minat.
3 April 2025 10:57 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adriyanto M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Donald Trump and Xi Jinping (Sumber: Dokumen Karya Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Donald Trump and Xi Jinping (Sumber: Dokumen Karya Pribadi)
ADVERTISEMENT
Banyak pihak menjuluki kebijakan perdagangan yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump sebagai "perang tarif". Istilah ini muncul sebagai respons terhadap serangkaian tarif impor baru yang dikenakan oleh AS terhadap berbagai negara secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Meskipun langkah ini dipandang oleh sebagian besar sebagai tindakan agresif yang mengarah pada konflik perdagangan global, pemerintahan Trump menggambarkannya sebagai implementasi dari Kebijakan Tarif Timbal Balik (Reciprocal Tariff Policy). Kebijakan ini merupakan mekanisme yang lazim dalam perdagangan internasional, di mana suatu negara menaikkan tarif impornya sebagai respons terhadap tarif yang dikenakan oleh negara lain terhadap ekspornya.
Artikel opini ini bertujuan untuk menganalisis Kebijakan Tarif Timbal Balik yang diterapkan oleh Presiden Trump, menelusuri motivasi di baliknya, dan mengeksplorasi dampaknya terhadap perdagangan global, termasuk implikasinya bagi negara seperti Indonesia. Dengan memahami konteks dan mekanisme kebijakan ini, kita dapat memperoleh perspektif yang lebih komprehensif mengenai apa yang sering disebut sebagai "perang tarif".

Memahami Kebijakan Tarif Timbal Balik

Kebijakan Tarif Timbal Balik adalah instrumen perdagangan di mana suatu negara memberlakukan tarif impor pada barang dari negara lain sebagai respons terhadap tarif yang dikenakan oleh negara tersebut pada ekspornya. Prinsip dasarnya adalah kesetaraan perlakuan: jika suatu negara mengenakan tarif tinggi pada barang impor, negara yang terkena dampak dapat membalas dengan mengenakan tarif yang sama atau serupa pada barang yang diimpor dari negara pertama. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam hubungan perdagangan antarnegara.
ADVERTISEMENT
Mekanisme yang mendasarinya adalah untuk membuat barang impor menjadi lebih mahal jika negara pengekspor memberlakukan tarif yang lebih tinggi pada barang dari negara pengimpor. Dengan demikian, kebijakan ini dapat digunakan sebagai alat negosiasi, memberikan tekanan pada mitra dagang untuk menurunkan tarif mereka dan melonggarkan aturan perdagangan.
Konsep tarif timbal balik bukanlah hal baru dalam sejarah perdagangan internasional. Kebijakan serupa telah ada sejak abad ke-19. Di Amerika Serikat sendiri, tonggak penting dalam sejarah kebijakan ini adalah Undang-Undang Tarif Timbal Balik (Reciprocal Tariff Act) tahun 1934. Undang-undang ini disahkan selama Depresi Hebat, ketika perdagangan global mengalami penurunan drastis.
Undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada presiden untuk menegosiasikan penurunan tarif dengan negara lain sebagai imbalan atas konsesi serupa, menandai pergeseran dari proteksionisme menuju perdagangan yang lebih terbuka. Namun, pendekatan Presiden Trump dalam menerapkan kebijakan tarif timbal balik menunjukkan perbedaan signifikan dibandingkan dengan penggunaan historisnya.
ADVERTISEMENT

Strategi Besar Trump: Sebuah Penyimpangan dari Norma

Presiden Trump menerapkan Kebijakan Tarif Timbal Balik dengan cara yang berbeda dari praktik perdagangan internasional pada umumnya. Perbedaan utama terletak pada skala dan cakupannya. Alih-alih menggunakan tarif secara selektif terhadap negara atau sektor tertentu, Trump memberlakukan tarif secara besar-besaran dan serentak terhadap banyak negara.
Selain itu, retorika yang digunakan oleh Presiden Trump sering kali bersifat nasionalistik dan konfrontatif. Ia kerap kali menggambarkan defisit perdagangan AS sebagai bukti bahwa negara lain telah "merampok" Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Bahkan, ia menyebut hari pengumuman tarif sebagai "Hari Pembebasan" (Liberation Day) bagi Amerika Serikat.
Motivasi di balik tindakan Trump sangat beragam. Tujuan yang seringkali dikemukakan termasuk mengurangi defisit perdagangan AS, mendorong manufaktur domestik, melindungi keamanan nasional, dan memastikan perdagangan yang adil. Ia berpendapat bahwa AS telah dirugikan oleh praktik perdagangan yang tidak adil oleh mitra dagangnya.
ADVERTISEMENT
Untuk memberlakukan tarif ini, Presiden Trump mengandalkan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (International Emergency Economic Powers Act/IEEPA) tahun 1977. Ia menyatakan bahwa defisit perdagangan yang besar dan persisten merupakan keadaan darurat nasional yang memerlukan tindakan segera.
Penggunaan IEEPA untuk memberlakukan tarif secara luas ini belum pernah terjadi sebelumnya dan menandakan perubahan signifikan dalam cara AS memandang dan menggunakan instrumen kebijakan perdagangannya. Langkah ini melangkahi kerangka negosiasi perdagangan tradisional dan menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas jangka panjang hubungan perdagangan internasional.

Target Surplus: Membongkar Motivasi

Salah satu ciri khas kebijakan tarif Trump adalah fokusnya pada negara-negara yang memiliki surplus perdagangan signifikan dengan Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan memaksa negara-negara ini mengubah kebijakan perdagangan mereka agar lebih banyak impor dari AS dapat masuk.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara yang menjadi target utama kebijakan ini berdasarkan besarnya defisit perdagangan dengan AS antara lain adalah China (defisit terbesar), Uni Eropa, Meksiko, Vietnam, Jepang, India, Jerman, Taiwan, Korea Selatan, Kanada, dan Indonesia (teridentifikasi sebagai kontributor defisit AS terbesar ke-15 dalam satu sumber, dan memiliki surplus perdagangan yang signifikan dengan AS).
Pemerintahan AS mengklaim bahwa tarif yang dikenakan dihitung berdasarkan tarif dan hambatan non-tarif yang diterapkan oleh negara-negara ini pada barang-barang AS, terkadang dengan menerapkan "diskon" (sekitar setengahnya). Namun, metodologi ini sering kali dikritik karena tidak transparan dan berpotensi cacat.

Reaksi Global: Spektrum Respons

Kebijakan tarif timbal balik Presiden Trump memicu beragam reaksi dari negara-negara yang menjadi target. Beberapa negara merespons dengan tindakan balasan, sementara yang lain memilih untuk bernegosiasi atau menyatakan kritik dan kekecewaan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah negara, termasuk China dan Uni Eropa, mengancam atau bahkan memberlakukan tarif pembalasan terhadap barang-barang AS. Tindakan ini menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi perang dagang dan dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Di sisi lain, banyak negara, seperti Jepang dan Korea Selatan, memilih untuk terlibat dalam negosiasi dengan AS untuk mengurangi dampak tarif atau mengamankan kesepakatan perdagangan yang lebih menguntungkan. Sekutu dekat AS seperti Australia dan anggota Uni Eropa menyatakan kritik dan kekecewaan yang mendalam, mempertanyakan logika dan keadilan tarif tersebut. Beberapa negara awalnya memberikan respons yang lebih terukur, menunggu untuk menilai implikasi penuh dari kebijakan tersebut sebelum mengambil tindakan.
Patut dicatat bahwa Kanada dan Meksiko awalnya dikecualikan dari tarif timbal balik yang baru karena adanya perjanjian USMCA, meskipun sebelumnya mereka juga menghadapi tarif. Ketidakpastian dan gangguan yang disebabkan oleh kebijakan perdagangan Trump yang sulit diprediksi juga dirasakan oleh dunia usaha dan pasar keuangan.
ADVERTISEMENT

Seni Negosiasi dan Sentuhan Pribadi: Mengenali Taktik Khas Trump

Gaya negosiasi Presiden Trump dalam konteks perdagangan dapat digambarkan sebagai langsung, bertekanan tinggi, dan memanfaatkan ketidakpastian. Ia sering menggunakan taktik seperti mengajukan tawaran ekstrem di awal negosiasi (misalnya, mengancam untuk menarik diri dari NAFTA), membingkai hasil sebagai menang atau kalah, dan menciptakan rasa urgensi. Trump juga tidak ragu menggunakan platform publik untuk memberikan tekanan pada pihak lawan.
Selain itu, Presiden Trump memberikan penekanan pada hubungan pribadi dengan para pemimpin dunia. Ia menghargai para pemimpin yang bersedia bernegosiasi dan membangun hubungan yang hangat dengannya. Contoh yang sering disebut adalah Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Kedekatan pribadi antara Abe dan Trump, termasuk melalui hobi golf yang sama, diyakini telah membantu meredam beberapa tekanan perdagangan dari AS terhadap Jepang. Berita dan laporan mengenai pembicaraan perdagangan antara Trump dan Abe menunjukkan adanya upaya untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
ADVERTISEMENT
Namun, terlepas dari hubungan ini, Jepang tetap termasuk dalam daftar negara yang menghadapi tarif timbal balik dari AS, mengindikasikan bahwa hubungan pribadi mungkin tidak sepenuhnya dapat menjadi perisai terhadap tarif.

Indonesia dalam Bidikan, Menavigasi Arus Perdagangan

Hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat selama masa kepemimpinan Presiden Trump menunjukkan dinamika yang menarik. AS merupakan mitra dagang penting bagi Indonesia, dan Indonesia secara tradisional menikmati surplus perdagangan dengan AS.
Indonesia juga tidak luput dari kekhawatiran terkait peninjauan status Fasilitas Sistem Preferensi Umum (Generalized System of Preferences/GSP) selama masa jabatan pertama Trump. Pemerintah Indonesia berupaya untuk mempertahankan surplus perdagangannya dan terlibat komunikasi yang intensif dengan AS, termasuk dengan mengusulkan pengurangan tarif dan mencari terobosan kerja sama ekonomi bilateral.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, Indonesia termasuk dalam daftar negara yang menghadapi tarif timbal balik AS, dengan tarif sebesar 32%. Tarif ini berpotensi berdampak pada ekspor Indonesia ke AS, termasuk sektor-sektor utama seperti pakaian, alas kaki, dan komoditas lainnya. Kenaikan biaya ekspor dapat mengurangi permintaan barang-barang Indonesia di pasar AS. Indonesia juga perlu mewaspadai potensi dampak dari gangguan perdagangan global yang lebih luas akibat tarif AS.
Sebagai respons terhadap tantangan ini, Indonesia kemungkinan akan terus melakukan diversifikasi ekspor dan memperkuat hubungan perdagangan dengan negara-negara lain. Pertimbangan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS juga dapat dilihat sebagai langkah strategis untuk meningkatkan posisi tawar-menawar di tengah ketidakpastian kebijakan perdagangan AS.

Kasus Negosiasi dan Penyesuaian Negara Lain

Pengalaman negara lain dalam menghadapi kebijakan tarif AS di bawah Presiden Trump dapat memberikan gambaran yang lebih luas tentang dinamika ini. China menghadapi tarif yang signifikan dan melakukan tindakan balasan, yang menyebabkan sengketa perdagangan yang berkepanjangan. Uni Eropa mengkritik tarif dan mengancam atau memberlakukan tindakan balasan, sambil juga menyatakan kesediaan untuk bernegosiasi.
ADVERTISEMENT
Kanada dan Meksiko awalnya menghadapi tarif tetapi kemudian mendapatkan pengecualian di bawah USMCA, meskipun ketegangan tetap ada. Vietnam juga dikenai tarif yang tinggi meskipun telah berupaya menjadi mitra strategis yang lebih dekat.

Penutup

Kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan oleh Amerika Serikat di bawah Presiden Trump menghadirkan dinamika yang kompleks dalam perdagangan internasional. Meskipun pemerintahan AS mengklaim bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan perdagangan yang lebih adil dan seimbang melalui negosiasi, banyak pihak di seluruh dunia melihatnya sebagai tindakan agresif yang mengarah pada "perang tarif". Skala penerapan tarif yang masif dan serentak, serta retorika yang seringkali konfrontatif, memperkuat persepsi ini.
Fokus utama kebijakan ini adalah untuk mengurangi defisit perdagangan AS dengan menargetkan negara-negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS. Reaksi global terhadap kebijakan ini sangat beragam, mulai dari tindakan balasan hingga upaya negosiasi dan kritik terbuka. Gaya negosiasi Presiden Trump yang unik, yang menekankan pada tekanan dan hubungan pribadi, memberikan warna tersendiri pada interaksi perdagangan dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
Bagi negara seperti Indonesia, kebijakan tarif AS menimbulkan tantangan dan ketidakpastian. Meskipun memiliki surplus perdagangan dengan AS dan telah berupaya untuk menjaga hubungan baik, Indonesia tetap terkena tarif yang signifikan. Hal ini menuntut Indonesia untuk terus melakukan diversifikasi ekspor dan memperkuat kemitraan dagang dengan negara lain.
Gaya penerapan dari kebijakan tarif timbal balik Presiden Trump merupakan disrupsi yang signifikan terhadap rantai pasokan global dan peningkatan ketegangan perdagangan antarnegara. Meskipun tujuannya adalah untuk memulihkan manufaktur AS dan mengurangi defisit perdagangan, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi global dan harga konsumen masih menjadi perdebatan.
Upaya untuk mencapai keseimbangan dan keadilan dalam perdagangan global akan terus berlanjut, dengan negara-negara mengambil pendekatan yang berbeda dalam menavigasi lanskap perdagangan internasional yang terus berubah.
ADVERTISEMENT