Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 Ā© PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Putri Dyah Pitaloka: Cinta dan Pengorbanan di Bubat
10 April 2025 9:33 WIB
Ā·
waktu baca 7 menitTulisan dari Adriyanto M tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di bawah langit senja yang berwarna jingga, Putri Dyah Pitaloka berdiri di tepi tebing yang menghadap ke laut lepas Kerajaan Sunda. Angin laut yang lembut membelai rambutnya yang tergerai, seolah membawa bisikan dari masa depan yang tak pasti. Di hatinya, ada perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan. Beberapa hari sebelumnya, utusan dari Kemaharajaan Majapahit datang membawa kabar yang menggetarkan: Raja Hayam Wuruk, penguasa termasyhur dari kerajaan paling berkuasa di Nusantara, telah mengusulkan pernikahan dengannya.
ADVERTISEMENT
Dyah Pitaloka adalah putri dari Raja Linggabuana, penguasa Kerajaan Sunda yang merdeka dan dihormati. Kecantikannya yang mempesona dan pribadinya yang lembut telah lama menjadi buah bibir di seluruh penjuru tanah Pasundan. Namun, di balik parasnya yang anggun, tersimpan jiwa yang kuat dan penuh martabat, sebagaimana layaknya seorang putri kerajaan yang membawa kehormatan keluarga dan negerinya.
Ketika kabar tentang usulan pernikahan itu sampai ke istana Sunda, suasana di kerajaan pun berubah. Ada yang melihatnya sebagai kesempatan emas untuk mempererat hubungan dengan Majapahit yang perkasa, memastikan perdamaian dan kemakmuran bagi kedua kerajaan. Namun, ada pula yang merasa was-was, khawatir akan ambisi tersembunyi di balik usulan tersebut. Bagaimanapun, Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang haus akan kekuasaan, dan Mahapatihnya, Gajah Mada, terkenal dengan Sumpah Palapanya yang berambisi menyatukan seluruh Nusantara di bawah panji Majapahit.
ADVERTISEMENT
Dyah Pitaloka sendiri merasakan beban berat di pundaknya. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukan sekadar urusan pribadi, melainkan langkah politik yang akan menentukan nasib kerajaannya. Namun, di sudut hatinya yang paling dalam, ada secercah harapan bahwa mungkin, di tengah semua intrik politik ini, ia bisa menemukan kebahagiaan sejati bersama Raja Hayam Wuruk.
Perjalanan Menuju Majapahit
Beberapa minggu kemudian, rombongan besar dari Kerajaan Sunda berangkat menuju ibu kota Majapahit pada tahun 1357. Dipimpin oleh Raja Linggabuana sendiri, rombongan itu terdiri dari para bangsawan, pejabat tinggi, dan prajurit pilihan. Dyah Pitaloka, dengan gaun kebesaran yang indah, duduk di dalam kereta yang dihiasi bunga-bunga segar, melambangkan harapan akan persatuan yang bahagia.
Perjalanan menuju Majapahit penuh dengan pemandangan yang memukau, dari hutan-hutan lebat hingga persawahan yang menghijau. Namun, seiring mendekatnya rombongan ke tujuan, Dyah Pitaloka merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Ia mendengar bisik-bisik dari para dayang dan pengawal tentang rumor yang beredar: bahwa Mahapatih Gajah Mada memiliki rencana lain yang jauh dari sekadar pernikahan.
ADVERTISEMENT
Ketika akhirnya rombongan tiba di Pesanggrahan Bubat, sebuah tempat peristirahatan di utara Trowulan, Dyah Pitaloka merasa ada yang tidak beres. Tidak ada sambutan meriah yang ia harapkan untuk sebuah pernikahan kerajaan. Sebaliknya, suasana terasa dingin dan penuh kecurigaan. Para prajurit Majapahit berjaga dengan sikap yang tegang, seolah sedang bersiap untuk sesuatu yang lebih dari sekadar upacara pernikahan.
Malam itu, di tenda kerajaan, Dyah Pitaloka mendengar percakapan sengit antara ayahnya dan para penasihat. "Ini bukan sambutan yang layak untuk sebuah pernikahan," kata Raja Linggabuana dengan suara yang penuh kekecewaan. "Aku khawatir ada niat buruk di balik semua ini."
Dyah Pitaloka merasa hatinya teriris. Ia ingin percaya bahwa Hayam Wuruk, raja yang katanya bijaksana dan penuh kasih, akan menepati janjinya. Namun, keraguan mulai merayap di benaknya. Apakah ia hanyalah pion dalam permainan politik yang lebih besar?
ADVERTISEMENT
Konfrontasi di Bubat
Keesokan harinya, ketegangan mencapai puncaknya. Mahapatih Gajah Mada, dengan sikap yang angkuh dan penuh otoritas, datang ke Pesanggrahan Bubat. Di hadapan Raja Linggabuana dan seluruh rombongan Sunda, ia menyampaikan tuntutan yang mengejutkan: bahwa kedatangan Dyah Pitaloka harus dianggap sebagai tanda penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Pernikahan ini, kata Gajah Mada, bukanlah persatuan antara dua kerajaan yang setara, melainkan simbol ketundukan Sunda.
Raja Linggabuana bangkit dari singgasananya, wajahnya merah padam karena marah. "Ini penghinaan yang tak termaafkan!" teriaknya. "Kami datang ke sini dengan niat baik, untuk sebuah pernikahan yang terhormat, bukan untuk menyerahkan kedaulatan kami!"
Dyah Pitaloka, yang berdiri di samping ayahnya, merasakan dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Ia memandang ke arah Gajah Mada, berharap ada secercah belas kasih di mata sang Mahapatih, namun yang ia lihat hanyalah ambisi yang membara. Di saat itu, ia menyadari bahwa pernikahan yang ia impikan telah berubah menjadi jebakan maut.
ADVERTISEMENT
Ketegangan di Bubat semakin memanas. Pertukaran kata-kata kasar antara Gajah Mada dan para bangsawan Sunda berujung pada ultimatum: tunduk atau hadapi akibatnya. Raja Linggabuana, dengan keberanian yang tak tergoyahkan, memilih untuk mempertahankan kehormatan kerajaannya. "Lebih baik mati dengan martabat daripada hidup dalam kehinaan," katanya kepada para prajuritnya.
Tragedi Berdarah
Pertempuran pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah pasukan Sunda jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan Majapahit yang besar dan terlatih, mereka bertempur dengan gagah berani. Dyah Pitaloka, yang terlindung di dalam tenda, mendengar suara benturan senjata dan jeritan para prajurit. Setiap detik terasa seperti setahun baginya.
Dari celah tenda, ia melihat ayahnya, Raja Linggabuana, bertarung di garis depan, memimpin pasukannya dengan keberanian yang menginspirasi. Namun, pasukan Majapahit terlalu banyak. Satu per satu, para prajurit Sunda gugur, termasuk ayahnya yang tercinta.
ADVERTISEMENT
Ketika pertempuran mendekati akhir, Dyah Pitaloka tahu bahwa kekalahan tak terelakkan. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan di medan perang, termasuk mayat ayahnya yang terbaring tak bernyawa. Air matanya mengalir deras, namun di balik kesedihan itu, ada tekad yang kuat.
Ia tidak akan membiarkan dirinya ditawan dan dihina oleh Majapahit. Sebagai putri Sunda, ia memiliki kewajiban untuk menjaga kehormatan dirinya dan kerajaannya. Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil tusuk konde dari rambutnya, sebuah senjata kecil namun mematikan.
Di saat-saat terakhirnya, Dyah Pitaloka memandang ke langit, mengenang kenangan indah di kerajaannya, dan membayangkan wajah Hayam Wuruk, raja yang ia harapkan bisa menjadi pasangan hidupnya. "Maafkan aku, Ayah," bisiknya. "Aku harus melakukan ini untuk kehormatan kita."
ADVERTISEMENT
Dengan satu gerakan cepat, ia menusukkan tusuk konde itu ke jantungnya. Rasa sakit yang tajam segera digantikan oleh kedamaian yang aneh. Ia merasa jiwanya terlepas dari tubuhnya, melayang ke alam lain, jauh dari penderitaan dunia.
Penyesalan Hayam Wuruk
Di istana Majapahit, Raja Hayam Wuruk menerima kabar tentang tragedi di Bubat dengan hati yang hancur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa usulan pernikahannya akan berujung pada pertumpahan darah yang mengerikan. Ketika ia mendengar tentang kematian Dyah Pitaloka, air matanya tak terbendung.
"Dyah Pitaloka, cintaku," ratapnya. "Aku tidak pernah menginginkan ini. Aku hanya ingin bersatu denganmu dalam cinta dan kedamaian."
Hayam Wuruk merasa dikhianati oleh ambisi Gajah Mada. Ia menyadari bahwa Mahapatihnya telah melampaui batas, mengorbankan nyawa dan kehormatan demi memenuhi Sumpah Palapanya. Dalam kemarahannya, ia memutuskan untuk menyingkirkan Gajah Mada dari jabatannya, mengirimnya ke pengasingan di Madakaripura.
ADVERTISEMENT
Namun, keputusan itu tidak bisa menghapus rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam di hatinya. Setiap malam, ia bermimpi tentang Dyah Pitaloka, tentang senyumnya yang lembut dan mata yang penuh kasih. Ia tahu bahwa cintanya yang tragis akan selamanya menghantuinya.
Warisan Tragedi
Di Kerajaan Sunda, berita tentang Perang Bubat dan kematian Dyah Pitaloka menyebar seperti api. Rakyat Sunda berduka atas kehilangan putri mereka yang tercinta dan raja mereka yang gagah berani. Pengorbanan Dyah Pitaloka diabadikan dalam lagu-lagu dan cerita-cerita, menjadikannya simbol keberanian dan martabat.
Hubungan antara Sunda dan Majapahit pun retak tak terpulihkan. Dendam dan ketidakpercayaan mengakar kuat, menciptakan jurang yang sulit dijembatani. Bahkan, muncul larangan mitos terhadap pernikahan antara orang Sunda dan Jawa, sebagai pengingat akan tragedi yang pernah terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun, di tengah semua kepedihan itu, kisah cinta antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka tetap dikenang sebagai simbol dari betapa rapuhnya kebahagiaan di tengah ambisi politik yang tak terkendali. Pengorbanan Dyah Pitaloka menjadi pengingat abadi akan pentingnya kehormatan dan martabat, bahkan di saat-saat paling gelap sekalipun.
Penutup
Perang Bubat adalah tragedi yang mengguncang Nusantara, sebuah peristiwa yang menunjukkan bagaimana ambisi politik dapat menghancurkan harapan dan cinta. Dyah Pitaloka, dengan pengorbanannya, mengajarkan kita tentang kekuatan jiwa yang tak tergoyahkan dalam mempertahankan kehormatan. Kisahnya adalah pengingat bahwa di balik setiap peristiwa sejarah, ada cerita manusia yang penuh dengan emosi, dilema, dan pilihan sulit.
________
DISCLAIMER: Cerita fiksi ini adalah karya imajinatif yang terinspirasi oleh peristiwa sejarah Perang Bubat, sebuah konflik yang terjadi pada abad ke-14 antara Kemaharajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda. Meskipun berusaha untuk setia pada semangat dan konteks sejarah, cerita ini bukan catatan sejarah yang akurat, melainkan perpaduan antara fakta sejarah dan elemen fiksi yang diciptakan untuk tujuan hiburan dan untuk merangsang imajinasi pembaca.
ADVERTISEMENT