Konten dari Pengguna

Mengenal Quiet Quitting Mental: Tanda Kelelahan Emosional yang Sering Terabaikan

Tessa Anastasia Tanzil
Mahasiswi Universitas Bunda Mulia, Program Studi Ilmu Komunikasi
11 November 2024 17:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tessa Anastasia Tanzil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Fenomena 'quiet quitting' mental telah menjadi topik yang semakin relevan dalam diskursus kesehatan mental kontemporer, terutama dalam konteks dinamika kehidupan profesional modern. Berbeda dengan konsep 'quiet quitting' konvensional yang berfokus pada perilaku minimal dalam pekerjaan, 'quiet quitting' mental merepresentasikan suatu kondisi psikologis di mana individu mengalami penarikan diri secara emosional dan mental, meskipun secara fisik tetap menjalankan rutinitas sehari-hari. Fenomena ini mencerminkan suatu bentuk kelelahan emosional yang kompleks dan seringkali tidak terdeteksi oleh lingkungan sekitar. Para ahli psikologi okupasional mengidentifikasi bahwa 'quiet quitting' mental seringkali dimulai dengan perubahan subtle dalam respons emosional seseorang terhadap stimulus di lingkungan kerja. Dr. Sarah Henderson, seorang psikolog industri dan organisasi, menjelaskan bahwa kondisi ini ditandai dengan menurunnya kapasitas untuk meregulasi emosi dan berkurangnya resiliensi dalam menghadapi tekanan sehari-hari. Manifestasi awal dapat berupa kesulitan dalam mempertahankan fokus, penurunan motivasi intrinsik, dan berkurangnya kemampuan untuk merasakan kepuasan dari pencapaian profesional.
ADVERTISEMENT
Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Occupational Health Psychology mengungkapkan bahwa sekitar 45% profesional mengalami gejala 'quiet quitting' mental tanpa menyadarinya. Kondisi ini diperparah oleh stigma sosial dan ekspektasi profesional yang masih memandang kelelahan emosional sebagai tanda kelemahan. Dr. Michael Chen, peneliti utama studi tersebut, menekankan bahwa fenomena ini memiliki implikasi signifikan tidak hanya pada produktivitas individual, tetapi juga pada kesehatan mental jangka panjang. Tanda-tanda 'quiet quitting' mental dapat manifestasi dalam berbagai bentuk yang subtil. Indikator paling umum meliputi depersonalisasi dalam interaksi sosial, di mana individu mulai merasa terpisah dari realitas sosial mereka. Selain itu, terjadi peningkatan cynicism terhadap nilai-nilai organisasional dan professional detachment yang progresif. Para ahli juga mengidentifikasi adanya penurunan sustained attention span dan deteriorasi kualitas pengambilan keputusan sebagai manifestasi kognitif dari kondisi ini.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif neurobiologis, 'quiet quitting' mental berkaitan erat dengan disregulasi sistem stress response dalam otak, khususnya pada axis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA). Paparan kronik terhadap stressor psikososial dapat mengakibatkan perubahan dalam produksi kortisol dan neurotransmitter lainnya, yang pada gilirannya mempengaruhi fungsi kognitif dan regulasi emosi. Dr. Lisa Rodriguez, seorang neurosaintis behavioral, menjelaskan bahwa kondisi ini dapat mengakibatkan perubahan struktural dalam area otak yang bertanggung jawab untuk procesing emosi dan pengambilan keputusan. Dalam konteks intervensi dan penanganan, pendekatan holistik yang mengintegrasikan aspek psikologis, fisiologis, dan sosial menjadi sangat krusial. Para praktisi kesehatan mental merekomendasikan implementasi strategi preventif yang meliputi psychological boundary setting, emotional awareness training, dan pengembangan resiliensi mental. Dr. James Wilson, seorang psikoterapis okupasional, menekankan pentingnya menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental dan memfasilitasi dialog terbuka tentang kelelahan emosional.
ADVERTISEMENT
Organisasi dan institusi kerja juga memiliki peran vital dalam mengatasi fenomena ini. Implementasi kebijakan yang mendukung work-life integration, pengembangan program wellness yang komprehensif, dan penciptaan kultur organisasi yang mengedepankan psychological safety menjadi elemen kunci dalam prevensi 'quiet quitting' mental. Studi longitudinal menunjukkan bahwa organisasi yang mengadopsi pendekatan proaktif dalam mengelola kesehatan mental karyawan mengalami peningkatan signifikan dalam employee engagement dan organizational resilience. Kesadaran akan fenomena 'quiet quitting' mental dan implikasinya terhadap kesehatan individu dan produktivitas organisasi menjadi semakin crucial di era post-pandemic. Para ahli menekankan pentingnya mengenali tanda-tanda awal dan mengambil tindakan preventif sebelum kondisi berkembang menjadi burnout klinis. Dengan pemahaman yang lebih mendalam tentane fenomena ini, diharapkan individu dan organisasi dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam mengelola kesehatan mental di tempat kerja.
ADVERTISEMENT