Konten dari Pengguna

Sunat Perempuan di Indonesia: Tradisi yang Harus Ditinggalkan

Teuku Muhammad Arief
Nama: Teuku Muhammad Arief tempat/tanggal lahir: Jakarta/13 januari 2004 Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta
13 Januari 2025 11:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Arief tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bayi gadis tidur. source: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Bayi gadis tidur. source: pixabay
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang bayi perempuan, hanya berusia beberapa bulan, menghadapi ritual yang tidak dimengertinya. Dengan alat sederhana dan tanpa prosedur medis yang aman, hidupnya berubah untuk selamanya. Ini bukanlah adegan dari masa lalu, tetapi kenyataan yang masih terjadi di berbagai penjuru Indonesia hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Sunat perempuan, atau Female Genital Mutilation (FGM), adalah praktik yang telah lama menjadi momok bagi anak-anak perempuan. Meski pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 yang secara tegas menghapus praktik ini, tantangan besar masih menghadang. Data UNICEF yang mencengangkan menunjukkan bahwa 49% anak perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia telah mengalami FGM. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat keempat dunia, sebuah posisi yang mencerminkan kegagalan kita dalam melindungi hak-hak dasar anak perempuan.
Tradisi atau Pelanggaran Hak Asasi?
Mengapa praktik ini tetap bertahan? Jawabannya terletak pada akar budaya dan interpretasi agama yang keliru. Di banyak komunitas, sunat perempuan dianggap sebagai bagian dari tradisi atau kewajiban agama yang tidak bisa ditinggalkan dengan narasi "Anak perempuan harus wajib disunat, kalo tidak nanti anak perempuan tersebut tidak suci atau saat beranjak dewasa anak perempuan menjadi perempuan tidak benar". Namun, tidak ada satu pun dalil agama atau penelitian medis yang membuktikan manfaat praktik ini. Sebaliknya, dampaknya sangat merugikan, mulai dari risiko perdarahan, infeksi, hingga trauma psikologis yang menghantui sepanjang hidup.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, praktik ini sering kali dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tanpa alat steril atau pengawasan medis, prosedur ini membawa risiko kesehatan yang lebih besar. Anak perempuan yang menjadi korban tidak hanya kehilangan hak atas tubuhnya, tetapi juga menghadapi stigma sosial jika menolak tradisi tersebut.
Mengapa Kebijakan Saja Tidak Cukup
Meskipun pemerintah telah melarang FGM, implementasi kebijakan di lapangan jauh dari kata ideal. Pendekatan yang selama ini diterapkan cenderung bersifat top-down, tanpa mempertimbangkan konteks sosial budaya yang ada. Praktik ini sering kali dipertahankan oleh tokoh adat dan agama, yang justru memiliki pengaruh besar dalam masyarakat lokal.
Penegakan hukum juga menjadi tantangan besar. Kurangnya pengawasan dan sanksi yang tegas membuat banyak pelaku merasa bebas melanjutkan tradisi ini. Pemerintah membutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk mengatasi masalah ini, termasuk melibatkan komunitas lokal sebagai bagian dari solusi.
ADVERTISEMENT
Melibatkan Masyarakat untuk Perubahan
Untuk menghentikan praktik ini, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif. Berikut adalah beberapa langkah strategis yang bisa diambil:
1. Dialog dengan Pemuka Agama dan Tokoh Adat:
Mengubah pandangan masyarakat tentang FGM tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan tokoh-tokoh kunci di komunitas. Dialog konstruktif yang menghormati budaya lokal, namun tetap menegaskan bahaya praktik ini, harus menjadi prioritas.
2. Edukasi Generasi Muda:
Generasi muda adalah agen perubahan yang paling potensial. Dengan memberikan pemahaman tentang hak anak dan kesehatan reproduksi di sekolah, kita dapat menanamkan kesadaran akan pentingnya mengakhiri FGM sejak dini.
3. Penguatan Penegakan Hukum:
Pemerintah harus memperkuat regulasi dengan sanksi yang tegas dan konsisten terhadap pelaku FGM. Selain itu, pelaporan kasus harus dibuat lebih mudah diakses oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
4. Kampanye Publik yang Kreatif:
Kampanye menggunakan media sosial, film pendek, dan cerita rakyat modern dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan menyampaikan pesan dengan cara yang lebih berkesan.
5. Kerja Sama dengan Organisasi Internasional:
Indonesia dapat belajar dari negara-negara yang telah berhasil menghapus FGM. Kerja sama dengan organisasi seperti WHO dan UNICEF dapat membantu memperkuat program-program edukasi dan advokasi di lapangan.
Masa Depan Tanpa Sunat Perempuan
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan bahwa 51,2% anak perempuan di Indonesia telah mengalami sunat perempuan. Ini bukan hanya angka, tetapi cerita-cerita memilukan tentang pelanggaran hak dan trauma yang diderita anak-anak kita. Sudah saatnya kita mengambil langkah tegas untuk mengakhiri praktik ini.
Sunat perempuan bukanlah tradisi yang layak dipertahankan. Kita harus menyadari bahwa menghormati budaya tidak berarti membiarkan pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi. Dengan langkah-langkah konkret dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak perempuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mari kita bersama-sama melindungi mereka. Masa depan bangsa ada di tangan mereka, dan tanggung jawab kita adalah memastikan mereka tumbuh dengan sehat, aman, dan bermartabat.
Statement terakhir saya bisa sampaikan ialah "Stop di kamu,Stop di aku, dan Stop sunat perempuan"