Aceh, Kemiskinan dan Perantau

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
Konten dari Pengguna
4 Mei 2022 16:32 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Sebagai suatu entitas dan budaya bangsa Aceh yang tergolong dalam rumpun masyarakat Melayu pada zaman dahulu sudah dikenal dunia dengan aktivitas merantaunya. Tradisi merantau ini dianggap sebagai motivasi dalam membina kehidupan dan menentukan masa depan individu yang secara holistik bermuara pada arah kemajuan suatu bangsa. Istilah merantau ini sendiri dimaknai sebagai aktivitas berpindah dari tempat asal ke negeri lain untuk mencari kehidupan.
ADVERTISEMENT
Aktivitas merantau telah mengubah dan meningkatkan citra, status serta taraf sosial masyarakat Aceh sejak silam, dengan adanya masyarakat Aceh di perantauan maka dapat membuka relasi sosial seluas-luasnya. Begitupun dari pandangan terhadap masyarakat Aceh yang dikenal dengan semangat merantau yang relatif tinggi, hal ini dicirikan dengan daerah-daerah tertentu yang terdapat di Provinsi Aceh yang dikenal akan semangatnya dalam merantau.
Misalnya masyarakat Pidie yang memiliki julukan “China Hitam”. Konotasi penyebutan istilah tersebut bukanlah semata-mata berbentuk diskredit kepada suatu masyarakat, namun bila ditinjau dari segi pemaknaannya lebih kepada semangat Bangsa China dalam mengais rezeki di negeri rantau.
Jika dilihat dari faktor motivasi yang mempengaruhi seseorang dalam merantau tentu dikarenakan faktor ekonomi dan kesejahteraan di samping terdapat faktor lainnya. Apakah faktor ini semata-mata adalah akibat dari minimnya lapangan kerja yang tersedia di Aceh?. Ataukah SDM Aceh yang belum siap dalam menghadapi fase gelombang Masyarakat Ekonomi Asean yang telah berjalan sampai saat ini. Tentu saja jawabannya bisa iya dan bisa jadi tidak, tergantung dari sudut mana perspektif ini diambil.
ADVERTISEMENT
Persoalan lapangan kerja di Aceh sebenarnya bukan hal yang tabu untuk dibahas dan dimunculkan realitasnya, apalagi dengan situasi yang masih dilanda pandemi covid-19 ini masih menggoyahkan sektor industri maupun ekonomi riil lainnya. Pada saat ini mungkin ahli ekonomi, pemerintah, serta stakeholder lainnya masih berupaya dalam merumuskan resolusi terhadap isu-isu lapangan kerja dalam forum ilmiah maupun loka karya.
Namun sampai saat ini perubahan dalam konteks pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya belum dirasakan oleh masyarakat Aceh sendiri, dana otonomi khusus yang digelontorkan untuk provinsi yang bergelar tanah rencong ini menjadi titik nadir harapan dalam merangsang perekonomian dan membuka lapangan pekerjaan baru.
Masalah kemiskinan yang masih menghantui Aceh saat ini, ketergantungan terhadap lapangan kerja yang notabenenya seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi zona nyaman. Seharusnya Aceh telah menyiapkan generasi unggul yang terampil bekerja sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
ADVERTISEMENT
Misalnya industri kreatif, digital dan sebagainya menjadi tumpuan harapan baru dalam menggenjot sektor perekonomian Aceh. Namun di balik itu semua kita tak boleh menyerah atau berputus asa dalam membangun negeri ini, pemenuhan akan sumber daya manusia haruslah digalakkan.
Perputaran uang dari ketergantungan kecenderungan pekerjaan yang notabenenya seperti ASN dan PNS tidak lebih bisa diharapkan untuk menyentuh sektor ekonomi menengah ke bawah secara sporadis, dikarenakan asumsi bila mayoritas PNS dan ASN mengambil kredit di perbankan demi keperluan sekunder dan lainnya. Dengan perputaran uang yang semacam ini tentu akan membuat ekonomi lesu pada tingkat bawah karena aktivitas belanja belum mampu memutar gerigi ekonomi masyarakat.
Selain itu, dari ketersediaan lapangan kerja sektor industri, perusahaan-perusahaan di Aceh cenderung menggunakan tenaga pekerja dari luar Aceh. Hal ini disebabkan tenaga kerja dari daerah sendiri tidak sesuai dengan kebutuhan perusahaan tersebut, dari sisi sertifikasi dan skill yang tidak koheren tentu akan mengakibatkan kualifikasi skill yang tersedia tidak mampu untuk menembus persyaratan perusahaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Penyelesaian terhadap permasalahan ini tentunya dapat diatasi dengan mengembangkan pusat pembangunan karier atau kemampuan individu yang dapat mempertemukan demand and supply dunia kerja, dengan ini maka kompetensi angkatan kerja masyarakat Aceh akan naik kelas.
Umumnya konsep merantau hanyalah untuk menyelesaikan persoalan mengejar ketertinggalan status sosial ekonomi yang lebih baik. Selain karena alternatif pekerjaan belum signifikan yang membuat masyarakat yang tergolong dalam kelas pengangguran tentu akan memilih untuk merantau dan mencari sumber mata pencaharian baru di negeri orang, hal ini ditandai dengan masih banyaknya pola pikir masyarakat Aceh yang menganggap bahwasanya seorang perantau itu akan lebih percaya bahwa kesejahteraan akan lebih berpotensi apabila mereka merantau.
Dalam konteks realitasnya, masyarakat Aceh yang kental akan budaya merantaunya lebih sering diasosiasikan dengan berdagang, tentu dalam berdagang membutuhkan skill negosiasi yang mumpuni agar dapat bertahan dengan segala tipu daya yang ada dalam dunia perdagangan dan berfungsi juga untuk menarik minat serta merebut hati orang lain dalam membeli barang dagangannya. Semangat berdagang memang telah melekat kepada masyarakat Aceh yang memang sangat ulet dalam berniaga.
ADVERTISEMENT
Perantauan menghadirkan solusi baru bagi perekonomian Aceh di masa yang akan datang, layaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja diluar negeri dan menjadi penopang negara dalam menyumbang devisa untuk negara. Begitupun dengan perantau lokal antar pulau atau antar darah yang mana mereka mendapatkan uang yang akan mereka bawa pulang ke daerah asalnya.
Dengan ini perputaran uang di daerah tersebut akan meningkat dan dapat membawa multiplier effect bagi kelangsungan ekonomi suatu daerah. Dengan pendapatan masyarakat yang meningkat masyarakat juga akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Perantau menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat yang ingin mengubah nasibnya yang tertinggal, mereka akan menyadari bahwa sulitnya mencari rezeki dan beradaptasi di negeri orang, mereka akan survive dan struggle dalam memperjuangkan nasib keluarganya. Inilah sebabnya juga motivasi orang merantau ialah untuk mencari suasana dan bertarung membuktikan bahwa dirinya mampu membawa perubahan kecil kepada keluarganya dan demi memperjuangkan marwah daerahnya, perantau akan menjadi katalisator pembangunan ekonomi daerah.
ADVERTISEMENT
Semangat merantau tentunya harus dipupuk sejak dini dalam konteks etos bekerja dan memperluas jaringan atau relasi sosial, dengan hadirnya masyarakat Aceh di luar, apalagi dengan terbentuknya paguyuban serta kelompok dagang akan membawa masyarakat Aceh lebih terberdayakan, mereka akan dapat menggabungkan kekuatan dalam menggarap potensi-potensi ekonomi yang ada di luar daerah tepatnya pada daerah perantuan, dengan tekad yang solid maka akan mengumpulkan kekuatan untuk memberdayakan sesama.
Sebagai penutup tentunya terdapat alasan tersendiri bagi masing-masing perantau, bukan hanya soal ekonomi namun lebih dari itu untuk membangun suatu tatanan sosial yang berkemajuan, Kedai runcit atau Kampung Aceh yang ada di Malaysia membuktikan bahwa orang Aceh memiliki etos kerja yang baik serta kemampuan berguyub yang andal.
ADVERTISEMENT
Merajut asa di perantauan membuat masyarakat Aceh akan lebih mandiri dalam menentukan nasib ekonominya. Konsep membangun daerah dari luar daerah ini telah membuktikan dapat mendongrak ekonomi keluarga yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan keyakinan dalam merantau akan menghantarkan masyarakat Aceh kepada nasib daerah yang lebih baik demi menyelamatkan generasi selanjutnya dari jebakan pengangguran dan kemiskinan.
Penulis merupakan mahasiswa FEB Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.