Ekonomi Aceh: Dari Waroeng Kupi Sampai Deng Xiaoping

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
Konten dari Pengguna
11 November 2022 21:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Patung Deng Xiaoping, Sumber: Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Patung Deng Xiaoping, Sumber: Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Selain memiliki julukan negeri Serambi Mekkah, Aceh dikenal juga dengan negeri seribu waroeng kupi (warung kopi). Keberadaan warung kopi tak hanya menjadi tempat bersilaturahmi dan menikmati suguhan kopi atau minuman belaka. Warung kopi juga menjadi episentrum pertukaran informasi dikarenakan terjadinya pertemuan-pertemuan mulai dari organisasi, bisnis sampai dengan konsolidasi politik praktis. Hampir setiap orang pernah mengunjunginya dengan tujuan-tujuan tertentu, karena memang warung kopi sudah menjadi bagian integral dari aktivitas sosial masyarakat, bukan hanya di daerah perkotaan, bahkan di pelosok desa pun terdapat warung kopi yang digunakan masyarakat untuk sekadar nongkrong sampai dengan nonton bola.
ADVERTISEMENT
Di tengah transisi zaman tradisi meminum kopi di Aceh, budaya menyesap kopi sudah turun temurun hingga ke generasi Z saat ini. Telah berjamurnya warung kopi di Aceh menandakan adanya suatu prospek dan berdenyutnya perekonomian yang memberikan multiplier effect bagi perekonomian daerah. Sebagai salah satu sektor pengembangan ekonomi yang tergolong dalam sektor pariwisata dan kuliner diharapkan dapat menarik minat pengunjung baik wisatawan domestik dan internasional.
Warung kopi agaknya tak elok jika diidentikkan dengan tempat bermalas-malasan atau membuang waktu, jika warung kopi digunakan oleh masyarakat hanya untuk menunggu absensi dinas, atau bahkan tempat pelarian para pengangguran terselubung. Lebih dari itu, warung kopi mesti berevolusi dengan menjadikan warung kopi sebagai ruang tukar-menukar gagasan, membicarakan wacana pembangunan sampai dengan bicara bisnis.
ADVERTISEMENT

Revolusi Warung Kopi dan Reformasi Pembangunan Daerah

Untuk menggerakan perekonomian rakyat, tentu kita tidak menafikkan keberadaan usaha-usaha kecil yang dikenal dengan UMKM. Peralihan fokus dan orientasi suatu dearah tidak melulu mengeksploitasi SDA yang tidak terbarukan, ada banyak sektor yang dapat digerakkan untuk menunjang dan menggairahkan perekonomian masyarakat salah satunya ialah sektor pariwisata. Warung kopi secara tidak langsung menjadi icon Aceh untuk menggait wisatawan dengan mengenalkan kopinya yang khas.
Suatu daerah, tidak cukup jika hanya mengandalkan eksploitasi terhadap SDA tak terbarukan, misalnya dengan mengharapkan pada cadangan minyak bumi, gas alam, batu bara, dan sebagainya. Orientasi pembangunan daerah mesti diwujudkan adil sejak dalam pikiran, resolusi iklim yang hanya sebatas komitmen di kertas dengan embel-embel konvensi internasional, tidak cukup sampai titik itu saja. Bahkan negara sekelas Arab Saudi sekalipun telah mengubah orientasi dan pandangannya terhadap eksplorasi minyak mereka yang cukup besar. Arab Saudi akan merevolusi tumpuan perekonomian mereka kepada sektor jasa dan pariwisata.
ADVERTISEMENT
Oleh, karena itu revolusi dimulai dari warung kopi, di mana pemuda-pemuda yang dahulu menghabiskan waktunya di warung kopi hanya untuk bermain game saja, dan setiap orang yang duduk di warung kopi hanya untuk menghabiskan waktunya ke aspek non-produktif belaka. Revolusi dimulai dari warung kopi, di mana ide-ide besar dibicarakan, pertemuan-pertemuan digelar dan hal lainnya yang dapat meningkatkan produktifitas masyarakat. Revolusi dimulai dari warung kopi, ketika Pejabat dan PNS tidak menjadikan warung kopi sebagai tempat singgah menunggu jam dinas selesai lalu kembali ke kantor untuk mendapat presensi kehadiran.

Realitas Perekonomian Aceh

Secara realitas, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mendeskripsikan kemiskinan Aceh selama bulan maret sampai dengan september 2021 meningkat sebanyak lebih 16 ribu orang, atau sebesar 15,33% menjadi 15,53%. Dan survei selanjutnya BPS Aceh mencatat per maret 2022 angka kemiskinan Aceh berkurang sebanyak 43,4 ribu orang hingga mendarat di angkat 14,64%. Hal ini masih tetap mempertahankan Aceh sebagai Provinsi termiskin se-Sumatera jika dikomparasikan dengan Bengkulu 14,62%, Sumatera Selatan 11,90%, dan Lampung 11,57%.
ADVERTISEMENT
Aceh masih saja menjadi bahan perbincangan karena permasalahan kemiskinan. Triliunan kucuran dana otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh daerah lain kecuali Yogyakarta dan Papua, ditambah dengan ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, belum mampu menghantarkan rakyatnya hidup sejahtera dengan minimalisasi ketimpangan ekonomi dan sosial. Kompleksitas problematika yang hadir menjadi lingkaran setan yang nyaris sulit untuk mengevakuasi daerah ini dari ketertinggalan.
Alokasi anggaran yang cukup besar yang merupakan kompensasi konflik yang pernah berkecamuk di Aceh ternyata tidak mampu dikelola dengan baik. Sejak dianggarkan pertama kali pada tahun 2008 sampai dengan 2022 berkisar pada angka 95,93 Triliun. Jumlah tersebut sangat fantastis untuk meramu dan membangun Aceh dari sektor perekonomian. Pendistribusian yang bertengger di lingkaran elit menjadi sebab ketimpangan dan kemiskinan yang masih berada pada zona permasalahan. Mulai dari aliran dana hibah 650 Miliar untuk eks kombatan GAM yang disinyalir tidak tepat sasaran, kasus korupsi beasiswa senilai 22,3 Miliar, hingga penggunaan dana Anggarapan Pengeluaran dan Belanja Aceh (APBA) yang mengalir ke instansi vertikal.
ADVERTISEMENT
Membicarakan kemiskinan berarti membicarakan pertumbuhan ekonomi, kedua hal ini merupakan kausalitas yang sangat berkaitan. Berkaca dari kondisi ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang dahulu bahkan lebih miskin daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyebabnya dikarenakan ketertinggalan infrastruktur dan konsekuensi perang. Namun dengan dorongan pemimpin yang visioner Deng Xiaoping, ia mampu menggagas dan mereformasikan ekonomi negaranya hingga bangkit hingga menjadi negara yang memiliki ekonomi yang cukup kuat saat ini hingga menyemat julukan naga asia.
Signifikansi pertumbuhan ekonomi yang mampu menandingi Amerika Serikat diawali dengan gagasan besar mentransformasikan ideologi dan doktrin tua di negaranya. Langkah besar ini jika dapat digambarkan seperti bid’ah hasanah terhadap sesuatu yang ideologi yang telah mengkristal dan mendarah daging, merupakan tekad untuk membangkitkan perekonomian rakyat meskipun harus berbenturan dengan ideologi sekalipun.
ADVERTISEMENT

Belajar dari Deng Xiaoping

Pada tahun 1978, RRT di bawah kekuasaan Deng Xiaoping menghapus sistem sentralisme dalam sistem ekonomi negaranya. Deng menerapkan multi sistem dalam sebuah negara yaitu menjalankan langkah-langkah ekonomi pasar bebas dengan iringan tetap berpegang teguh pada komunisme dakan sistem politik. Deng menetapkan poros inti kegiatan ekonomi berupa sektor pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan poros selanjutnya ialah tetap memegang teguh ajaran komunisme dan pelaksanaan ekonomi inklusif yang terbuka terhadap dunia luar.
Selain itu, Deng Xiaoping juga mengamandemen konstitusi dan memasukkan unsur pengusaha dan swasta sebagai komponen utama dalam perekonomian negara. Hal ini menandakan upaya sinergitas antara pemerintah dan swasta dalam membangun negara, Deng yakin bahwasanya peran swasta juga sangat dibutuhkan dalam menumbuhkan sektor UKM maupun UMKM. Deng juga tak ragu-ragu untuk memberikan tanah negara untuk digarap secara mandiri oleh petani dan liberalisasi harga komoditas pertanian.
ADVERTISEMENT
Deng benar-benar memberlakukan kebijakan yang disebut dengan Gaige Kaifang yang memiliki arti reformasi dan keterbukaan terhadap pihak asing. Hal inilah yang menjadi pemantik arus investasi di RRT melejit yang mana dapat mendongkrak perekonomian RRT sampai saat ini, salah satu implementasinya ialah dengan pembangunan pusat-pusat ekonomi seperti membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang ditandai dengan berdirinya KEK Shenzen. Gaige Kafang benar-benar jurus yang ampuh, RRT telah membuka diri kepada dunia sampai saat ini dan mereformasi secara gradual.
Keterpurukan pasca Mao Zedong berkuasa secara nyata dibenahi oleh Deng Xiaoping. Kebijakan keterbukaan ini memudahkan RRT untuk berhubungan dan menjalin kerjasama luar negeri. Hal ini juga mendorong terjadinya transfer knowladge yang mendorong kemajuan peradaban negara. Deng patut diapresisasi karena telah mengambil kebijakan progresif untuk rakyatnya. RRT yang dulu tersandera oleh kungkungan kultural dan ideologi.
ADVERTISEMENT

Gaige Kaifang Untuk Aceh

Fenomena batalnya investasi asing Uni Emirat Arab pada sektor pariwisata di Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil mengingatkan kita bahwasanya pembangunan perekonomian Aceh perlu meniru Deng Xiaoping dalam membangun negaranya. Resolusi ekonomi di Aceh harus dibangun untuk kesejahteraan rakyat, dengan menghadirkan investor-investor asing untuk menanamkan modalnya di Aceh. Lesunya investasi ini juga disinyalir karena keraguan terhadap keamanan dan kenyaman investor untuk berinvetasi. Gaige Kaifang harus dipahami secara holistik, bukan hanya soal keterbukaan, namun juga urusan reformasi birokrasi dan kamanan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin kelancaran investasi di Aceh.
Kita perlu belajar banyak dari RRT atas jasa Deng Xiaoping, dimana Tiongkok yang dulu bukanlah yang sekarang, cita-cita terbesar ialah mensejahterakan rakyat, Tiongkok yang sekarang bukanlah yang melulu bicara ideologi dan revolusi, melainkan Tiongkok yang bergerak untuk memakmurkan rakyatnya. Pembukaan keran investasi secara progresif mesti dilakukan oleh Pemerintah Aceh.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah pemerintah Aceh memiliki visi layaknya Deng?. Segala seremonial dan prosedural dapat difleksibelkan, Tiongkok yang dulu terkurung dalam ideologi komunal, sama seperti pemangku dan elit Aceh mengupayakan pembangunan yang selalu saja terjebak akan isu-isu seremonial layaknya bendera, lambang dan sebagainya. Belum lagi soal APBA yang dijadikan instrumen Weuk Tumpok (bagi-bagi jatah) oleh segelintir Elit. Pemangku jabatan atau elit politik yang sibuk dengan urusan simbol menandakan kemunduran dalam berpikir dalam menyejahterakan rakyat Aceh.
Deng adalah sosok ideal dan simbol pembangunan menuju kesejahteraan rakyat, tak heran ketika Deng berpendapat sosialisme ala Tiongkok bukanlah sama rata sama rasa, apalagi membiarkan rakyatnya menderita kelaparan bersama, namun daripada itu rakyat harus kaya satu persatu, dan yang kaya wajib menolong rakyatnya yang masih berada dalam zona kemiskinan. Oleh karena itu Deng menyatakan “Tidak masalah kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”.
ADVERTISEMENT