Ketua BEM Karbitan dan Warisan

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
Konten dari Pengguna
20 Januari 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Tak heran lagi, terdapat banyak sekali dinamika dalam konteks pemilihan raya pada universitas yang ada, namun dalam hal ini tidak semuanya diiringi oleh track record yang mumpuni. Meskipun hal ini tidak menjadi indikator utama dalam menentukan sebagus apa kualitas calon ketua BEM dalam memimpin nantinya.
ADVERTISEMENT
Dari katanya saja memang sedikit aneh, “karbit”. Ya karbit!, istilah ini biasanya digunakan untuk mempercepat penuaan atau matangnya buah.
Dan yang pasti kematangan serta rasa manis buah dengan katalis karbit tidaklah sama dengan buah yang masak di pohonnya. Demikian juga untuk ketua BEM tak menutup kemungkinan dihasilkan dengan cara karbitan pula.
Istilah ini adalah istilah yang saya temukan sendiri dan mungkin saya rasakan sendiri di lingkungan kampus. Ya, menjadi “ketua BEM karbitan”. Orang yang belum siap untuk maju tapi dipaksa untuk maju, orang yang belum waktunya untuk mengudara tapi di lemparkan dari sebuah tebing yang curam dan mau tidak mau harus mengepakkan sayapnya dan orang yang tidak tahu caranya berenang tapi ia dilemparkan ke laut yang memiliki ombak yang sangat ganas yang bisa saja membunuhnya. Tapi begitulah, semua terasa begitu kebetulan dan secara tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Ketua BEM karbitan juga menjadi istilah bagi mereka yang mencalonkan diri tapi tidak memiliki esensi apapun, diperalat untuk mencapai hasrat seniornya, dan dijadikan alternatif pilihan bahkan sebagai boneka bahkan tak lebih dari sekadar dunia perwayangan, tidak dapat dielakkan memang karena ketua BEM karbitan lahir dengan cara yang tidak wajar.
Parahnya lagi, ketua BEM karbitan lahir dengan jalur kecelakaan atas peristiwa dinamika kampus, yang awalnya tidak tahu-menahu tentang pencalonan, namun di pertengahan jalan dipaksa untuk maju hanya karena anggapan mereka calon sebelumnya tidak layak atau tidak memenuhi kualifikasi standar bagi mereka.
Tidak mengapa jika yang dinaikkan memiliki modal politik yang mumpuni, tetapi yang dinaikkan malah yang tidak mempunyai standar akademik maupun organisasi yang tinggi. Alhasil ketua BEM yang diproduksi ibarat monyet yang dimake-up diumumkan sebagai public figure, kambing dikostumi dilantik menjadi idola, itulah potret kampus yang proses demokrasinya mencerminkan demokrasi-demokrasian.
ADVERTISEMENT
Perilaku yang sering tampak pada ketua BEM Karbitan adalah ketidak mampuannya dalam memimpin, pemimpin yang malas (anak buah seperti robot yang dapat diperintah sesukanya), gangguan psikologis pemimpin (terlalu suka pujian dan lemah berfikir), pemimpin yang tidak bisa menghadapi kenyataan, berfikir satu jalur serta berjalan sendiri dengan kesombongan yang besar.
Ketua BEM Warisan
Kita semua pernah mendengar istilah warisan yang acap digunakan dalam hal harta dan pusaka daripada leluhur, frasa ini juga dapat digunakan terhadap kekuasaan yang sedemikian rupa menjadi dinasti politik. Semua orang berlomba-lomba untuk memenangkan sebuah kontestasi politik kampus demi mencapai kepentingan bersama, atau bahkan mencapai kepentingan golongan.
Terlepas daripada kepentingan, koalisi-koalisi pun memerlukan kepentingannya agar tercapai, namun tetap dalam koridor etika politik, namun apa jadinya ketika seorang penguasa dengan lantang mementingkan dirinya sendiri untuk menunjuk seseorang dalam melanjutkan estafet kepemimpinannya?. Hal semacam ini akan mengejawantahkan ide-ide monarki absolut di tengah kehidupan demokrasi modern saat ini.
ADVERTISEMENT
Realitas itu yang acap terjadi di kampus, iklim demokrasi kampus menjadi tidak sehat seiring ketua BEM yang tanpa kapasitas muncul ke permukaan dan menjadi ketua BEM terpilih, keterpilihannya menjadi tanda tanya akan seberapa besar ia mampu memberikan pengaruh dan memastikan keputusan-keputusan yang akan diciptakan ke depannya, tentu hal itu tidak akan terlepas dari intervensi pendahulu ataupun seniornya.
Dalam teori sosial terkait kepemimpinan, seorang pemimpin tidak terlahir begitu saja, calon pemimpin harus disiapkan(dikader), dididik, dibentuk, dan ditempa. Hal ini menjadi antitesis bagi pemimpin yang karbitan, karena sejatinya pemimpin yang karbitan cenderung dapat diukur kemampuan kepemimpinannya dengan mudah, tetapi ukuran tersebut tidak lebih dari di atas rata-rata.
Menjadi suatu langkah yang sangat mudah bagi calon ketua BEM yang mendapatkan mandat warisan, karena tak harus melakukan banyak hal untuk dirinya yang akan memimpin, hampir semuanya telah dilakukan pendahulunya, ibarat kata hanya tinggal menuai hasil. Praktik semacam ini menjadikan seorang nahkoda kapal yang tak lahir di tengah kuatnya ombak di tengah samudera.
ADVERTISEMENT
Rantai warisan tampaknya akan bermuara pada istilah yang dipopulerkan Lord Acton “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, di mana warisan akan turun temurun dan ini akan semakin mudah untuk menciptakan semacam dinasti politik kampus, yang akan menjadikan golongan mereka yang berkuasa akan mengerti sendi dan celah kekuasaan, dan ini akan tampak kepada perilaku “korup”.
Makna korup di sini tidak hanya mengacu pada konteks uang, lebih daripada itu, tindakan korup memuat konteks kebijakan, seseorang yang berkuasa akan bisa melakukan apa saja untuk memuluskan kepentingan golongan dan kaumnya, mereka dapat memanfaatkan kebijakan untuk melancarkan kepentingannya. Persoalan ini menjadi krisis integritas dan moral yang akan membawa seseorang ke jurang idealisme yang digadaikan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, menjadi ketua BEM karbitan dan warisan menjadi komplikasi penyakit demokrasi kampus yang akut, arah kepemimpinannya tidak akan membawa dampak yang berarti. Dari hilirnya saja telah tercipta iklim demokrasi yang tidak sehat, dampaknya ialah mahasiswa dan masyarakat yang akan dikorbankan, karena tak mampu membawa pengaruh yang esensial dan hadir di tengah-tengah hiruk pikuk persoalan mahasiswa.
Penulis merupakan mantan Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Syiah Kuala 2020.