Literasi Digital, Gen-Z, dan Era Post-truth

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2022 10:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Literasi Digital, Sumber foto: Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Literasi Digital, Sumber foto: Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Literasi digital menjadi suatu kebutuhan masa kini, di tengah tsunami informasi yang bertaburan, lebih lagi informasi palsu atau yang kita kenal dengan istilah hoaks menjadi malapetaka bagi publik. Hal ini tentu menjadi urgensi bagi masyarakat dan erat kaitannya dengan harapan Indonesia menjadi negara emas di tahun 2045 nantinya, tentu untuk menyongsong itu semua kita semestinya beradaptasi dengan tuntutan global, penguatan kapasitas literasi digital dapat menopang negara dalam menangkal disinformasi yang beredar. Dengan ini maka publik akan lebih mudah dalam menerima informasi yang belum jelas kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang disurvei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) kurang lebih 77 persen masyarakat Indonesia telah menggunakan fasilitas internet. Jika dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya, masyarakat Indonesia hanya berkisar di angka 24 persen dari jumlah penduduk saat itu. Artinya pertumbuhan pengguna internet di Indonesia hanya membutuhkan waktu yang singkat dalam mencapai angka saat ini.
Kondisi saat ini mungkin dapat secara signifikan menggambarkan masa depan di mana arus informasi yang beredar akan lebih masif, disinformasi ini dapat dijumpai dalam segala lini sektor kehidupan mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Pertumbuhan pengguna internet ini tentu harus diiringi juga dengan penguatan literasi digital agar masyarakat lebih bijak dalam mengakses teknologi khususnya internet.
ADVERTISEMENT
Mengutip Devri Suherdi dalam bukunya yang bertajuk Peran Literasi Digital di Masa Pandemi bahwa literasi digital ini sendiri merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain-lain. Dunia maya merupakan ruang eksplorasi tanpa batas yang ditandai dengan luasnya akses bagi seseorang untuk mencari dan menemui apa saja di dalamnya, tentu aspek komunikasi dan informasi sangat erat dalam aktivitas keseharian, kemampuan untuk mengakses informasi dan berinteraksi dengan bijak untuk menciptakan hal-hal positif.
Informasi tentang dunia politik memang tak pernah terlepaskan dalam kehidupan sehari-hari, di era disrupsi ledakan informasi pun berembus lebih masif ke publik, dinamika politik lokal sampai nasional yang dapat menggoyahkan idealisme dan pemikiran publik dapat dengan mudah menginfiltrasi, hal ini tak ayal dapat mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan sosial dan berinteraksi satu sama lain. Di sisi lain hal ini dapat memunculkan polarisasi antara kelompok-kelompok civil society bila tidak dapat saling menghargai perbedaan pandangan politik dan pilihan kandidat, lagi-lagi literasi menjadi benteng utama dalam mengarungi dunia politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Fenomena pemilu 2019 agaknya relevan menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia, di mana banjirnya ruang demokrasi yang dipenuhi informasi hoaks, penganuliran fakta sampai dengan kampanye hitam terjadi begitu saja. Masifnya gelombang disinformasi ini diiringi oleh faktor politik yang saat itu bipolar dan mengakibatkan masyarakat kesulitan dalam mencari informasi yang valid. Selain itu pola pikir biner juga turut berkembang dalam perhelatan pesta demokrasi silam, konstruksi narasi in group dan out group juga turut terjadi. Akibatnya rivalitas di akar rumput terus mengkristal di antara dua kutub tersebut, masing-masing pihak mengklaim dirinya berada di sisi yang benar.
Realitas politik era post-truth kini timbul ditandai dengan matinya nalar dan objektivitas, kebenaran yang dimaknai dengan dasar konsensus belum tentu dapat menjadi kebenaran yang hakiki. Demokrasi formal prosedural sebagai titik awal melahirkan politik identitas yang sangat kental, sentimen terhadap etnis dan agama sangat kontras dipertontonkan, dan ini tentu akan berpotensi menggoyahkan stabilitas keamanan dan politik negara.
ADVERTISEMENT
Keberadaan masyarakat yang terpolarisasi menjadi konsekuensi dari pada politisasi SARA yang tidak menutup kemungkinan akan lahirnya konflik horizontal antar blok pendukung koalisi. Hal tersebut tercermin dalam pemilu 2019 yang sangat terasa akibat dari politik identitas itu sendiri, misalnya keretakan antar masyarakat dengan saling tuding sebutan kafir sampai dengan rumah tangga yang bergejolak karena berbeda pilihan antar keluarga.
Sebagai suatu sumber daya kekuatan negara terdapat sebuah generasi muda atau kerap disebut dengan gen-z, di mana pada saat ini generasi tersebut mulai berada pada usia produktif dan tak ayal jika disebut sebagai pemuda, gerakan pemuda yang menjadi penopang stabilitas dan kemajuan bangsa hendaknya menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas keamanan dan politik nasional, kaum muda merupakan suatu keniscayaan dalam agenda pembangunan negara. Kekuatan kaum muda jika dengan optimal terberdayakan maka pembangunan akan terkatalisasi ke arah yang berkemajuan, maka tak heran jika Soekarno sang proklamator kemerdekaan Indonesia mengatakan “berikan aku sepuluh orang tua, maka akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda maka akan kugoncang dunia”.
ADVERTISEMENT
Literasi digital bagi gen-z amatlah penting, artikulasi agenda pembangunan yang mungkin menjadi terputus atau terhambat maka kaum muda lah yang mendobrak kebiasaan lama tersebut, pemikiran pemuda sangat melekat dengan surplusnya inovasi dan langkah visioner. Namun itu semua akan sangat berarti jika literasi digital dapat dipahami oleh kaum muda. Literasi digital dapat dimanfaatkan oleh gen z dalam mendongkrak politik yang ideal dan rasional. Hal ini berkaitan dengan literasi politik, terutama pemahaman terhadap kemampuan dirinya untuk merekonstruksi paradigma politik yang kotor. Isu-isu kontemporer seperti identity politic, money politic, dynasty politic dan hal lainnya yang dapat disosialisasikan oleh gerakan gen-z itu sendiri.
Digitalisasi interaksi sosial yang telah berpindah ke ranah dunia maya menimbulkan banyak konsekuensi, media massa sebagai salah satu instrumen yang paling berpengaruh dalam dunia politik bisa saja menjadi pisau bermata dua, penggiringan opini publik atas suatu isu, bahkan sampai dengan kemunculan buzzer yang dibayar pertanda media massa menjadi peran utama dalam dunia politik saat ini. Ini menjadi tantangan dalam pesta demokrasi yang akan kita hadapi ke depannya, memasuki tahun-tahun politik tentu akan terbentuknya sekat dalam realitas sosial masyarakat. Gagap dalam menggunakan media sosial tentu menjadi tantangan bagi masyarakat yang latah dalam menerima informasi hoaks atau fitnah-fitnah lainnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu kaum muda mesti hadir dalam membendung tsunami informasi yang belum tentu kebenarannya, gerakan kaum muda harus melek digital dan cakap bermedia sosial, namun tak cukup sampai tahap itu saja. Pemuda juga mesti hadir membagikan informasi yang berimbang dan kebenaran, gen-z mesti menjaga idealismenya dalam menggawangi serangan demokrasian. Maka literasi digital menjadi kunci dalam menciptakan keadaan yang kondusif bagi stabilitas politik demi keberlangsungan demokrasi Indonesia.
Penulis merupakan Direktur Sekolah Parlemen Mahasiswa Yayasan Pemimpin Muda Aceh.