Membangun Empati Sosial dengan Segelas Sanger

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
Konten dari Pengguna
13 September 2021 11:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sanger, Sumber: Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sanger, Sumber: Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
Aceh dikenal dengan nuansa seribu warung kopi yang menjadi bagian daripada aktivitas masyarakat. Tentunya sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan ruang publik sebagai ruang interaksi sosial. Warung kopi umumnya dimanfaatkan sebagai tempat untuk bertemu dengan siapa pun dengan tujuan berdialog dan berdiskusi. Bagi masyarakat Aceh tentu tak asing lagi dengan aktivitas minum kopi di warung kopi.
ADVERTISEMENT
Lazimnya penyajian kopi tradisional yang prosesnya dengan cara merebus dan menyaring saat hendak disajikan, terlepas hingga saat ini moderasi telah banyak dari segi visual dan fasilitas di warung kopi. Ada banyak cara untuk menikmati kopi salah satunya dengan penyajian kopi bernama “Sanger”.
Dalam catatan sejarahnya, sanger berawal dari aktivitas mahasiswa yang kala itu di Banda Aceh gemar meminum kopi sekitar tahun 1990 an, kopi menjadi bagian daripada diskusi mahasiswa sejak dulu, bahkan hingga saat ini pun kopi menjadi suatu yang melekat dengan kehidupan keseharian masyarakat pada umumnya.
Dahulu, untuk meminum kopi tak jarang mahasiswa mempertimbangkan dalam finansialnya, pasalnya jika memesan kopi pancung yang berisi setengah gelas kecil dapat meminimalisasi pengeluaran, oleh karena itu kebanyakan dari mereka memesan pancung saja demi menghemat keuangan. Selain itu faktor memesan kopi pancung karena kepanasan kopi akan lebih terjaga, karena tak dipungkiri kopi nikmat diminum dengan kondisi panas atau hangat.
ADVERTISEMENT
Ada banyak cara lain untuk menikmati kopi, salah satunya lagi yaitu ditambah dengan campuran susu, maka jadilah kopi susu dengan rasa yang lebih nikmat dan manis, namun harganya tentulah relatif lebih mahal daripada kopi hitam biasa yang hanya ditambahkan gula, oleh karena itu timbullah istilah sanger yang hampir sama dengan kopi susu namun terdapat pengurangan kadar susu dan penambahan gula.
Ada sebuah relasi sosial diantara proses timbulnya istilah sanger yang dimaknai dengan "Sama-Sama Ngerti," berawal dari kondisi finansial mahasiswa yang notabenenya memiliki keuangan yang sekadar cukup, oleh karena itu ditambahkanlah gula dengan mengurangi kadar susu untuk dapat meminimalisasi harga kopi susu saat itu, maka muncullah istilah “Sama-Sama Ngerti” yang disingkat dengan “Sanger”.
ADVERTISEMENT
Inilah sebuah konsep empati sosial yang hadir di antara pihak warung kopi dan penikmat kopi, empati sosial diartikan sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka. Sanger hadir dalam memberikan jalan tengah dalam realitas sosial di tengah masyarakat.
Sampai saat ini sanger telah menjadi bagian integral dari kultur penikmat kopi, rasanya tak enak jika tak minum sanger, nama sanger pun sudah mendunia, ditandai dengan menu sanger yang ada di warung kopi di luar dari daerah Provinsi Aceh itu sendiri. Empati sosial ini harus dipahami sebagai ciri khas masyarakat Aceh yang kental akan sikap humanisnya, bahkan sampai ada istilah “Peumulia Jamee Adat Geutanyoe” artinya “Memuliakan Tamu Adalah Adat Kita”.
ADVERTISEMENT
Sanger mengajarkan kita semua dengan pemahaman dan prinsip "Sama-Sama Ngerti" dengan tujuan agar tidak ada yang terdiskreditkan atau dirugikan, menyesuaikan dengan kondisi kedua pihak, penyaji pun paham tentang kondisi keuangan penikmat, pun penikmat kopi pun akan merasa terbantu dengan finansial yang seadanya.
Empati sosial merupakan hal yang vital dan fundamental keberadaannya dalam aktivitas sosial. Yang terpenting ialah konsepsi sanger dapat menjadi pedoman dalam interaksi sosial masyarakat, di mana nilai-nilai toleransi, humanis akan menopang tingkat kepekaan sosial yang tinggi sehingga berhilir pada harmonisasi sosial.
Pada akhirnya setiap interaksi masyarakat akan melahirkan nilai-nilai sosial, hal ini dapat mendorong dan mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Karena masyarakat senantiasa mampu melihat cara bertindak dan bertingkah laku yang terbaik. Sanger hadir dalam mewarnai pola tingkah laku masyarakat yang tertata dengan rapi dan membangun empati kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Dari sanger kita semua belajar, bahwasanya lingkungan ini membutuhkan kepekaan manusia dalam perjalanannya, Sikap empati sosial menjadi bagian dari pembentukan kultural masyarakat. Terlebih sikap empati sosial merupakan hal yang harus dimiliki di abad ke-21 ini. Setiap sudut pandang harus memahami juga sudut pandang lain. Hal ini dapat membangun keterampilan interpersonal yang baik dengan meningkatkan sensitivitas terhadap perasaan orang lain.
Mari membangun empati sosial melalui segelas sanger, banyak hal di sekitar lingkungan kita yang mungkin memerlukan uluran tangan kita, mari membangun kepekaan sosial berawal dari pemahaman terhadap makna eksplisit dari segelas sanger, dan pada akhirnya sanger akan menjadi inspirasi kita dalam beraktivitas sehari-hari.
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
ADVERTISEMENT