Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Qanun LKS, Ulee Balang, dan Belanda
17 Juli 2021 10:03 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Waktu demi waktu Provinsi yang memiliki julukan "Serambi Makkah" ini menuju kepada pelaksanaan cita-cita yang pernah ditorehkan pasca Aceh berhasil menumbangkan Kolonialisme dan bergabung dalam Republik Indonesia. Pada waktu itu cita-cita masyarakat Aceh ialah diberikan otonomi dengan lingkup pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Regulasi demi regulasi diciptakan dengan napas keislaman dan keacehan menuju konsep pemerintahan masyarakat madani.
ADVERTISEMENT
Perjalanan sejarah telah diukir dalam mewujudkan Aceh sebagai Provinsi bersyariat dengan melahirkan Qanun yang menyongsong misi keislaman. Salah satunya yaitu upaya melahirkan Qanun No 11 Tahun 2018 yang disahkan pada akhir tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah yang merupakan manifestasi pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Serambi Makkah. Qanun ini memuat aturan bahwa seluruh lembaga keuangan dan perbankan wajib beroperasi dengan landasan prinsip syariah.
Berdasarkan ketentuan, seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib mengimplementasikan Qanun LKS paling lama tiga tahun sejak kebijakan ini diberlakukan. Artinya, Bumi serambi makkah nantinya menerapkan "Single Financial And Banking System". Perasaan skeptis tentunya ada dalam mengupayakan penerapan qanun ini, namun ketakutan itu tak disangka mendapatkan respons yang baik dari Pemerintah Pusat. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan(OJK) dan Bank Indonesia(BI) turut mengafirmasi dan mendukung hal ini. Maka harapan besar ini menjadi beban berat yang harus dipikul segenap stakeholder yang ada di "Tanah Rencong".
ADVERTISEMENT
Panorama Ulee Balang Dan Belanda
Menurut C. Snouck Hurgronje, dalam The Acehnese menyebutkan bahwa Ulee Balang merupakan orang yang dipertuan di negerinya masing-masing dan memiliki legitimasi kekuasaan atas perpanjangan tangan dari Sultan kerajaan Aceh Darussalam. Pasca melemahnya kerajaan Aceh Darussalam membuat tata kelola pemerintahan mencapai pada titik senja.
Terdapat beberapa Ulee Balang yang membelot dan bersedia bekerja sama dengan belanda dengan penandatanganan "korte verklaring" yang memuat sebagian Ulee Balang yang tunduk kepada Belanda diberikan jabatan beserta fasilitas dalam menguasai suatu wilayah. Terlepas daripada persoalan itu, hal ini merupakan politik devide et impera C. Snouck Hurgronje yang membelah tata pemerintahan Aceh layaknya kue.
Pasca kependudukan Imperialis Jepang dan dengan kondisi menyerahnya jepang kepada sekutu maka kondisi ini menghantarkan Aceh dalam bingkai perjuangan kebangsaan Indonesia menuju kemerdekaan. Berbeda dengan sikap sebagian Ulee Balang yang menginginkan kembalinya Belanda di Aceh agar oknum-oknum elite Ulee Balang tersebut mendapat fasilitas layak masa sebelumnya. Namun persoalan ini mendapatkan pertentangan yang amat keras dari golongan PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
ADVERTISEMENT
Pola yang demikian tampaknya senada dengan kondisi Aceh saat ini pasca disahkannya Qanun LKS dan Lembaga keuangan konvensional di Aceh telah mengangkat kakinya dari bumi Serambi Makkah ini. Wacana merevisi dan mengembalikan eksistensi perbankan konvensional merupakan upaya layaknya menginginkan kembali pemerintahan kolonial Belanda berada di Tanah Rencong.
Upaya seperti ini merupakan pola pikir regresif yang menganggap problematika teknis yang dihasilkan namun yang disalahkan adalah sistemnya. Dengan diberlakukan Qanun LKS ini ditambah dengan kondisi mergernya 3 Perbankan Syariah BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia(BSI) tentunya membuat sistem mengalami transisi dan pasti berimplikasi pada beberapa kendala di lapangan. Namun bukan karena permasalahan ini terjadi lantas kita menyalahkan sistemnya, hal ini bermuara pada “logical fallacy” yang kerap menjustifikasi syariah dengan label buruk.
ADVERTISEMENT
Manusia cenderung kepada sifat hanif(kebenaran), namun dalam konteks Fiqih muamalah tentunya pasti terdapat sesuatu yang tidak sempurna, karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang memiliki sifat yang tidak selamanya benar. Upaya menciptakan Qanun LKS merupakan ikhtiar manusia dalam konteks ini yaitu pemimpin, jika terdapat kekeliruan tentunya harus diperbaiki bersama dengan konsep gotong royong. Persoalan yang mulanya dipandang skeptis seyogyanya ditransformasikan menjadi optimistis dengan semata-mata kebijakan ini ialah untuk mencapai ridha Allah SWT.
Wacana menginginkan pendudukan kembali perbankan konvensional beroperasi kembali ke Aceh merupakan pola pikir regresif terhadap inklusi keuangan syariah dengan dalih perbankan syariah belum siap dan sebagainya, upaya ini serupa dengan menginginkan kembali kolonial Belanda hadir di Aceh. Seyogyanya cita-cita yang amat besar ini juga diikhtiarkan secara bersama, berjalannya Lembaga Keuangan Syariah dengan baik merupakan “collective interest”. Artinya bahwa masyarakat Aceh seyogyanya bergotong royong dalam merawat dan membumikan syariat Islam.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Keacehan kita melihat agama dan adat istiadat layaknya zat dan sifat, artinya bahwa Islam dan setiap pola tingkah laku masyarakat Aceh senantiasa disandarkan pada prinsip-prinsip syariah. Qanun LKS menjadi bukti nyata bahwa hadirnya perbankan syariah memberikan spirit muamalah dengan napas Keislaman dalam setiap tindakan. Langkah konkret yang dibutuhkan masyarakat Aceh ialah bersama-sama menghindari maisir , gharar dan riba (maghrib) dan menegakkan serta berkontribusi dalam penggunaan layanan keuangan syariah dan senantiasa meningkatkan literasi keuangan syariah.
Penulis merupakan Mahasiswa Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh