Republik Asal Berkelakuan Baik

Teuku Muhammad Shandoya
Hanya seorang mahasiswa yang sedang mengosongkan gelas di Universitas Syiah Kuala dan sedang merintis untuk menjadi penulis meskipun buku-buku tak lebih hanya menjadi etalase di kamar ku.
Konten dari Pengguna
4 Juni 2022 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Muhammad Shandoya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Keterangan : Gambar Dewi Themis Sang Dewi Keadilan, Sumber : Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Keterangan : Gambar Dewi Themis Sang Dewi Keadilan, Sumber : Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
“Semuanya boleh dan bisa apa aja asalkan berkelakuan baik”, begitulah kira-kira dalil-dalil pledoi yang tengah tren di zaman post-truth ini, kebenaran mutlak tentu akan tertutup dengan kebenaran relatif bahkan dengan kesalahan sekalipun. Potret negeri ini telah membuat publik bertanya-tanya, bala bencana apa yang Tuhan turunkan sehingga munculnya pemimpin-pemimpin zalim di negeri kita. Publik dibuat kenyang mengkonsumsi berita-berita sampah sampai dengan berita yang menyayat hati nurani. Akrobatik naif para politisi serta pejabat berpangkat yang memberikan teladan buruk kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
Catatan simfoni hitam ini membawa kita ke alam republik dagelan, kegelisahan yang mungkin tidak berujung melihat kondisi negeri di mana moral dihiraukan, keadilan dirampas, hukum dikangkangi, bahkan korupsi menjadi budaya sehari-hari. Bincangan dari meja kopi ke meja kopi lainnya juga tak lepas dari tingkah nakal para birokrat, politisi, bahkan sampai oknum aparat pelaku yang menjadi penyebab seorang wanita bunuh diri.
Pertama, coba kita lihat beberapa waktu silam di mana kasus korupsi Edhy Prabowo eks menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai tidak masuk akal dan absurd. Bagaimana tidak, vonis yang terbilang ringan oleh Mahkamah Agung (MA) lebih ringan daripada putusan banding yaitu hukuman 9 tahun penjara. Sangat jelas praktik korupsi itu memanfaatkan kekuasaan, kesempatan dan didukung dengan sarana yang melicinkan perbuatan korupsinya. Praktik ini tentu melukai hati publik di tengah kesengsaraan akibat terpaan badai pandemi covid-19 malah tertimpa oleh tangga lagi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kita lihat praktik korupsi yang dilakukan oleh eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, kasus korupsi pengadaan bansos sembako di masa covid-19 juga menuai kontroversi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang dinilai sangat ringan oleh publik khususnya LSM pegiat anti-korupsi. Kecurigaan publik mulai timbul akibat dari putusan vonis yang dijatuhi kepada eks Menteri Sosial tersebut hanya hukuman 11 tahun penjara, ringannya tuntutan tersebut lagi-lagi telah membuat publik menggerutu terhadap tikus-tikus berdasi yang mencari makan di negeri ini.
Kedua praktik korupsi tersebut setidaknya telah memberikan gambaran kasus korupsi yang merupakan kategori kejahatan kerah putih yang sudah menjadi kelaziman di negeri ini, vonis rendah yang terjadi setidaknya telah memberikan motivasi vitamin kepada calon-calon koruptor agar lebih semangat untuk merepetisi praktik korupsi tersebut, lagian vonis yang diberikan juga risiko dan vonis rendah tidak akan membenani kehidupan dan moral mereka.
ADVERTISEMENT
Celakanya lagi, alasan putusan vonis rendah tersebut membuat publik menggeleng-geleng kepala, bagaimana tidak alasan yang terkesan absurd diutarakan oleh penegak hukum yang dipercayakan oleh rakyat ternyata tercium bau perselingkuhan di belakang layar, karena telah berbuat baik dan sopan menjadi alasannya mengapa para koruptor tersebut tidak dihukum seberat-beratnya, rasanya alasan ini telah menggelitik perut publik yang heran terhadap supremasi hukum di negeri kita. Maka benarlah kisah fiksi yang terdapat di penggalan novel yang bertajuk “Negeri Para Bedebah”,
Dana kampanye, dana operasional partai, jumlahnya ratusan miliar, bahkan menyentuh triliun saat tahun pilihan. Semua partai butuh uang, siapa yang menyumbang? Anggota partai? Mereka tidak akan pernah menyumbang jika tidak mendapat sesuatu. Misal posisi, akses, jaringan, atau perlindungan." (hal.382) . “Nah, kalau kau punya uang, itu bisa diatur. Kau tinggal setor berapa miliyar untuk partai, sisanya kami yang urus. Jadi jangan heran, walaupun kau gagal, andaikata bertahun-tahun kemudian keluargamu terjerat kasus hukum misalnya, partai yang pernah mendukungmu tentu tahu diri melakukan balas budi” (hal.384)
ADVERTISEMENT

Republik Oknum

Selanjutnya kasus oknum Kepolisian RI AKBP Brotoseno yang malakukan praktik korupsi semantara dirinya menjabat sebagai penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kasus itu bermula pada tahun 2017 yang ditahan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dengan dugaan memeras Dahlan Iskan, tersangka kasus dugaan korupsi cetak sawah senilai Rp 3 milyar. Brotoseno terbukti bersalah menerima suap, lantas divonis penjara selama 5 tahun dan denda Rp300 juta. Namun kejanggalan timbul saat hukuman tersebut sudah dijalaninya dan masih aktif.dan berkegiatan di dinas kepolisian. Pihak kepolisian menyebutkan bahwa tidak memecat AKBP Brotoseno meski telah menjadi terpidana kasus penerimaan suap. Pasalnya, Brotoseno dinilai berprestasi dan memiliki perilaku baik.
Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar pun pernah bercerita akan susahnya menghukum mati di negeri ini. "Saya sebutulnya ingin menghukum mati koruptor itu. Terus terang saua ingin. Tapi secara yuridis itu sangat sulit," kata almarhum hakim Artidjo. "Karena bunyi pasal konstruksi hipotesis dalam pasal itu dikaitkan dengan keadaan lain. Misalnya dapat dihukum mati kalau dilakukan dalam keadaan bencana alam, kalau itu mengulangi lagi," jelasnya. Harusnya kita meniru ketegasan Negara Republik Tiongkok yang menerapkan aturan dengan linear terhadap barometer jumlah anggaran yang dikorupsi.
ADVERTISEMENT
Terakhir ada kasus Bripda Randy oknum anggota kepolisian yang terjerat kasus aborsi, ia dinyatakan bersalah karena terlibat aktif dalam aborsi yang dilakukan kekasihnya. Randy divonis lebih ringan yang seharusnya 3,5 tahun dari tuntutan jaksa namun hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerti, Jawa Timur. Publik dibuat geram dengan absurdnya vonis yang dijatuhi kepada oknum kepolisian tersebut. Alasan vonis lebih ringan tersebut karena sopan dan belum pernah dihukum. Argumen ini diutarakan oleh hakim anggota, Pandu Dewanto, dalam persidangan pembacaan amar putusan yang digelar saat itu. Randy yang terjerat pasal tindak pidana dengan hukuman maksimal Pasal 348 ayat (1) adalah 5,5 tahun penjara. Namun, majelis hakim PN Mojokerto hanya menghukum Bripda Randy selama 2 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Begitulah carut-marutnya moral para oknum politisi, biroktat sampai kepada aparat yang menyuguhkan model yang sangat buruk kepada rakyat, degradasi moral agaknya telah terjadi, setan apa yang telah merasuki jiwa para pejabat kita?. Alasan berkelakuan baik, berprestasi, dan sopan telah membuktikan mujarabnya pembelaan klasik itu di mata hukum, ibarat permainan “shoussiling” atau suit gunting, batu, kertas. Bagaimana logikanya kertas yang dapat mengalahkan batu. Entahlah semuanya bisa terjadi asal berprestasi, sopan, dan yang terutama berkelakuan baik.
Penulis merupakan mahasiswa di Universitas Syiah Kuala, sekaligus Direktur Sekolah Parlemen Mahasiswa Yayasan Pemimpin Muda Aceh.