Konten dari Pengguna

Saatnya Bersiap Menuju Pengembangan Material Panel Surya Dalam Negeri

Teuku Wafi
Mahasiswa Teknik Metalurgi ITB 2018,
9 September 2021 15:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Teuku Wafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saatnya Bersiap Menuju Pengembangan Material Panel Surya Dalam Negeri
zoom-in-whitePerbesar
Proses pemasangan panel surya dengan kemiringan tertentu (sumber : https://unsplash.com/photos/ZNS6rizp9RU)
zoom-in-whitePerbesar
Proses pemasangan panel surya dengan kemiringan tertentu (sumber : https://unsplash.com/photos/ZNS6rizp9RU)
ADVERTISEMENT
Dunia saat ini sedang menuju era baru, era di mana zaman sudah sangat berubah dari revolusi industri pertama kali melalui penemuan mesin uap oleh James Watt. Kondisi dunia saat ini tentu saja sudah sangat kompleks dengan segala kegiatan dan konsekuensinya. Gas buang dan emisi karbon yang sudah mencapai ambang batas mengakibatkan pencemaran udara dan pastinya menyebabkan penyakit-penyakit pada sistem pernapasan pada makhluk hidup saat ini. Gas CO2 yang semakin tinggi pun menyebabkan efek rumah kaca dan terjadinya pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Menipisnya persediaan bahan bakar fosil membuat harganya meningkat secara signifikan. Per tahun 2015, sudah sekitar 94% persediaan bahan bakar fosil di bumi terpakai oleh manusia. Hal ini pun menyebabkan PLTU terpaksa menaikkan harga listrik di tiap tahunnya akibat pengaruh supply-demand bahan bakar fosil yang terjadi.
Kondisi yang terjadi saat ini telah mengantarkan kita kepada transformasi dan transisi menuju penggunaan energi bersih dan berkelanjutan. Salah satu terobosan manusia saat ini adalah konversi dan penggunaan energi yang paling mudah didapatkan, yakni energi matahari. Penemuan akan Photovoltaic Effect oleh Albert Einstein telah mengantarkan beliau sendiri mendapatkan Nobel bidang Fisika di tahun 1921 dan juga mengantarkan manusia akan pemanfaatannya sebagai sumber energi listrik terbarukan.
ADVERTISEMENT
Penggunaan panel surya secara global per tahun 2020 telah mencapai angka 728 GW dan diestimasikan akan menjafi 1.645 GW pada tahun 2026. Terkait pasar panel surya sendiri yang sudah memiliki nilai 52,5 miliar dolar di tahun 2018 dan diproyeksi akan meningkat menjadi 223,3 miliar dolar di tahun 2026. Nilai CAGR sendiri akan bernilai 13,78% dari tahun 2021 menuju tahun 2026. Hal ini akan terus meningkat selaras dengan fokus keekonomian dunia menuju lingkungan berkelanjutan dan upaya dekarbonisasi.
Di Indonesia sendiri, Kementerian ESDM menyatakan bahwa terdapat kenaikan sampai 1000 persen penggunaan PLTS oleh masyarakat di tiga tahun terakhir. Dadan Kusdiana, selaku Dirjen EBTKE, menyatakan terdapat sekitar 4000 pengguna PLTS Atap di tahun 2021. Hal ini tentu meningkat tajam dari tahun 2018 yang mana pada saat itu hanya sekitar 350 pengguna saja di seluruh Indonesia. Hingga sekitar Maret 2021, penggunaan PLTS telah mencapai 3.472 pengguna atau sekitar 26,51 MWp. Namun, di luar dari pencapaian penggunaannya, bisnis akan panel surya di Indonesia menghadapi prospek bisnis yang cukup buruk. Setidaknya pada periode Maret-April 2020, terjadi penurunan penjualan panel surya yang cukup drastis, yakni sebesar 70% karena banyaknya lembaga bisnis yang membatalkan pemasangan dan yang terpenting, pemerintah mengurangi rencana proyek elektrifikasi. Kelabilan dan lesunya pasar indonesia, ditambah dengan biaya produksi yang lebih tinggi akibat nilai tukar rupiah yang melemah serta logistik lintas batas yang mahal, menyebabkan biaya panel surya dalam negeri terpaksa naik 15%-20% per unit dalam periode Maret-Aril 2020 tersebut. Peran pemerintah dibutuhkan dalam upaya strategis untuk mengambil simpati masyarakat akan penggunaan PLTS.
ADVERTISEMENT
Kesuksesan akan revolusi solar power telah dirasakan oleh berbagai negara, salah satunya Vietnam. Pada beberapa dekade yang lalu, Vietnam telah menjadi saksi atas perkembangan industri energi mereka seiring dengan meningkatnya permintaan listrik di sana. Berdasarkan Vietnam National Load Dispatch Centre data, rata-rata konsumsi listrik harian negara sebesar 615 juta kWh di bulan pertama 2020 dan terus meningkat 10% hingga akhir 2020. Kondisi geografis Vietnam yang berada di utara Asia Tenggara—dekat dengan subtropical region—membuat negara tersebut sebagai destinasi yang ideal untuk investasi PLTS oleh berbagai pihak. Besar direct sunlight tahunan Vietnam sebesar 2000-2500 jam menjadi salah satu alasan keidealan pembangunan PLTS yang pada dasarnya pengembangan panel surya saat ini memang disesuaikan dengan paparan matahari di bagian subtropis (subtropical region) dunia. Kebijakan untuk memfokuskan pada tenaga surya diambil oleh pemerintah Vietnam di tahun 2017. Di tahun 2018, PLTS hanya menyumbang 134 MW (3% dari total kapasitas EBT Vietnam). Lebih lanjut, bahwa sekitar 91 pembangkit listrik tenaga surya, dengan total kapasitas 4.550 MW, mulai beroperasi pada 2019, sehingga kapasitas total pembangkit tenaga surya menjadi 25.000 MW. Kenaikan secara pesat terjadi pada kuartal pertama 2020 dimana terjadi lonjakan menjadi 2,3 miliar kWh atau 28 kali dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, dibalik kesuksesan ini, Tiongkok tentunya menjadi salah satu kunci sebagai negara tetangga Vietnam sekaligus “raja” di sektor pasar panel surya. Sekitar 99% instalasi PLTS di Vietnam datang dari Tiongkok. Selain itu, lembaga bisnis China juga telah menyediakan kontraktor EPC (engineering, procurement and construction) untuk proyek pengembangan PLTS di Vietnam. Kontraktor-kontraktor dari Tiongkok didukung oleh bank-bank Tiongkok yang kemudian memungkinkan mereka untuk memberikan jadwal pembayaran yang fleksibel kepada pengembang proyek di Vietnam dan memberi mereka keunggulan kompetitif. Terepas dari itu, kenaikan yang mengesankan ini memungkinkan Vietnam untuk mencapai target tenaga surya 2020 sebesar 4.000 MW yang diatur dalam Revisi Rencana Induk dan secara bersamaan menyalip Thailand sebagai pasar tenaga surya terbesar di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Tantangan dalam pengembangan PLTS di Indonesia sampai hari ini adalah ketergantungan akan impor solar cell. Saat ini,indonesia masih mengimpor solar cell dan dilakukan proses perakitan di dalam negeri. Indonesia belum dapat mengolah mineral kuarsa menjadi solar cell, sedangkan di indonesia sangat berlimpah akan sumber daya mineral untuk pembuatan solar cell. Pada tahun 2019, total pasir silika atau pasir kuarsa yang diproduksi sebesar 27,7 juta meter kubik. Namun, sayangnya sebagian besar penggunaan dari hasil produksi ini masih digunakan dalam nilai keekonomian yang relatif kecil, seperti pupuk, pasir konstruksi, dan lain-lain. Dalam indutri pengembangan energy storage, indonesia juga belum menunjukkan pergerakan yang menjanjikan, padahal indonesia adalah penghasil nomor 1 nikel dunia, dengan total cadangan sebesar 21 juta ton. Nikel di indonesia dapat ditemukan pada bijih nikel laterit dimana mineral ikutan didalamnya juga memiliki harga jual dan kegunaan yang berlimpah, seperti Kobalt, Magnesium, Besi, Skandium, dan lain-lain. Pada penambangan timah pun terdapat mineral ikutan sebagai harta karun yang luar biasa besar, yakni mineral Monasit dan Xenotim yang berisikan logam tanah jarang (LTJ). Penggunaan LTJ sebagai dopant untuk meningkatkan efisiensi panel surya dan sebagai critical metal di sektor militer, medis, transportasi, dan lainnya, membuat seharusnya pemerintah untuk lebih memerhatikan dan memperhitungkan pengembangan produksinya. Saat ini, indonesia sudah melakukan langkah yang baik, yakni pembentukan Mining Industry Indonesia (MIND ID). Mining Industry Indonesia (MIND ID) adalah Holding Industri Pertambangan di Indonesia yang terdiri atas PT Inalum (Persero), PT Bukit Asam Tbk., PT ANTAM Tbk., PT Freeport Indonesia, dan PT Timah Tbk. MIND ID merupakan terobosan yang baik dalam pengelolaan, pengolahan, hingga pemasaran potensi kekayaan sumber daya mineral di Indonesia sehingga ke depannya indonesia dapat menguasai proses hulu hingga ke hilir pengolahan mineral dan secara mandiri dapat memproduksi PLTS maupun pembangkit listrik EBT lainnya. Sudah seharusnya pula MIND ID mempunyai fokus yang khusus untuk pengembangan EBT dari segi pengadaan material di indonesia. Dengan penguasaan dan pengoptimalan proses pengolahan mineral dalam negeri ini, indonesia akan terbebas dari ketergantungan impor dan dapat secara mandiri mengembangkan dan memproduksi solar cell di dalam negeri. Hal ini memungkinkan pula Indonesia dapat mengatur harga perangkat PLTS menjadi lebih murah dan dapat menaikkan daya jual PLTS di pasaran.
ADVERTISEMENT