Konten dari Pengguna

Di Balik Student Hidjo: Menggali Suara Perempuan yang Terlupakan

Tiara Fitriyanti Kusuma
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 Mei 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tiara Fitriyanti Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Laki-laki dan Perempuan. (Sumber: https://www.pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Laki-laki dan Perempuan. (Sumber: https://www.pexels.com)
ADVERTISEMENT
Novel "Student Hidjo" oleh Mas Marco Kartodikromo, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1918, sering dianggap sebagai novel tentang pergulatan identitas anak muda Jawa di tengah-tengah kolonialisme dan modernitas. Namun, jika kita melihat novel ini dari sudut pandang feminisme, kita akan menemukan bahwa itu juga membahas dengan kuat bagaimana peran perempuan seringkali dijadikan alat tarik-ulur antara moralitas, budaya, dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Tokoh perempuan seperti Betje, Biru, dan Roos tidak hanya bagian dari cerita Hidjo. Mereka menunjukkan simbol perempuan dalam masyarakat kolonial, mulai dari mereka yang dianggap "bebas" dan "patuh" hingga mereka yang dikorbankan oleh struktur sosial.

1. Betje: Representasi Perempuan yang “Bebas”, Namun Tak Didengar

Selama berada di Belanda, Hidjo tinggal bersama Betje, seorang wanita Belanda yang ekspresif dan penuh inisiatif. Ia dengan berani mengajak Hidjo menonton pertunjukan tari kontemporer dan memberinya komentar-komentar yang "menarik"
Dalam satu waktu, mereka menonton pertunjukan tari yang memperlihatkan lenggok penarinya. Narasi menyebut:
Betje tidak terlibat dalam cerita, meskipun dia terlihat sangat percaya diri. Dia tidak memiliki tempat untuk mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Bahkan setelah mereka menghabiskan satu malam bersama, hanya narasi yang diceritakan Hidjo yang terdengar:
ADVERTISEMENT
Betje menjadi simbol ketertarikan bagi Hidjo, karakternya tidak berkembang jauh. Hal ini menunjukkan bagaimana perempuan sering hanya dilihat dari bagaimana mereka memengaruhi karakter laki-laki.

2. Biru: Perempuan Jawa yang Setia dalam Diam

Di tanah airnya yaitu Jawa. Biru adalah tunangan Hidjo. Menurut budaya Jawa, Biru digambarkan sebagai sosok ideal yang memiliki sifat setia, tenang, dan selalu menunggu.
Biru tidak pernah mengambil keputusan yang besar. Ia menerima apa pun keputusan Hidjo, termasuk saat Hidjo meninggalkannya untuk studi ke Belanda. Bahkan ketika Hidjo memberikan anting, atau subang, sebagai tanda cinta, Biru hanya mengatakan:
ADVERTISEMENT
Subang menjadi simbol cinta tanpa syarat. Biru dilambangkan sebagai "rumah" yang Hidjo tinggalkan, Biru digambarkan harus setia, tetapi tidak aktif.

3. Roos: Sosok Perempuan yang Terhempaskan Setelah Ditinggalkan

Karena hubungannya dengan seorang pejabat Belanda yang bernama Walter. Roos, seorang guru perempuan, mengalami tekanan sosial. Ketika kehamilannya tidak diakui, ia harus mengambil jalan sendiri tanpa dukungan sosial ataupun hukum.
Roos menggambarkan bagaimana perempuan yang melanggar norma, diharuskan menanggung konsekuensi sendiri. Ia mengalami tekanan sosial, rasa malu, dan pengucilan. Sementara lelaki seperti Walter bisa pergi kemanapun seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
ADVERTISEMENT
---
Betje, Biru, dan Roos menggambarkan pola yang sama; mereka hadir, tetapi tidak pernah berbicara tentang hatinya. Hidjo dan karakter lain berbicara dari sudut pandang mereka dalam cerita. Perspektif perempuan tidak digambarkan.
Dalam perspektif feminisme, ketiga perempuan ini digambarkan sebagai simbol; Betje sebagai keinginan, Biru sebagai kesetiaan, dan Roos sebagai korban. Namun, tidak satu pun dari mereka diberi kesempatan untuk berbicara secara langsung.
Padahal, jika kita telaah lebih dalam lagi dan tidak hanya melihat kisah Hidjo saja, kisah perempuan-perempuan itu bisa jadi sangat kuat. Mereka punya konflik, keputusan, dan beban yang cukup besar untuk dibahas, hanya saja narasi tidak banyak ditulis dari sudut pandang mereka.
Suara Perempuan yang Perlu Dilihat dalam Sudut Pandang Lain
ADVERTISEMENT
Membaca Novel Student Hidjo dari perspektif feminisme membuat kita menyadari bahwa banyak kisah yang belum diselesaikan di sejarah sastra kita. Suara perempuan terutama, yang biasanya hanya menjadi representasi atau tambahan simbol saja.
Dengan menuliskan perspektif perempuan dalam cerita seperti ini, kita tidak sekadar meninjau masa lalu, namun kita juga memperjuangkan hak perempuan untuk berbicara. tidak hanya menjadi orang lain dalam cerita orang lain, tetapi juga menjadi dirinya sendiri dalam cerita yang utuh.
.
.
.

Daftar Pustaka

Kartodikromo, Mas Marco. (2023). Student Hidjo. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Tong, R. (2008). Pemikiran feminis: Pengantar paling komprehensif kepada arus utama pemikiran feminis (R. T. Sadli, Penerj). Yogyakarta: Jalasutra.