Konten dari Pengguna

Anak atau Anabul? Tekanan Ekonomi dan Kepemilikan Hewan Peliharaan

Thalita Koumi
Sesdilu 78 - A persistent lover of Canis Lupus Familiaris - Skin care, Perfume and make up enthusiast - Tea and Coffee Connoisseur -
30 Maret 2025 8:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Thalita Koumi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Apakah memiliki anak masih dianggap sebagai tujuan utama dalam hidup berkeluarga? Ataukah kini manusia modern menemukan bentuk kasih sayang lain, yang berbulu, berkaki empat, dan tidak pernah membantah? Fenomena meningkatnya jumlah orang yang memilih untuk memiliki hewan peliharaan daripada anak biologis bukan lagi hal baru. Apakah ini memang tren global?

Dokumen Pribadi. Aikido, Istanbul 2023
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi. Aikido, Istanbul 2023
ADVERTISEMENT

TREN YANG MENDUNIA

Semakin banyaknya negara-negara yang memiliki angka pertumbuhan penduduk minus seperti di Korea dan Jepang namun tingkat kepemilikan hewan justru meningkat patut menjadi perhatian. Di Korea, menurut Korean Herad, terdapat lebih dari 270.000 hewan peliharaan yang didaftarkan kepemilikannya sepanjang tahun 2023. Di sisi lain (dikutip dari Korea.net), jumlah penduduk Korea pada tahun 2023 adalah 49,84 juta orang atau turun 101.000 orang (0,2%) dibandingkan tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Di Amerika, berdasarkan survey angka kelahiran, 70% dari mereka yang memiliki hewan peliharaan menganggap anjing atau kucing mereka sebagai anak. Di antara pemilik hewan peliharaan tersebut, 69% menyatakan bahwa memelihara hewan lebih mudah daripada membesarkan anak. 48% dari mereka yang memiliki hewan peliharaan juga menyatakan bahwa biaya merawat hewan lebih rendah dibandingkan biaya membesarkan anak.

BUKAN PENGGANTI ANAK

Bagi sebagian orang, terutama mereka yang tidak memiliki anak, hewan peliharaan memang bisa menjadi pengisi ruang kosong dalam hidup. Namun, patut diakui bahwa seekuat apa pun ikatan dengan hewan, mereka tidak dapat sepenuhnya menggantikan sosok anak manusia. Anjing bisa menjadi sahabat, penyejuk hati, bahkan “anggota keluarga”, tetapi tetap berbeda dari menjadi orang tua.
Jangka waktu hidup seekor anjing yang relatif pendek (10-15 tahun), perannya dalam struktur sosial, serta hak-haknya di mata hukum masih sangat berbeda dengan hak dan kewajiban seorang anak. Tentunya dalam hal ini, anjing atau hewan peliharaan tidak dapat menggantikan kontribusi seorang anak hingga ia menjadi dewasa di masyarakat nantinya.
Dokumen Pribadi. Ulang Tahun Pertama Aikido

BEBAN HIDUP YANG SEMAKIN BERAT

ADVERTISEMENT
Dilansir dari offtheleash.com.au, 44% generasi milenial ragu untuk memiliki anak, namun memimpin dalam hal kepemilikan hewan peliharaan. Alasan utamanya? Kombinasi antara krisis ekonomi, kekhawatiran lingkungan, dan keinginan untuk hidup yang lebih fleksibel dan minim tekanan. Secara realistis, biaya membesarkan anak jauh lebih mahal dibandingkan merawat seekor anjing, baik dari sisi keuangan maupun waktu. Maka tak heran jika banyak orang memilih jalur yang dianggap lebih "ringan", namun tetap memberi kehangatan emosional.

PERTENTANGAN DI MASYARAKAT

Namun, tidak semua orang melihat tren ini dengan nada netral. Dalam sebuah pidato yang menimbulkan kontroversi, Paus Fransiskus menyebut keputusan mengganti anak dengan hewan peliharaan sebagai bentuk "keegoisan". Beliau menekankan bahwa manusia dipanggil untuk menjadi orang tua—baik secara biologis, adopsi, maupun spiritual. Menolak peran ini, menurut Paus, dapat menyebabkan “hilangnya kemanusiaan”.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini tentu mengundang pro dan kontra. Bagi sebagian orang, pernyataan Paus melewatkan kompleksitas hidup pribadi seseorang. Tidak semua orang bisa atau ingin menjadi orang tua karena alasan yang valid: kesehatan, trauma masa lalu, keterbatasan finansial, atau bahkan atas pilihan pribadi. Namun, di sisi lain, Paus menyampaikan pesan yang lebih besar: bahwa menjadi orang tua adalah perwujudan cinta yang tertinggi, dan bahwa manusia sejatinya dipanggil untuk memberi, merawat, dan mencinta secara tanpa syarat.
Dokumen Pribadi. Aikido sedang membantu mengemas pakaian.

BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

Berdasarkan artikel "Ragam Statistik Hewan Peliharaan di Indonesia" yang diterbitkan oleh GoodStats pada 13 Februari 2023, survei oleh Rakuten Insight Center terhadap 10.442 responden di Indonesia menunjukkan bahwa 67% warga Indonesia memiliki hewan peliharaan, 23% tidak memiliki, dan 10% pernah memiliki hewan peliharaan.
ADVERTISEMENT
Mayoritas responden memperoleh hewan peliharaan melalui adopsi dari kerabat atau saudara (38%), sementara 29% membelinya dari toko hewan. Berbeda dengan Amerika, di Indonesia kucing menjadi pilihan hewan peliharaan utama di semua kelompok usia, diikuti oleh ikan dan burung. Dapat disimpulkan, rata-rata orang Indonesia memiliki kecintaan terhadap hewan.

ORANG INDONESIA MULAI ENGGAN MENIKAH

Ternyata, tren semakin berkurangnya angka pernikahan juga terjadi di Indonesia. Tahun 2023 adalah angka terendah dalam tren pernikahan di Indonesia. Di tahun 2018, Indonesia masih mencatatkan 2.016.171 pernikahan​, namun di tahun 2023 angka tersebut menurun menjadi 1.577.255 pernikahan, terendah dalam tujuh tahun terakhir.​
Generasi muda Indonesia kini lebih menekankan kebebasan pribadi dan pencapaian individu seperti pendidikan dan karier, sehingga pernikahan tidak lagi dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan sosial. Anak muda Indonesia kini juga menyadari bahwa kondisi ekonomi yang menyebabkan tingginya biaya pernikahan dan meningkatnya biaya hidup membuat banyak pasangan muda merasa belum mampu secara finansial untuk menikah dan memulai kehidupan rumah tangga.​
ADVERTISEMENT
Selain itu, perubahan peran gender yang ditandai dengan meningkatnya kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam dunia kerja memengaruhi prioritas mereka, dengan banyak perempuan memilih menunda pernikahan demi mengejar pendidikan tinggi atau karier.

SEMUA ADALAH PILIHAN HIDUP

Dokumen Pribadi. Aikido memantau keamanan lingkungan. Istanbul 2022.
Jadi, apakah tren meningkatnya kepemilikan hewan peliharaan merupakan bentuk pembebasan dari beban sosial dan ekonomi, atau justru cerminan krisis nilai dan makna hidup? Pada akhirnya semua kembali pada kebebasan untuk menentukan pilihan dalam hidup kita masing-masing.
Barangkali keduanya benar. Di satu sisi, pilihan untuk hidup tanpa anak bisa menjadi bentuk otonomi dan kebebasan yang sehat. Yang jelas, di balik semua ini tersimpan satu hal yang sama: kebutuhan untuk mencinta dan dicintai. Baik dalam bentuk memeluk anak sendiri, atau mengelus kepala hewan peliharaan kesayangan, manusia tetap mencari makna dalam relasi.
ADVERTISEMENT